Seusai Sholat Isya' di penghujung tahun 1980-an, hampir di setiap gang banyak orang yang berkumpul di emperan rumah-rumah untuk mendengarkan sandiwara radio serial Misteri Gunung Merapi yang mengisahkan Mak Lampir seorang penyihir tua yang sakti mandraguna.
 Suara dan tawanya yang khas seakan mampu menghipnotis banyak orang sehingga merasa rugi dan ketinggalan jika absen medengarkannya walaupun hanya semalam. Diantara perasaan takut dan penasaran mereka mengikutinya dengan setia. Kemudian di penghujung tahun 1990-an hingga di awal 2000-an ditanyangkan melalui pesawat televisi swasta dengan dibintangi oleh Farida Pasha seorang aktor berbakat dalam film laga. Akupun hampir tak pernah absen mengikutinya.
Konon, Mak Lampir adalah seorang putri raja dari Champa (Chiem Thanh) sebuah kerajaan kuno di wilayah Vietnam yang mengembara ke bagian Sumatera dan menetap di gunung Merapi hingga ratusan tahun lamanya karena mampu menguasai dan bersekongkol dengan bangsa Jin. Mak Lampir yang sesuai KTP memiliki nama asli Siti Lampir Maemunah sewaktu masih gadis dikenal sebagai sosok wanita yang cantik jelita, baik hati, sangat pemalu, tidak sombong, dan rajin menabung yang jatuh cinta kepada pemuda pengembara bernama Datuk Panglima Kumbang seorang bangsawan dari bangsa siluman.
Singkat cerita, sebenarnya cinta Siti Lampir Maemunah tidak bertepuk sebelah tangan karena Datuk Panglima Kumbang pun mencintainya pula, akan tetapi sayang seribu sayang hubungan asmara kedua sejoli ini tidak direstui Raja Champa lantaran Datuk Panglima Kumbang berasal dari bangsa siluman harimau sehingga Siti Lampir Maemunah bertekad untuk meninggalkan istana dan menyepi di Desa Kayu Sebatang yang terletak di lereng kaki Gunung Merapi. Ia bersemedi dengan harapan bisa memasuki alam lelembut untuk menemukan pujaan hatinya, Datuk Panglima Kumbang.
Hari berganti hari, hingga tahun berganti tahun. Dalam pengembaraan ritualnya itu Siti Lampir Maemunah bertemu dengan seorang pertapa sakti Nenek Serintil dari aliran hitam Anggrek Jingga yang kemudian menjadi gurunya. Dalam gemblengan Nenek Serintil pemuja Batara Kala itu, Siti Lampir Maemunah juga menjadi seorang wanita sakti mandraguna dan ia memproklamirkan dirinya sebagai Ratu Kegelapan. Ia mampu menembus alam siluman serta bertemu dengan Datuk Panglima Kumbang.
Akan tetapi perjumpaannya itu menyakitkan hatinya karena Datuk Panglima Kumbang sudah tidak cinta lagi, mungkin ia sudah tidak mengenalinya lagi karena Siti Lampir Maemunah yang dulunya dikenal sebagai wanita ayu nan lembut tetapi kini terlihat sebagai nenek-nenek keriput yang mengerikan. Nafsu amarah Mak Lampir pun semakin menjadi, dengan tongkat saktinya melampiaskan kemarahannya kepada siapapun yang tidak sejalan dengan kemauannya.
Petualangan kelam Mak Lampir ternyata tak semulus laju mobil mewah di jalan tol, ia mendapat rintangan dari Sembara seorang pendekar muda yang sakti nan tampan keturunan Ki Ageng Prayoga. Acap kali Mak Lampir berlaga dalam perang tanding dengan Sembara.
Hyeaaat ... jeritan Mak Lampir menyertai hentakan tenaga dalamnya yang dikerahkan untuk menghantam Sembara. Ledakan dahsyat disertai semburan api mengejutkan jagad dan membakar pepohonan di belantara itu, akan tetapi secepat kilat Sembara menghindar dengan jurus Angin Berputar yang dikuasainya. Dalam hitungan detik Sembara menghalau Mak Lampir dengan Cemeti Amalrasuli pemberian gurunya Ki Ageng Jembar Jumantara. Karuan saja, Mak Lampir ngacir lari terbirit-birit ketakutan.
Gerandong ! Ayo cepat kita tinggalkan tempat ini, kita tidak akan mampu menghadapi Cemeti Amalrasuli. Hiiiih ... hi hi hi ... Mak Lampir pun bersama Gerandong melesat di rimbunan hutan belantara itu dan Sembara kehilangan jejaknya.
Mak Lampir berfikir keras di persembunyiannya, bagaimana caranya untuk merebut Cemeti Amalrasuli yang dimiliki Sembara itu. Hemh ... aku ada akal, tiba-tiba cling Mak Lampir dengan Ilmu Malih Rupa yang dikuasainya berubah menjadi seorang wanita cantik berparas keibuan. Hiiiih ... hi hi hi ... Mak Lampir penuh keyakinan.
Dalam waktu yang tak lama, Mak Lampir dengan wajah barunya yang gelis dan membawa makanan yang banyak berhasil memperdaya Bashir sipendekar semelekethe itu sehingga Cemeti Amalrasuli jatuh ke tangan Mak Lampir. Untung saja Ki Ageng Jembar Jumantara yang waskita bisa merebutnya kembali.
Believe it or not. Ilmu Malih Rupa yang dikuasai Mak Lampir di zaman bahula itu kini muncul kembali di zaman millennial, bergentayangan menghantui pengguna dunia maya.
Untuk menguasai Ilmu Malih Rupa di abad ini berbeda dengan di zaman Mak Lampir, tidak perlu merafalkn mantra-mantra sambil melakukan tapabrata seperti yang diajarkan Nenek Serintil dari Perguruan Anggrek Jingga itu. Yang dibutuhkan adalah ketekunan dan rajin membaca algoritma serta mencari celah yang berlaku di dunia maya yang lagi ngetren seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, YouTube, dan masih banyak lagi aplikasi yang bisa dipelajari.
Pada zaman millennial yang identik dengan era kemajuan teknologi informasi ini, banyak aplikasi yang dikembangkan oleh Pendekar Informatika beraliran putih yang betujuan untuk membantu hajat manusia di era globalisasi sehingga kebutuhan transformasi informasinya terpenuhi. Namun sayangnya, tujuan baik mereka ternoda oleh orang pinter Informasi Teknologi yang berasal dari aliran hitam. Mereka mempelajari banyak aplikasi tetapi disalah gunakan seperti Nenek Serintil dan murid kesayangannya Mak Lampir itu yang telah menyalahgunakan Ilmu kesakitannya.
Dalam perspektif Al-Qur'an namanya Haman, yaitu seorang teknokrat yang melacurkan ilmunya untuk kepentingan Fir'aun sehingga merugikan banyak orang. Begitupun dengan orang yang pinter Informasi Teknologi yang berasal dari aliran hitam, dengan keahlian meretas medsos yang dimiliki orang lain bisa malih rupa untuk mengelabui orang yang lainnya lagi. Dengan keahliannya, membuat profil baru menggunakan foto orang lain (malih rupa) sehingga orang yang dijadikan target jika tidak teliti akan percaya begitu saja karena melihat profil yang digunakan adalah foto orang yang dikenal, padahal itu palsu.
Banyak yang menjadi korban akibat ulah Ilmu Malih Rupa di dunia maya pada abad ini. Fotoku sendiri yang di Facebook pernah diretas untuk dijadikan profil WhatsApp orang lain yang tidak aku kenal, untung saja yang dihubungi tidak begitu saja percaya terhadap orang yang malih rupa menjadi aku.
Entah berapa kali fotoku disalah gunakan oleh orang lain, yang jelas lebih dari satu kali, aku tak tau karena aku tidak memiliki Kaca Paso Benggala seperti milik Mak Lampir yang bisa digunakan untuk memantau keadaan dan siapa dimanapun berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H