Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Ibu Eni Serang, Potret Buruk Pemahaman Toleransi yang Salah Kaprah

11 Juni 2016   21:22 Diperbarui: 12 Juni 2016   07:10 2529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : merdeka.com

Menurut saya, Satpol PP Kota Serang telah bertindak melampaui batas.

Karena, pertama, dengan mengatasnamakan menegakkan aturan mereka telah semena-mena merampas dagangan Bu Eni. Satpol PP memang telah menempelkan secarik pengumuman di warung makan Bu Eni yang isinya larangan berjualan di siang hari. Tetapi  sepertinya Satpol PP lupa untuk mensosialisasikan  peraturan tersebut. Karena seperti pengakuan Bu Eni, ia tidak tahu peraturan tersebut dan ia tidak bisa membaca. Kenapa yang seperti ini, justru terkesan Satpol PP menyalahkan ibu Eni dan tetap melakukan razia? Bukankah seharusnya memberikan peringatan dulu. Bahkan jauh hari seharusnya sudah memberikan sosialisasi secara langsung. Tidak hanya mengandalkan kertas pengumuman saja.

Kedua, kenapa barang dagangan harus di sita? Mestinya setelah diberikan peringatan, barang dagangan tidak perlu disita.  Apalagi dagangan ibu Eni adalah makanan masak yang tidak akan bertahan lama. Jika memang dijadikan barang sitaan dan barang bukti , makanan tersebut besuknya pasti sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Jadi penyitaan dagangan Bu Eni hanyalah kegiatan sia-sia alias mubadzir saja.

Ketiga, saya ragu apakah Satpol PP berani menegakkan aturan yang sama untuk para pemilih rumah makan besar atau  gerai makanan cepat saji? Apakah peraturan itu juga berlaku untuk mereka yang memiliki modal besar ? Beranikah menyita makanan jika memang berjualan di siang hari? Kalaupun toh Satpol PP berani merazia dan menyita, para pemodal besar akan mudah bangkit lagi dan tidak terlalu masalah. Beda dengan pemilik warung kecil seperti Ibu Eni. Saat dagangan seharga Rp 600.000 di sita , ia harus mencari hutang untuk modal berjualan kembali.  Saya rasa model kerja-kerja seperti itu rawan akan penyimpangan alias rawan berat sebelah. Sehingga cara-cara yang digunakan Satpol PP mestinya dievaluasi lagi.

Bu Eni dan pemilik warung kecil lainnya  akan selalu menjadi korban ketidakmampuan pemerintah dearah dalam menterjemahkan makna toleransi. Selama pemerintah hanya berpikir sempit dan dangkal, kejadian seperti itu akan terus  dan terus berulang. Dan rakyat kecil yang menerima getahnya. Semoga  Pemkot Serang dan Pemerintah Daerah lainnya bisa berbenah dari kisah pilu Ibu Eni.**

_Solo, 11 Juni 2016_

sumber : merdeka.com
sumber : merdeka.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun