Secara bahasa, zuhud berarti menjauhi, meninggalkan, atau menghindari. Dalam Islam zuhud adalah meninggalkan kecondongan dari hal-hal yang bersifat materialistis (duniawi) dan lebih mementingkan kehidupan akhirat. Dalam ajaran tasawuf, para sufi membagi zuhud menjadi tiga tingkatan.
- Tingkatan pertama, tingkatan pra zuhud. Pada tingkatan ini seseorang cenderung masih menikmati kelezatan duniawi. Namun, berusaha mengurangi dan mengendalikan hawa nafsunya terhadap semua keinginan dunia. Pada tahap ini seseorang harus berusaha keras memerangi hawa nafsunya dan membiasakan memandang rendah terhadap kelezatan dunia.
- Tingkatan kedua, seseorang yang telah berada di tingkat dimana tidak tertarik lagi oleh kenikmatan dunia, namun hatinya masih takjub dengan kezuhudan yang ia lakukan. Pada tingkat kedua ini, kezuhudan yang masih dianggap belum sempurna dan dianggap masih memiliki kekurangan di kalangan sufi.
- Tingkatan ketiga, dimana pada tingkatan ini merupakan tingkatan yang sempurna. Dimana seseorang berzuhud dengan tulus dan ikhlas serta tidak memandang kezuhudannya. Baginya dunia tidaklah berharga bila dibandingkan dengan kenikmatan akhirat. Dan ia juga tidak merasa kehilangan apa yang telah dilakukannya untuk meninggalkan dunia, karena ia mengetahui bahwasannya dunia bukanlah suatu hal yang berharga.
5. Ridha (الرضا)
Ridha adalah menerima atau melapangkan hati atas segala ketetapan yang Allah berikan. Ridha merupakan sifat terpuji yang harus dimiliki oleh manusia. Dengan Ridha seseorang senantiasa akan merasa tenang dan tidak gundah terhadap situasi yang akan terjadi. Dalam ilmu tasawuf, ridha sendiri memiliki makna tidak terguncangnya hati seseorang ketika menghadapi musibah dan mampu menghadapi manifestasi takdir dengan hati yang tenang.
6. Mahabbah (المحبة)
Konsep mahabbah dalam tasawuf adalah perasaan cinta yang mendalam kepada Allah sehingga seorang hamba dapat merasakan kedekatan terhadap Tuhan-Nya. Mahabbah dapat mendorong sufi pada perubahan diri. Cinta kepada Allah yang murni akan mendorong para sufi memiliki perilaku terpuji dan menghilangkan perilaku egoisme. Sehingga rasa cinta kepada Allah ini dapat membantu untuk pencerahan dalam perjalanan spiritualnya.
7. Makrifat (المعرفة)
Dalam perspektif Imam al-Qusyairy, makrifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah Swt., melalui nama-nama serta sifat-sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah Swt., dengan muamalatnya, kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, yang terpaku lama di pintu (rohani), dan yang senantiasa I'tikaf dalam hatinya.
Menurut para sufi, makrifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga didalam hati sanubarinya seakan-akan dapat melihat Tuhan. Dalam maqamat, makrifat merupakan puncak dari perjalanan spiritual para sufi. Dimana seorang sufi tidak hanya mengenal Tuhan tetapi dapat merasakan kehadiran Tuhan secara langsung dalam kehidupannya.
C. Maqamat dan ahwal sebagai sarana menggapai keberkahan
Perjalanan spiritual sufi bukanlah hanya semata-mata untuk kepentingan pribadi. Namun untuk menuju kebahagiaan sejati serta merasakan keberkahan dalam berbagai aspek, baik secara sosial, batiniyah maupun material. Dalam proses perjalanan spiritualnya para sufi merasakan nikmatnya suatu keberkahan dalam berbagai aspek sehingga dapat dijadikan sebagai ibrah. Dalam aspek sosial ia merasakan berkahnya dibimbing oleh para mursyidnya untuk memahami dan melewati maqamat dan ahwal dengan penuh kesabaran.
Dalam aspek batiniyah dapat dilihat dari ahwal khauf, dengan ini para sufi akan menanamkan sifat rendah hati dan memohon ampun. Karena ia sadar bahwa manusia memiliki keterbatasan dan tidak dapat sempurna, melainkan Allah Swt., Yang Maha Sempurna. Sedangkan dalam aspek material lebih condong dalam kehidupan sehari-hari seorang sufi. Ketika seorang sufi telah mencapai pada puncak maqamat dan ahwal, tentu seorang sufi akan merasakan keberkahan dan kemudahan dalam menjalani kehidupan dunia. Ketika menjalani kehidupannya mereka akan selalu bersyukur, bersabar dan merasa cukup dengan apa yang diberikan. Karena hakikatnya, ia tahu bahwa itu semua merupakan takdir yang telah Allah tentukan untuk Hamba-Nya dan Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk Hamba-Nya.
Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan, Dalam perjalanan spiritual sufisme, maqamat dan ahwal memiliki peran penting hingga menghantarkan untuk menuju kesempurnaan rohani. Keduanya saling terkait serta dapat menjadi landasan untuk memperdalam hubungan seorang sufi dengan Tuhan-Nya untuk mencapai kemuliaan dan kehidupan baik di dunia maupun akhirat. Namun terdapat perbedaan yang membedakan antara maqamat dan ahwal. Maqamat merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang sufi untuk mencapai kedekatan terhadap Tuhannya. Sedangkan ahwal, keadaan jiwa seorang sufi dan ahwal ini bersifat sementara. Setiap langkah perjalanan spiritual tersebut pastinya harus diawali dengan niat yang tulus dan lurus. Dengan niat yang tulus, maka perjalanan tersebut akan terciptalah rasa syukur dan barokah. Para sufi juga dapat memetik hikmah dibalik setiap perjalanan spiritual yang cukup panjang itu.