Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tenun Ikat Kai Ne'e Kupang: Gunakan Pewarna Alami dan Jadi Destinasi Favorit Turis

14 Maret 2016   10:30 Diperbarui: 14 Maret 2016   10:59 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu kabupaten yang termasuk wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah Kabupaten Kupang.  Kabupaten yang terletak di bagian paling selatan Indonesia memiliki 24 buah pulau, anatara lain  Pulau Timor, Semau dan Kera. Dengan luas wiayah sekitar 5.431,23 Km²,  Kabupaten ini memilik d 24 kecamatan, 160 desa dan kelurahan sejumlah 17.

Seperti daerah lainnya, Kabupaten Kupang  memiliki sejumlah aset serta potensi budaya. Yang terkenal adalah  tenun ikat dengan segenap ragam motif dan ulirnya. Ciri khas  tenu Kupang  adalah tenun yang dibuat secara tradisional yang dikerjakan oleh sebagian besar  perempuan  yang  memiliki keterampilan menenun yang diwariskan oleh nenek moyang dan diturunkan ke keturunannya.

Hampir di semua kecamatan, sebagian besar warga desa mempunyai usaha rumahan membuat kain tenun.  Salah satunya berada di Kecamatan Amarasi Barat. Di kecamatan ini, kelurahan dan desanya mempunyai kelompok tenun ikat.

[caption caption="Persiapan sebelum penenunan , foto : dok. pribadi"][/caption]

Beberapa waktu yang lalu, saya mempunyai kesempatan untuk mengunjungi salah satu kelompok tenun ikat Kai Ne’e yang berada di di kelurahan Teunbaun Kecamatan Amarasi Barat.

Di kelurahan Tenunbaun ada sekitar  empat  kelompok tenun yaitu Kaimanfafa yang berada di lingkungan 2, Kreit Penbuat 1 yang berada di lingkungan 2, Kreit Panbuat 3 yang berada di lingkungan 2 dan satu kelompok Tenun Ikat Kai Ne’e yang berada di lingkungan 5. Masing-masing kelompok penenun terdiri dari 10 orang anggota yang kesemuanya ibu-ibu.

Kelompok tenun ikat Kai Ne’e, sudah ada sejak tahun 2004 lalu, mereka mempunyai ketrampilan menenun yang diwarisi dari nenek moyang.  Tradisi di Kupang, semua orang dalam keluarga membutuhkan kain tenun yang dipergunakan untuk berbagai upacara adat seperti perkawinan, kematian, dan adat lainnya. Setipa orang paling tidak membutuhkan satu lembar tenun  yang dipergunakan untuk kegiatan adat tersebut. Hal inilah yang mendorong hampir semua perempuan Kupang (terutama ibu-ibu dana generasi ibu yang tua) bisa membuat kain tenun. Bahkan menurut kepala desa Teunbaun,Abrion Muni Rasi, kemampuan menenun perempuan akan menambahn nilai plus di mata suami. Apalagi hasil tenunan yang bagus akan menuai pujian dari orang lain sehingga menambah rasa percaya diri sang suami dan turut membanggakan karya istrinya.

[caption caption="foto: dok. pribadi"]

[/caption]

Mama Katerina Nepa Rasi, ketua kelompok tenun Kai Ne’e,  merelakan rumahnya sebagai sekretariatan kelompok , sekaligus  sebagai show room yang memajang produk kain tenun ikat hasil kelompok.  Secara rutin anggota berkumpul setiap hari Senin, untuk berkoordinasi sekaligus menenun bersama.

Kelompok ini membuat kain tenun dengan pewarnaan alami, yaitu mengunakan tumbuhan, akar dan buah-buahan yang tersedia di sekitar mereka. Sederhana saja, mereka memilih mengunakan pewarna alami karena hasil warna kain akana lebih awet bisa bertahan puluhan tahun dan pengunaan pewarna alami tidak akan mencemari lingkungan. Meskipun tergolong lebih rumit, lama, repot dan butuh ketrampilan serta ketelatenan khusus dalam meramu  pewarna alami, toh kelompok ini tidak pernah mengeluh bahkan terus  bertahan dengan warna alami tenun ikat mereka.

Proses pembuatan pewarna alami dan selembar kian tenun butuh waktu lama

Untuk membuat warna alami, mereka beruntung, alam  menyediakan bahan  yang dibutuhkan. Meskipun terkadang untuk warna tertentu mereka kesulitan mencari bahannya . Warna merah hati diperoleh dari proses perendaman campuran air dan akar mengkudu dengan takaran tertentu. Cara mendapatkan warna merah dari akar pohon mengkudu juga membutuhkan waktu yang lama.  Akar mengkudu harus ditumbuk sampai halus kemudian dicampur dengan air.  Setelah  larutan tersebut siap digunakan, benang  warna polos(putih)  dimasukkan ke dalam campuran tersebut  dan didiamkan selama 2 malam.  Kemudian dicuci dan di jemur. Proses perendaman dilakukan sampai  mencapai 12 kali perendaman , sampai menghasilkan warna merah hati sesuai yang diinginkan.

Warna kuning, diperoleh dari  campuran air dengan kulit kayu nangka, kulit mangga dan kunyit.  Sementara untuk warna biru dengan dibutuhkan air dengan campuran daun nilam. 

Setelah direndam, benang lalu dijemur selama kurang lebih 11 hari untuk menguji warna luntur atau tidak. Proses selanjutnya adalah membuka ikatan benang dan menguraikan benang ke alat tenun untuk selanjutnya dimulai proses tenun.

[caption caption="Proses pembuatan benang warna, foto: YSKK"]

[/caption]

Membuat Tenun Ikat

Mendapatkan selembar kain tenun ikat dari pewarna alami sekitar 6 bulan,yaitu dihitung  dari proses membuat pewarna alami, pencelupan benang sampai proses menenun  selesai. Proses pengerjaan  cukup panjang dan rumit. Diawali dengan  menggulung benang menjadi bentuk gulungan seperti bola. Kemudian proses kedua adalah proses loloh yaitu menguraikan benang tersebut ke alat yang namanya pemidan. Kemudian dilanjutkan, pembuatan motif dengan cara satu persatu secara teliti harus dilakukan pengikatan untuk membentuk motif tertentu. Benang yang sudah diikat sesuai dengan motif yang diinginkan  kemudian direndam dalam campuran air, kemiri dan daun selama satu minggu. Proses ini dinamakan proses perminyakan. Setelah direndam selama satu minggu, ikatan benang kemudian dijemur di bawah panas matahari selama satu minggu untuk memastikan seluruh benang telah kering. Selanjutnya dilakukan penjemuran, yang dilanjutkan perendaman benang ke dalam campuran air dan berbagai jenis akar-akaran, daun-daun yang sesuai dengan kebutuhan warna yang dinginkan.

[caption caption="Sarung Kai Ne'e motif sungai berkelok Rp 1,5 juta, foto : YSKK"]

[/caption]

Karena rumit dan lamanya, tidaklah heran jika selembar kain tenun ikat pewarna alami buatan Kai Ne’e bisa dibanderaol dengan harga mahal. Misalnya untuk sarung dengan ukuran 120x90 cm dijual dengan harga Rp 1,5 juta. Kemudian selimuat ukuran 125x255 cm dihargai Rp 1,5 juta, pashmina ukuran  180 cm x 45 cm dengan harga Rp 500 ribu.

 

Destinasi Favorit Turis Lokal maupun Asing

Karena keunikan dalam proses pembuatannya, kelompok ini sering menerima tamu baik dari dari dalam negeri maupun luar negeri. Tetamu dar pemerintah pusat dan daerah juga sering mengunjungi mereka. Bahkan sudah semacam menjadi tempat tujuan tamu yang datang ke Kupang.  Kain tenun mereka laris manis dan jarang sekali mempunyai stok karena laku terjual, Bahkan sudah dua tahun terakhir ini, Mama Katerina mempromosikan kain tenun kelompoknya tidak hanya lewat offline tetapi ia juga memasarkan lewat online. Alhasil, karya mereka yang adiluhung semakin mendunia. **

 

_Solo, 14 Maret 2016_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun