Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Merasa Tidak Pungut Mahar Politik, PDIP Adu Putra Terbaik Bangsa, Lawan Ahok Lewat Tangan Risma

12 Maret 2016   09:29 Diperbarui: 12 Maret 2016   11:59 1774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber foto : m.harianindo.com"][/caption]

Seru dan semakin  memanas. Lagi-lagi Gubernur DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama  (Ahok) kembali membuat pusing tujuh keliling. Setelah ia dengan gagah berani memutuskan untuk maju menjadi bakal calon Gubernur DKI Jakarta  dari jalur independen, kali ini ia kembali mengacak-acak  ‘membuka  borok’ parpol   dengan bicara lantang  mengenai ongkos politik yang harus disetor calon kepala daerah kepada partai politik pengusungnya.

Ia dengan lugas menyebut angka 100 Miliar untuk maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada 15 Februari 2017 nanti.  Angka yang sangat fantastis tersebut bukan di setorkan secara gelondongan ke parpol pengusung, tetapi lebih banyak digunakan untuk ongkos mengerakkan mesin parpol  dari  tingkat cabang hingga ke tingkat ranting.

Jelas dan gamblang sekali pernyataannya. Tetapi seperti biasa, apa yang disampaikan Ahok dianggap kontroversial dan hanya pernyataan yang tidak berdasar.

Parpol ngamuk, ketahuan ada yang bicara  terang terangan menyebut angka yang sangat besar tersebut. Ngamuknya parpol karena sengatan Ahok telah membuat mereka mati langkah. Lantas,  dengan membabi buta dan cepat mereka menyambar, klarifikasi bahwa apa yang disampaian Ahok tidaklah benar. Beramai-ramai, baik Parpol pengusung Ahok   (Gerindra dan PDIP), yang mengantarkan Ahok ke kursi DKI Jakarta bersama Jokowi saling membantah. Maupun parpol lain yang bukan pengusung Ahok. Penjelasannya hanya satu, sependapat, bahwa parpol tidak meminta mahar politik. Titik. Intinya adalah  tidak ada mahar politik.

PDIP  yang merasa paling tertampar dan terkena ‘sindiran ’ Ahok  marah dan menyangkal soal mahar politik.

Pun sama dengan Gerinda yang mengusung Ahok kala itu, bahkan Fadli Zon juga turun tangan, buka suara , menantang Ahok untuk membuktikan kata-katanya tentang ongkos politik yang mencapai  nilai bombastis.

Parpol lain seperti PPP, PKB setali tiga uang. Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding seperti yang lain, menegaskan, di partainya tidak ada mahar politik. Yang ada deal tertentu yang telah disepakati antara calon dengan parpol pengusung

 

Parpol Pura-Pura Bodoh ?

Tentu saja, Parpol ngamuk dan menentang ucapan Ahok. Toh mereka merasa tidak  menerima uang sebesar itung-itungan Ahok. Mereka merasa harus beramai-ramai membersihkan nama parpol agar masyarakat tidak menilai parpol memang tukang ‘ rampok’ duit para calon yang ingin diusungnya.

Apakah benar yang dikatakan parpol bahwa mereka tidak menerima mahar politik?

Saya kira , orang awampun akan tahu dan paham. Tidak sepenuhnya yang dikatakan parpol  tersebut benar. Kenapa? Bisa dikatakan  benar karena mungkin parpol tidak menerima uang sebesar itu langsung ke kas parpol, kalaupun ada uang diminta parpol, bisa jadi tidak sebanyak itu. Tetapi  orang awam juga tahu, bahwa untuk maju sebagai calon bupati, gubernur butuh ongkos yang sangat banyak. Jangankan calon kepala daerah, untuk maju sebagai anggota DPRD tingkat 1, 2 dan DPR saja butuh duit yang banyak.

Saya memang tidak pernah nyalon , juga tidak pernah menjadi  Tim Sukses (TS) . Tetapi pernah ada teman yang nyalon DPRD tingkat 2 saja mengatakan bahwa untuk terpilih menjadi anggota DPR di kota/kabupaten minimal 2 M harus tersedia. Belum lagi kalau untuk nyalon di DPRD tingkat 1 apalagi di DPR.  Ada lagi teman yang  pernah menjadi  TS memberikan gambaran bahwa untuk nyalon menjadi bupati, paling tidak harus tersedia uang tunai diatas 20 M, itupun belum tentu jadi terpilih. Itu hanya ilustrasi kecil dan sederhana. Bisa dibayangkan untuk nyalon  sebagai Gubernur di ‘lahan basah’ seperti DKI Jakarta yang PAD-nya besar dan mampu memberikan gaji dan tunjangan penghasilan yang sangat besar untuk kepala daerahnya. Saya bisa membayangkan angka yang harus disediakan tentulah sangat besar.

Ahok juga menjelaskan biaya segede itu banyak dihabiskan untuk mengerakkan mesin parpol dari cabang sampai ranting. Pernyataan Ahok clear kok.  Saya asumsikan dengan cara  sederhana, untuk satu ranting saja, saat kampanye dan sosialisasi membutuhkan uang untuk konsumsi, spanduk, MMT, baliho , kaos, dll yang membutuhkan dana puluhan juta bahkan bisa ratusan. Tinggal dikalikan saja dengan berapa ranting dan berapa cabang.

Parpol emoh mengakui adalah pura-pura bodoh dan pura-pura tidak tahu. Ya merasa  tidak menerima duit mahar politik. Padahal jelas  memang  ada mahar  yang  digunakan untuk mengerakkan mesin partai. Artinya tidak salah jika Ahok mengatakan kalau ongkos  nyalon lewat parpol lebih mahal ketimbang nyalon lewat independen.

 

PDIP Benturkan Risma dengan Ahok

Lelah menanggapi Ahok, rupanya PDIP memilih  ‘nabok nyilih tangan’. PDIP kelihatannya tidak mau lagi  (paling tidak kali ini) meladeni Ahok yang energinya nggak ada habisnya. Ia sepertinya memilih melakukan klarifikasi lewat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang terkenal  berkarakter mirip-mirip dengan Ahok. Keras, lantang, cepat gusar, tegas, tanpa kompromi. Risma dengan keras  menegaskan bahwa dirinya tidak pernah membayar sepeser pun kepada PDI Perjuangan yang mengusungnya sebagai kepala daerah dalam dua periode Pilkada Kota Surabaya.Bahkan ia berani sumpah atas nama TUhan kalau tidak mengeluarkan mahar politik . "Saya berani sumpah atas nama Tuhan, lagi pula saya juga tidak punya uang," kata Risma, Jumat (11/3/2016) di Surabaya, Jawa Timur, seperti yang dilangsir Kompas.com.

Bagi saya pribadi, PDIP segaja membenturkan putra-putri terbaik bangsa yang mampu membawa kemajuan bagi daerahnya. Melalui tangan  Risma, kadernya yang mumpuni, PDIP menyangkal pernyataan Ahok.  Ia ingin membuktikan bahwa yang bicara adalah orang yang terlibat langsung, yang usung langsung oleh PDIP saat Pilkada. Jadi ada bukti dan saksi hidup, tidak mengada-ada.

Dengan  cara  yang dilakukan PDIP, maka saya tidaklah heran jika hari ini, besuk  atau lusa, kader PDIP lainnya seperti Ganjar Pranowo juga akan diminta (atau kadernya sukarela bicara sendiri) untuk  buka suara untuk membersihkan parpolnya dari 'cubitan' Ahok.

Kita tunggu saja .

 

_Solo, 12 Maret 2016_

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun