Mohon tunggu...
Suci Rahmadani
Suci Rahmadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1/Tadris Bahasa Indonesia/UIN Sumatera Utara

Saya adalah Mahasiswi S1 Prodi Tadris Bahasa Indonesia,Saat ini saya masih menjalankan pendidikan saya di Uin Sumatera Utara dan saya semester 3.Hobi saya adalah menulis apalagi menulis sebuah puisi saya sangat suka dengan hal itu.Saya sudah sering mengikuti lomba puisi dan alhamdulillah saya selalu juara itu bukan hanya karena usaha saya tetapi karena izin dari Allah SWT dan doa yang tak pernah henti dari orang tua saya

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Narasi di Balik Wacana Energi Hijau: Antara Komitmen Lokal dan Tantangan Lokal

25 Desember 2024   07:00 Diperbarui: 24 Desember 2024   07:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


      Dalam beberapa tahun terakhir, isu energi hijau menjadi sorotan utama di berbagai forum internasional, termasuk Konferensi Perubahan Iklim COP. Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki potensi energi terbarukan besar, kerap menegaskan komitmennya terhadap transisi energi. Namun, bagaimana wacana ini diterjemahkan di tingkat lokal? Apakah narasi yang dibangun pemerintah dan media mencerminkan realitas masyarakat?


     Analisis menggunakan pendekatan Norman Fairclough, yang memadukan dimensi teks, praktik diskursif, dan praktik sosial. Data diambil dari berita media daring, pidato resmi pemerintah, dan komentar publik di media sosial selama tiga bulan terakhir.

1. Narasi Global vs Lokal
Wacana energi hijau di level global cenderung berfokus pada komitmen karbon netral, investasi besar, dan teknologi canggih. Namun, di tingkat lokal, narasi ini sering tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat, terutama di daerah terpencil yang belum sepenuhnya mendapatkan akses listrik.
2.Peran Media
Media arus utama seringkali mereproduksi narasi pemerintah tanpa memberikan ruang bagi suara masyarakat terdampak. Hal ini menyebabkan diskursus energi hijau menjadi elitis dan kurang inklusif.
3.Kritik Publik
Di media sosial, banyak masyarakat mengkritik bahwa transisi energi hijau terkesan lamban dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Misalnya, mahalnya biaya instalasi energi terbarukan menjadi salah satu keluhan utama.

      Wacana energi hijau di Indonesia masih menghadapi kesenjangan antara narasi global dan kebutuhan lokal. Pemerintah dan media perlu lebih inklusif dalam membangun diskursus, agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya responsif terhadap tuntutan global tetapi juga relevan bagi masyarakat.

Rekomendasi:

1.Pemerintah harus melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan implementasi proyek energi hijau.
2.Media perlu memberikan ruang bagi narasi alternatif yang merepresentasikan suara masyarakat terdampak.
3. Perlu ada regulasi yang memastikan harga teknologi energi hijau lebih terjangkau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun