Mohon tunggu...
SUCI NENGTYAS
SUCI NENGTYAS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Ahmad Dahlan

Saya merupakan seorang mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan yang saat ini berdomisili di Yogyakarta. Saya memiliki kegemaran dalam bidang kepenulisan khususnya menulis puisi, di mana saya menemukan kedamaian dan keindahan dalam setiap rangkaian kata. Saat ini, saya sedang menjelajahi dunia tulisan yang lebih luas, seperti opini, essay, dan karya tulis lainnya untuk memperluas cakrawala penulisan saya. Dalam setiap tulisan, saya berusaha untuk mengekspresikan pemikiran saya secara mendalam dengan memberikan sudut pandang yang segar dan bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Setitik Cerita Mahasiswa Semester Tiga

12 Desember 2024   21:39 Diperbarui: 12 Desember 2024   21:39 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Semester tiga. Awalnya tampak biasa saja, seperti semester-semester sebelumnya. Tapi ternyata, oh ternyata, semester tiga ini bukan sekadar perjalanan kuliah. Ini adalah "marathon" tanpa akhir, dengan keringat bercucuran, napas tersengal-sengal, dan mental yang makin tergerus. Garis finish? Entah ada di mana. Rasanya sudah berlari sekuat tenaga, tapi tetap saja seperti jalan di tempat. Kalau semester kuliah itu diibaratkan level permainan, nah semester tiga ini adalah level boss yang nyuruh kita main di labirin sambil tutup mata.

Setiap hari rasanya terus kejar-kejaran yang nyatanya ntah sedang mengejar apa. Tiap malam begadang untuk belajar, anehnya, ga ada satupun materi yang nyantol di kepala. Belum lagi urusan 'ngertiin' mood dosen. Ada dosen yang hari ini senyum sumringah, besok tiba-tiba jadi seperti serigala. Dan tentu saja, dosen killer itu selalu ada untuk menyempurnakan perjuangan dan akan menjadi cerita yang berkesan. Dosen killer itu semacam legenda hidup di jurusan. Kalau masuk kelas beliau, jantung ini otomatis berdegup kencang dan keringat dingin mengucur deras seperti habis lari muterin Mandala Krida. Pernah suatu kali, saya merasa sudah paham materi dan percaya diri masuk kelas dan menghadap beliau. Eh, ternyata saya cuma bisa terbata-bata menjawab pertanyaan pertama. Keluar dari ruangan, rasanya kepala kayak kebarakan. 

Di tengah semua kekacauan ini, ada satu tempat yang jadi penyelamat dari kebanyakan mahasiswa, yaitu warmindo. Entah kenapa, setiap selesai kelas atau sebelum begadang, kaki ini otomatis melangkah ke sana. Warmindo itu bukan sekadar tempat makan. Di sana ada terapi psikologis murah meriah, dimana obrolan receh dan canda tawa sobat menjadi obat pereda stres paling mujarab meski hanya sementasa, dan tentu saja, indomie goreng telur yang entah kenapa rasanya lebih lezat daripada masak sendiri. Di warmindo, dunia terasa lebih ringan meski cuma sebentar. Kadang, sendoknya aja kayak mau ngajak kita ngomong, "Seng tenang bossku".

Tapi ya, hidup nggak melulu soal indomie. Di semester ini juga, perasaan salah jurusan mulai muncul. Awalnya, saya yakin banget bisa jadi ilmuwan kayak Einstein, walaupun kalkulus aja sering bikin linglung. Tapi makin ke sini, makin terasa kayak 'mungkin saya salah jalan deh'. Apaya, boro-boro jadi kayak Einstein, dapat nilai B aja sudah berasa kayak menang lotre. Tiap malam, sebelum tidur (kalau sempat tidur), sering terlintas, "Kenapa sih dulu nggak tetap ambil akuntansi aja? kenapa dulu ga berjuang lebih keras untuk dapetin jurusan itu?" Tapi ya, kalau mundur sekarang, gimana dengan keluarga? gimana dengan orang-orang disekitar saya? Mereka sudah banyak mendukung dan percaya saya bisa melewati jalan panjang yang penuh badai ini.Kalau menyerah, artinya saya adalah seorang prajurit yang kalah sebelum berperang.

Jadi, meski kadang rasanya seperti berjalan di labirin tanpa pintu keluar, saya tetap mencoba bertahan. Meski tiap hari mung tulang tulung karo yaa Allah, yaa Allah tok rapopo. Semester tiga ini mungkin adalah salah satu masa terberat, tapi saya berharap, suatu hari nanti, saya bisa melihat ke belakang dan berkata, "Saya bisa melewati badai ini". Untuk saat ini, mungkin saya akan kembalikan fokus ke tugas yang entah kapan akan selesai. Dan mungkin, mampir ke warmindo sebentar. Siapa tahu di sana ada energi baru yang siap saya seruput bersama segelas es chocolatos coklat yang nikmatnya tiada tara.

Dan untuk teman-teman yang memiliki cerita serupa, jangan merasa sendiri karena setiap orang pasti struggle dengan kisahnya dan percaya bahwa kita bisa melewatinya meski terkadang tidak mungkin. Percayalah Tuhan bersama umatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun