Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Razia, Penyakit Tahunan di Bulan Ramadhan

11 Juni 2016   06:25 Diperbarui: 11 Juni 2016   16:12 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang pasti terjadi  saat bulan puasa? Salah  satu yang selalu saya ingat adalah saat bulan puasa pastilah muncul penyakit tahunan atau kambuhan yaitu sweeping atau razia.

Sweeping  atau razia yang biasanya dilakukan oleh sekelompok  orang yang mengatasnamakan  kelompok islam dan berlagak paling benar, bersih,  suci,  alim, paling taqwa dan tentunya merasa paling bisa menegakkan ajaran agama islam.

Sudah bukan barang baru manakala sejumlah orang dari kelompok tertentu tersebut akan berteriak-teriak dengan tidak sopan, seakan-akan memberikan kotbah untuk mengajak orang-orang yang dianggap ‘tidak taat agama’ hanya karena berbeda dengan pemahaman mereka memaknai bulan puasa.

Kelompok yang merasa benar tersebut biasanya melakukan sweeping di rumah makan, warung yang berjualan makanan, toko yang berjualan minuman keras , dan tempat hiburan. Tidak hanya menyampaikan himbauan secara baik-baik tetapi lebih sering dengan cara kasar, mengancam dan tak jarang dengan cara kekerasan. Mengertak, memaki-maki, bahkan tak segan merusak, mengobrak-abrik, memecahkan barang dagangan. Kelompok tersebut merasa sah dan wajar saja melakukan tindakan anarkis karena merasa  benar dan membela kepentingan umat islam.

Selain  ulah sekelompok ‘preman’tersebut,  sweeping tahunan juga dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah.  Ada beberapa daerah yang menerapkan peraturan larangan membuka warung makanan  saat siang hari. Sehingga melakukan sweeping manakala ada rumah makan/warung yang buka di siang hari saat bulan puasa.  Beragam cara yang dilakukan untuk memberikan ‘peringatan’ ada yang hanya ditegur tetapi ada juga yang dagangan di sita. Pelanggan yang kedapatan sedang makan saat razia juga tak luput dari hukuman. Di Bogor, bahkan pelanggan yang makan mendapatkan  hukuman fisik berupa push up yang diberikan dengan tujuan agar  mereka jera, tidak mengulangi kesalahan yang sama (detik.com).

Memaknai Puasa

Memaknai puasa, saya kira tidak hanya sekedar menahan lapar dan haus saja ,juga tidak hanya sekedar menahan diri dari amarah, hawa nafsu dan hal-hal lain yang membatalkan puasa.  Berpuasa menjadi salah satu aturan dari Tuhan yang jika melanggarnya tentu akan mendapatkan hukuman. Tentu saja hukuman itu berasal dari Tuhan, bukan hukuman dari pemerintah atau sekelompok orang tertentu yang ‘merasa menjadi wakil Tuhan’ di dunia.

Bagi saya, berpuasa juga dimaknai dengan memberikan toleransi dan menghormati orang-orang yang tidak menjalankan puasa.

Jika pemerintah daerah (melalui Satpol PP, polisi) menerapkan aturan melarang hal-hal tertentu di bulan puasa demi ketertiban dan kepentingan masyarakat masih bisa dipahami.  Tetapi bagi kelompok tertentu, oh NO.  Karena salah satu tugas  pemerintah untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi warganya.  Tetapi untuk kelompok tertentu tersebut  tidak berhal karena mereka juga warga yang  tidak berhak menertibkan warga lainnya , entah dengan alasan apapun.

Tetapi bagi saya, karena negara kita terdiri dari banyak keberagaman, alangkah baiknya jika aturan tersebut tidak berlebihan.  Untuk razia minuman keras, tempat hiburan  malam, silahkan karena memang tidak terlalu banyak manfaat. Tetapi untuk warung makan ada pengecualian. Misalnya silahkan warung  makan buka   di siang hari tetapi untuk menghormati orang yang sedang berpuasa, maka warung harus ditutupi kain atau terpal  sehingga tidak terlalu mencolok dari luar.

Satu hal yang mungkin segaja dilupakan, bahwa para penjual makanan tersebut sebagian besar mengantungkan hidupnya dari berjualan. Apalagi saat bulan puasa menjelang lebaran, kebutuhan hidup biasanya lebih banyak lagi sehingga mereka cenderung bekerja lebih keras untuk memenuhinya. Kalau warung ditutup dan dilarang beroperasi di siang hari, sementara mereka biasa  melayani konsumen di  siang hari, bagaimana mereka menafkahi keluarganya?

Ada baiknya salah satu pesan   alm Gus Dur harus selalu kita ingat, “Jika kita merasa muslim yang terhormat, maka kita akan menghormati orang yang tidak berpuasa.”

Mohon maaf jika ada yang tidak sependapat.

_Solo, 11  Juni 2016_


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun