[caption caption="Ani Yudhoyono. Sumber foto : kompas.com"][/caption]Ibarat 'esuk dele, sore tempe' atau pagi kedelai, sorenya berubah menjadi tempe. Begitulah politikus jika berbicara, alias tidak bisa dipegang bicaranya, tidak bisa dipercaya janji-janjinya. Manakala ia berjanji sesuatu, jangan terkejut kalau dalam hitungan hari, jam bahkan detik bisa berubah. Kenapa? Jangan tanya, itulah politik. Makanya tak salah jika para tetua bilang, 'siapa yang suruh kamu  percaya dengan politikus.'
Seperti itulah yang terjadi dengan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat  di curigai berusaha mengalang dukungan dan simpati warga untuk mencalonkan diri sebagai presiden di Pemilu ke depan, dengan blusukannya yang di beri label Tour De Java (TDJ) , Ia mengelak dengan  mengatakan bahwa ia tidak berniat lagi karena sudah dua kali. Jauh sebelum acara TDJ,  ia pun pernah berjanji  bahwa keluarganya tidak akan maju sebagai calon presiden.
Saat TDJ, SBY mengajak serta Ani Yudhoyono, istrinya, beserta pejabat Partai Demokrat lainnya. Â Ia menyambangi sejumlah provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jatim , selama 13 hari. Untuk menyerap aspirasi rakyat dan konsolidasi dengan kader daerah terkait Pilkada 2017 dan 2018, tegasnya kala itu.
Tetapi apa dikata, ibarat ‘esuk dele sore tempe’ itu tadi,  ternyata Ia tidak berkomitmen dengan apa yang diucapkannya.
Oleh-oleh setelah TDJ adalah Partai Demokrat (PD) hendak mencalonkan Ani Yudhoyono sebagai presiden RI. Tak malu-malu lagi, di media sosial mulai berseliweran  gambar Ani Yudhoyono dengan hashtag #AniYudhoyono2019 . Bahkan Partai Demokrat mengakui bahwa istri  Presiden RI keenam itu disiapkan menjadi capres atas permintaan rakyat.
Rakyat yang mana?
Gejala post power syndrome SBY memang sudah banyak dicurigai dan tulis banyak orang. Ia berkali-kali bicara di media massa, mengkritik pemerintahan Jokowi, padahal kalau ditelaah lebih lanjut, banyak program dipemerintahannya yang blunder, mangkrak, menjadi beban pemerintahan Jokowi dan mau tidak mau diteruskan Jokowi.
Tetapi dengan entengnya, SBY lebih suka mengkritik, seolah-olah ia selama 10 tahun menjalankan roda pemerintahan lebih bagus dan berprestasi. Jokowi yang baru setahun mnejalankan roda pemerintahan sudah panen kritik. Ia hendak membandingkan dan memuji dirinya sendiri, melupakan banyak kegagalan yang diraih pemerintahannya.
Puncaknya, saat mengelar TDJ kemarin, secara terang-terangan, SBY Â mendengarkan aspirasi warga, hendak menyuarakan curahan hati masyarakat bawah. Padahal jelas-jelas, saat menjadi presiden ia jarang sekali turun ke bawah.
Kemudian, ia tiba-tiba memberikan oleh-oleh, melalui partainya, bakal mengusung mantan ibu Negara tersebut. Dengan alasan, banyak rakyat yang menghendaki karena masih mencintai SBY. Ia hendak melanggengkan dinasti politiknya.
Jadi, jelaslah bagi saya, rakyat yang dimaksud PD adalah sebagian rakyat yang ia temui di 4 propinsi, itulah yang di klaim, rakyat masih mencintainya.
Terlalu over percaya diri
Karena tidak tahan untuk menumpahkan rasa gembira dan suka cita plus keinginan untuk menuntaskan dan memuaskan  post power syndrome-nya, melalui PD, ia mengungkapkan bahwa PD hendak mencalonkan Bu Ani sebagai presiden.
Hanya karena merasa di cintai dan didukung rakyat dari empat propinsi, PD percaya diri untuk mengusung presiden. Padahal jelas-jelas  jauh dari kemungkinan Bu Ani mendapat dukungan dari masyarakat. Apalagi membandingkan dengan Hilary  Clinton, yang mencalonkan diri  sebagai presiden Amerika Serikat, mengantikan suaminya  Bill Clinton, Presiden AS ke 42.
Jika Nurhayati  Ali Assegaf, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf meyakini bahwa pengalaman Ani selama 10 tahun mendampingi SBY bisa menjadi modal besar (kompas.com), saya rasa ia keliru dan kepedean.  Apalagi ia menambahkan, "Bahkan, Ibu Ani Bisa lebih hebat dari Hillary Clinton," kata Nurhayati.
PD mungkin lupa bahwa , Hillary Clinton, bukan hanya mendampingi suaminya, sejak awal memang terlibat dalam politik praktis, pernah menjadi senator hingga Menteri Luar Negeri AS. Artinya , selain sebagai Ibu Negara , dua kali masa jabatan, ia juga benar-benar seorang politikus yang mempunyai banyak pengalaman.
Menurut saya, jika memang PD mau mengusung Calon Presiden, hendaknya menimbang, memilih dan mencermati dengan serius, sebelum melempar wacana yang mungkin malah hanya menjadi selingan  atau sekedar bahan pergunjingan atau cemoohan.
Karena belum tentu elektabilitas  seorang mantan Ibu Negara itu tinggi.  Kalau untuk kapasitas, bisa jadi bisa ditempa sambil jalan, tetapi itu juga belum tentu  pas sebagai seorang presiden.
Lantas, kalau terus mengaungkan Bu Ani, sudah siapkan PD menjadi bahan ledekan?
_Solo, 16 Maret 2016_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H