Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sandiwara Radio, Media BNPB Membumikan Waspada Bencana kepada Masyarakat

9 September 2016   15:07 Diperbarui: 9 September 2016   19:33 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kejadian bencana tahun 2016 (sumber. BNPB)

Kokobako….linda..lindu…kokobako..linda..lindu….

Kalimat tersebut  masih terekam kuat dalam ingatan saya. Saat kecil, beberapa kali saya mengalami lindu (gempa kecil).   Goyangan atau gempa bumi kecil  dalam bahasa Jawa  Tengah  sering di sebut lindu. Biasanya saat lindu datang, secara spontan orang-orang di desa saya (di Kabupaten Klaten) langsung mengucapkan kalimat “Kokobako….linda..lindu…kokobako..linda..lindu….” berulang kali.

Menurut kepercayaan, dengan kalimat tersebut lindu akan berhenti dan tidak sampai menelan korban.   Kalimat atau 'mantra' tersebut sudah puluhan tahun dipercaya oleh warga pedesaan di Jawa Tengah. 

Indonesia Rawan Gempa

Indonesia  adalah negara rawan gempa. Hal itu sering kita dengar terutama dalam sepuluh tahun terakhir ini. Meskipun saat SMP pada pelajaran geografi pernah disampaikan kondisi geografis Indonesia sehingga termasuk negara  rawan gempa, tetapi saya sendiri baru menyadarinya belum lama. Yaitu sejak bencana tsunami di Aceh, gempa di Jawa Tengah dan DIY tahun 2006. Ya baru sepuluh tahunan terakhir ini. Padahal sejak kecil saya sudah berulangkali merasakan sendiri terjadinya gempa meskipun tidak sedasyat  tahun 2006 lalu.

Dilihat dari  geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Terdapat sabuk vulkanik  (volcanic arc) pada bagian selatan dan timur Indonesia yang memanjang dari Pulau Sumatera - Jawa - Nusa Tenggara - Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.  Dengan kondisi tersebut maka tidak mengherankan jika  sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor.

Secara spesifik, menurut   Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut.  Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Secara jelas, disebutan bahwa bencana tidak hanya disebabkan oleh alam,  tetapi juga non alam dan manusia .  Disebutkan juga bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Indonesia tergolong rawan ketiga  bencana tersebut, tetapi bencana yang sering terjadi  salah satunya bencana alam yaitu gempa.

Menurut catatan BNPB (bnpb.go.id), data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986). Data UNISDR menyebutkan, dalam paparan terhadap penduduk atau jumlah manusia yang ada di daerah yang mungkin kehilangan nyawa karena bencana, risiko bencana yang dihadapi Indonesia sangat lah tinggi. Untuk potensi bencana tsunami, Indonesia menempati peringkat pertama dari 265 negara di dunia yang disurvei badan PBB itu. Resiko ancaman tsunami di Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan Jepang. Dalam itung-itungan UNISDR, ada 5.402.239 orang yang berpotensi terkena dampaknya.

Dari data BNPB juga untuk tahun 2016 ini (update 19 Juni 2016) terdapat 1.062 kejadian telah terjadi dan menyebabkan 217 jiwa meninggal dan 1,7 juta jiwa menderita dan mengungsi.  Sejumlah kedaian tersebut telah menyebabkan kerusakan rumah 15.595 unit dan 472 unit fasilitas. Kemudian lebih dari 95% merupakan bencana hidrometeorologi seperti  banjir, puting beliung dan tanah longsor yang paling dominan.

Fakta tersebut tentunya  jangan sampai membuat kita  menyesal dan hanya berdiam diri, toh pada kenyataannya begitulah kondisi tanah air Indonesia tercinta ini.  Yang paling penting adalah dengan mengetahui bahwa negara yang kita tinggali ini rawan gempa, membuat kita harus  lebih waspada dan siap siaga. Tinggal di daerah yang rawan gempa, mau tidak mau harus mendorong kita esktra peduli, waspada sehingga pada akhirnya saat tidak bisa menghindari bencana, maka kita harus  menghadapi dengan kesiapan diri.

kejadian bencana tahun 2016 (sumber. BNPB)
kejadian bencana tahun 2016 (sumber. BNPB)
Gempa Jawa Tengah dan DIY Membuka Kesadaran Saya

Orangtua sempat bercerita saat kecilnya  pernah  sesekali mengalami kejadian gempa . Meskipun dalam skala kecil tetapi gempa bukan hal yang asing lagi bagi orangtua saya.

Saya sendiri  merasakan gempa yang besar  yang melanda Jawa Tengah dan DIY  pada tahun 2006 lalu. Meskipun di Solo gempa tersebut tidak terlalu besar, hanya merasakan goyangan beberapa saat, tetapi sempat membuat panik, apalagi saat itu anak-anak saya masih kecil dan gempat terjadi saat pagi hari.

Beberapa kecamatan di Kabupaten Klaten, Boyolali dan di DIY mengalami keadaan yang sangat parah. Solidaritas sosial langsung terbentuk dengan cepat. Teman-teman di Solo segera bergerak untuk memberikan bantuan baik materi maupun  tenaga. Kebetulan saya dan teman-teman kantor  juga melakukan hal yang sama, kami menyambangi  Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten dan beberapa desa di Kabupaten Boyolali. Saya cukup  terpukul melihat kondisi rumah rusak berat, fasilitas publik porak poranda, sumur-sumur kering,  bahkan beberapa tanah tampak merekah beberapa centimeter.

Dan saat saya bergabung dengan salah satu lembaga internasional dari Jerman untuk membantu memfasilitasi perencanaan di 25 desa di Jawa Tengah dan DIY, saya semakin  bisa merasakan dampak dasyat gempa yang setiap saat bisa terjadi lagi. Kerawanan daerah di Indonesia terutama di Jawa Tengah dan DIY harus menjadi perhatian dan selalu dingatkan kepada warga agar senantiasa mempunyai kepekaan untuk menghadapi gempa. Demikian juga dengan daerah lainnya di Indonesia yang rawan gempa dan bencana alam lainnya.

Masyarakat Mudah Melupa

Di satu sisi , saya merasa senang melihat masyarakat telah bangkit kembali semangat hidupnya , melupakan trauma akibat gempa yang menimpa mereka.  Musibah yang telah menghancurkan kehidupan keluarga, mengambil orang-orang terdekat dan memusnahkan harta benda perlahan telah samar dari ingatan. Kenangan akan terjadinya gempa sebagian besar sudah tidak terlihat  menghantui  lagi kehidupan mereka.

Tetapi  di satu sisi saya merasa khawatir. Kenapa? Karena  ada kecenderungan masyarakat akan mudah melupakan kalau gempa bisa saja terjadi sewaktu-waktu, entah kapan tepatnya tidak ada yang bisa memastikan.  Potensi gempa menjadi ancaman masyarakat tetapi karena masyarakat  sudah mulai melupakan musibah  gempa  terdahulu, sehingga berpotensi  mengurangi kewaspadaan.  Selain kewaspadaan berkurang, kemungkinan melupakan langkah tercepat saat ada gempa  juga tidak terbayang lagi. Secara pribadi saya tidak bisa menyalahkan.  Pada tahun-tahun awal setelah gempa, masyarakat  sangat waspada terhadap gempa dan dilatih bersikap cepat dan tanggap terhadap gempa . Tetapi di tahun-tahun tersebut tidak ada gempa, sehingga wajar jika  seiring waktu berlalu, kewaspadaan tersebut mulai memudar.  

proses evakuasi bencana tanah longsor di Purworejo Jawa Tengah, Juni 2016 (sumber : seruanku.com)
proses evakuasi bencana tanah longsor di Purworejo Jawa Tengah, Juni 2016 (sumber : seruanku.com)
Padahal resiko tinggal di daerah rawan gempa, mestinya kewaspadaan tidak boleh pudar apalagi hilang.  Jika kewaspadaan mulai hilang, jika terjadi gempa, bisa jadi  masyarakat tidak siap sehingga bisa terjadi  banyak korban (harta dan jiwa).

Untuk itu, selalu mengingatkan masyarakat untuk waspada dan bersiap setiap saat menghadapi gempa menjadi hal yang penting untuk dilakukan.

BNPB Membumikan  Kewaspadaan Masyarakat Menghadapi Bencana  Lewat Sandiwara Radio

Pemerintah telah berupaya keras  untuk  siaga menghadapi bencana.  Paling tidak sejak tsunami melanda Aceh tahun 2004, kewaspadaan negara untuk menghadapi bencana semakin tinggi. Pemerintah  menyadari bahwa masalah kebencanaan harus ditangani secara serius, apalagi dengan kondisi daerah rawan bencana.

Salah satu keseriusan pemerintah dalam mengangani bencana bisa dilihat dari adanya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) .  Sebuah lembaga yang bertugas mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu; serta melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan mulai dari sebelum, pada saat, dan setelah terjadi bencana yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan pemulihan.

Banyak sekali program, kegiatan yang dilaksanakan BNPB. Dalam hal pencegahan bencana,  salah satu yang dilakukan adalah  sosialisasi  siaga  terhadap bencana melalui program sandiwara radio.

Pilihan sosialisasi melalui sandiwara radio adalah pilihan yang tepat. Meskipun sekarang sudah era tehnologi modern, tetapi  pada dasarnya belum semua daerah di Indonesia terjangkau dengan internet dan kemudahan tehnologi lainnya. Masih ada daerah di Indonesaia yang  belum terjangkau dengan tehnologi dan masih mengandalkan radio  sebagai sarana komunikasi .  Radio masih menjadi pilihan utama terutama di daerah pelosok yang cukup jauh dari kota. Saya sendiri meskipun  tinggal di kota dengan kemudahan tehnologi, tetapi masih senang mendengarkan radio.

Sandiwara radio  pernah menjadi primadona masyarakat di era tahun 1990-an. Sandiwara radio  dengan berbagai genre merajai dan menjadi  idola, bahkan menurut saya melampaui siaran lainnya seperti lagu-lagu. Sandiwara radio seperti  cerita silat Saur Sepuh,  drama  dengan judul Ibuku Sayang Ibuku Malang , cerita misteri seperti  Misteri Dari Gunung Merapi ,   mampu menjadi magnet bagi  pendengarnya baik tua, muda, remaja, anak, dengan jenis kelamin lelaki dan perempuan. Semuanya suka dan selalu menantikannya.

Saya sendiri  berusaha tidak pernah ketinggalan mendengarkan ketiga sandiwara  radio tersebut  dan selalu menunggu dengan penasaran, berdebar-debar, marah dan campur aduk perasaan lainnya , ikut terhanyut dengan kisah ceritanya.

BNPB memilih sandiwara menjadi media untuk memberikan edukasi  tentang bencana kepada masyarakat .

Edukasi melalui sandiwara radio  memang lebih tepat dibandingkan dengan memberikan ceramah dan ulasan tentang bencana. Kenapa? Karena masyarakat  lebih mudah mengingat-ingat isi cerita dari sandiwara radio dibandingkan dengan mengingat ceramah ilmiah tentang bencana. Bahkan saya berani memastikan, dengan jalan cerita yang sederhana dan tidak jauh dari cerita sehari-hari, masyarakat akan hapal betul cerita sandiwara tersebut. 

BNPB mempersembahkan sebuah roman sejarah Asmara di Tengah Bencana  (ADB) yang lahir dari tangan dingin   maestro sandiwara radio S. Tidjab.

ADB mengambil  seting Kadipaten Pajang yang masuk wilayah Mataram. Cerita yang diangkat sederhana tetapi disisipi edukasi tentang bencana. Tokoh utamanya adalah Raditya putra Tumenggung Jaya Lengkara dan  Sekar Kinanthi, kembang desa yang menjadi idaman laki-laki,  putri tunggal pak Lurah Desa Jatisari.

Yang menjadi daya tarik dalam ADB  yang juga menjadi keunggulan cerita tersebut, romansa yang dibumbui dengan edukasi. Cara menyampaikan pesan dan   memberikan pemahaman tentang tanda bencana dan langkah-langkah cepat dan tepat yang harus dilakukan saat bencana sangatlah halus. Orang yang mendengarkan akan lebih mudah mengingatnya manakala mendengarkan tanda bencana  di desa Jatisari  melalui penuturan Raditya yang pasti dibenak yang mendengarkan adalah sosok yang tampan, tinggi besar, kulit bersih,  ya seperti pangeran-lah.

Air sungai berubah panas, hewan berkeliarana, udara pegap,menjadi gambaran tanda-tanda bencana yang diisyaratkan oleh alam. Dan ini akan mudah diingat oleh masyarakat.

ADB  merupakan cerita bersambung , yang direncanakan sampai 50 episode. Tiap episode berlangsung selama 30 menit. Disiarkan di 20 stasiun radio. Untuk  saat ini ADB baru bisa dinikmati di 18 radio  yang tersebar  berbagai daerah dan dua radio komunitas.

BNPB melakukan edukasi lewat sandiwara radio, Asmara di Tengah Bencana(foto: kompasiana.com)
BNPB melakukan edukasi lewat sandiwara radio, Asmara di Tengah Bencana(foto: kompasiana.com)
Daftar radio yang menyiarkan ADB yaitu:

Wilayah Jawa Tengah:

CJDW FM 107 Mhz Boyolali, pukul 19.30-20.00

Radio H FM 89,6Mhz Karanganyar, pukul 19.00-19.30

Merapi Indah FM 104,9Mhz

SPS FM 96,6Mhz Salatiga, pukul 19.00-19.30

Studio 99 FM 95,5 Mhz Purbalingga pukul 16.30-17.00

Magelang, pukul 19.00-19.30.

Wilayah Jawa Timur:

 GE FM 93.8Mhz Madiun, pukul 19.10-19.40

Senaputra FM 04,1MHz Malang, pukul 19.00-19.30

Gema Surya FM 94,2 Mhz Ponorogo, pukul 19.00-19.30

Soka FM 102,1Mhz Jember, pukul 19.00-19.30

Wilayah DIY :

EMC FM 97,8Mhz Yogyakarta, pukul 19.00-19.30

Persatuan FM 107,2Mhz Bantul, pukul 19.00-19.30

 Wilayah Jawa Barat:

Gamma FM 106,5,Mhz Majalengka, pukul 16.00-16.30

Fortuna FM 90,7FM Sukabumi, pukul 19.00-19.30

Aditya FM 91,5Mhz Subang, pukul 19.00-19.30

Thomson FM 99,6Mhz Bandung, pukul 19.00-19.30

Elpass FM 103,6Mhz Bogor, pukul 19.00-19.30

HOT FM 88,2Mhz Serang, pukul 19.00-19.30

GenJ FM 95,7Mhz Rangkasbitung, pukul 19.00-19.30

Radio Komunitas:

Radio Komunitas Kelud Fam 88,4Mhz Kediri, , pukul 19.00-19.30

Radio Komunitas Lintas Merapi FM 107,9 Mhz Klaten, , pukul 19.00-19.30

 

Tantangan  Edukasi Melalui Sandiwara Radio 

Meskipun sosialisasi melalui sandiwara  radio cukup efektif , tetapi saya rasa tidak terlalu mudah mengharapkan  keberhasilan edukasi melalui sandiwa radio tersebut  di jaman kemudahan tehnologi dan banyaknya alternative hiburan. 

Jika merunut  keberhasilan sandaiwara radio di tahun 1990-an karena saat itu belum banyak media hiburan lainnya selain radio.  Kalaupun ada televisi  tetapi masih belum terjangkau semua lapisan masyarakat di pelosok negeri. Masyarakat masih dihadapkan pada pilihan yang terbatas sehingga saat itu radio menjadi satu-satunya hiburan yang merakyat, mudah dijangkau dan dimiliki banyak orang.

Untuk era sekarang, pilihan hiburan  beragam dan menarik. Pun siaran di radio juga beragam dan banyak yang menarik.

Saya rasa BNPB menginginkan sosialisasi melalui sandiwara radio menjadi cara yang efektif dan berhasil meng-edukasi masyarakat sadar akan bencana. Untuk itu, ADB harus dikemas semenarik mungkin sehingga bisa menjaring banyak pendengarnya

Pertama,  dibutuhkan sosialisasi yang  terus menerus untuk mendorong minat masyarakat mendengarkan radio. Misalnya ada baliho, leaflet,  yang ditempel di papan pengumuman kantor desa , pos kamling, posyandu, tempat-tempat umum, dll.  Kemudian juga iklan di radio. Berikan ulasan yang menarik  perhatian, pastikan informasi jam tayang dan saluran radionya.

Kedua, Untuk alur cerita diusahakan tidak mudah ditebak sehingga membuat penasaran pendengarnya. Peran antagonis bisa dimunculkan sesekali  tetapi jangan terlalu bertele-tele  yang membuat bosan pendengarnya.

Ketiga, perlu adanya  sayembara  yang disisipkan di episode-episode tertentu. Misalnya menebak kelanjutan cerita asmara kedua tokoh utamanya.  Sayembara  ini bisa menjadi magnet pemirsa untuk terus mengikuti kelanajutan cerita ADB. Tentunya disediakan hadiah yang menarik di beberapa episode dan di akhir episode . Saya terispirasi dari ketoprak sayembara yang ditayangkan TVRI Yogyakarta tahun 1980-an yang mampu membuat warga di desa kami penasaran dan rela menunggu sejak sore hari untuk menyaksikan kelanjutan ceritanya. Juga mengirimkan jawaban atas sayembara tersebut.

Hal ini dibutuhkan sedikit perubahan skenario cerita  untuk memasukkan beberapa sayembara di setiap  episode ADB.

Keempat, pemilihan jam tayang. ADB hendaknya mengambil jam tayang yang tepat. Misalnya sore hari sekitar jam 17.00 disaat orang-orang desa sudah pulang dari bekerja, di saat waktu istirahat menunggu petang menjelang. Kemudian perlu di siarkan ulang di jam tertentu, misalnya pagi atau malam hari.

Kelima, BNPB bisa bekerjasama dengan pihak pemerintah desa untuk ikut menghimbau warga mendengarkan ADB. Misalnya dengan acara mendengarkan ADB bersama-sama yang difasilitasi oleh pemerintah desa atau komunitas lainnya.

Melalui ADB , harapannya masyarakat akan  terhibur dan mudah mengingat-ingat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana dan bisa bertindak cepat dan tangkas saat bencana terjadi. Semoga.

FB. Suci Handayani (https://www.facebook.com/suci.handayani.568)

Twitter : @sucihansolo (https://twitter.com/sucihansolo)

_Solo, 9 September 2016_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun