Percakapan antara mahasiswa sosial (A) dan mahasiswa eksak (B),
(A): Kebanyakan orang eksak itu sudah terbiasa dengan "yang pasti-pasti". Mereka juga miskin imajinasi. akhirnya, hanya sedikit saja dari mereka yg bisa memasuki sekaligus menjelajah dunia kemungkinan. Sementara bukankah kebenaran tuhan bisa sangat metafisik? tak heran jika seorang Einstein merasa lebih mensyukuri karunia imajinasi dibanding bakat sainsnya.
(B): ‎(A) , secara harfiah eksak = pasti, namun bukan berarti dalam ilmu eksak hasilnya mesti pasti. Justru dalam fisika sendiri mengenal teori ketidakpastian dalam melakukan perhitungan dan bahkan dalam fisika sendiri seorang fisikawan sangat dituntut berpikir dengan imajinasi yang kuat untuk membayangkan fenomena-fenomena fisis di jagad raya ini yang tidak bisa dijangkau dengan mata telanjang.
(A): Coba bandingkan dengan filsafat dan sastra?
(B): Semuanya memiliki kesamaan membutuhkan metode yang sistematis dalam berpikir, hanya kajiannya saja yang berbeda.
(A): Sains jauh lebih rigid dari filsafat dan sastra.
(B): Tidak juga, dalam filsafatpun sering mengadopsi hasil-hasil dari sains. hanya saja dalam filsafat dan sastra cara berpikirnya lebih cenderung tidak linear. Tapi dalam sains cara berpikirnya harus ada keduanya yakni linear dan tidak linear, artinya sains dituntut lebih fleksibel dalam berpikir. :)
(A): Jangan mengarang lah (B).
(B): Saya tidak mengarang loh...ini fakta. Dalam menemukan teori-teori baru atau hukum-hukum fiska, fisikawan seringkali tidak linear dalam berpikir. Contohnya Einstein; Dalam menemukan teori relativitas, cara berpikirnya tidak linear bahkan dianggap menghayal oleh fisikawan lainnya. Bahkan ada yang menyebut Einstein sebagai seorang filusuf.
(A): Dan imajinasi Einstein itu, (B), bukan metode sains!
(B): Kalau di era Newton mungkin pendapatmu benar, tapi pasca era Einstein sains jauh lebih rigid dari filsafat dan sastra sangat tidak tepat.