[caption caption="Sumber: http://krjogja.com/"][/caption]Batu bata menjadi salah satu bahan bangunan yang digunakan untuk membangun sebuah rumah. Meskipun fungsinya bisa digantikan dengan batako, tetapi sebagian besar masyarakat masih menjadikan batu bata sebagai pilihan pertama. Kenapa? Menurut beberapa orang, dinding dengan batu bata lebih terasa nyaman, adem, mengurangi hawa panas, rapat, lebih teruji kekuatannya, dan lebih mudah dalam mencarinya.
Di desa tempat tinggal orangtua saya, saat musim kemarau tiba, ada beberapa warga yang membuat batu bata. Membuatnya di halaman rumah sendiri, pinggir jalan besar, dan mencetaknya di areal persawahan juga di pinggiran sungai yang mengering. Maka tidak mengherankan, jika saat musim kemarau, banyak batu bata yang tercetak di areal persawahan.
Biasanya, warga di desa saya, mencetak batubata untuk digunakan sendiri. Terkadang, di saat tidak lagi mengurus sawah, karena belum masanya panen, ada banyak waktu yang tersisa sehingga warga memanfaatkannya untuk membuat batu bata. Mereka suka menyimpan batu bata yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk keperluan membangun rumah. Atau sesekali juga di jual jika ada tetangga yang membutuhkan.Hhemat, murah dan lebih nyaman karena tahu kualitasnya.
 Mencetak batu bata
Saya sendiri sewaktu kecil senang melihat-lihat tetangga mencetak batu bata. Sesekali saya juga pernah mencoba untuk ikut mencetak, merasakan lembutnya lempung (tanah liat) yang terlebih dahulu di haluskan dan dicetak ke dalam cetakan batu bata.
Tanah liat yang digunakan juga tidak sembarang, karena di pilih tanah liat yang bagus, biasanya warga mengambil dari sawah yang digali. Warga biasanya  mengali dan mengumpulkan tanah liat yang diambil disawah dan menumpuknya di rumah(kalau mencetak batu bata di rumah). Tetapi kalau mencetak batu bata di sawah, tinggal mengumpulkan gumpalan tanah liat di pinggir sawah.
Proses membuatnya terbilang sederhana meskipun butuh tenaga besar. Tanah liat pertama-tama di haluskan dengan air secukupnya sampai membentuk adonan tanah yang bisa dicetak dengan mudah. Kemudian cetakan dari kayu dengan ukuran 23x17x5 terlebih dahulu direndam dalam air. Dalam keadaan basah, cetakan di letakkan di tanah yang permukaanya sudah diratakan.
Hal ini dimaksudkan agar hasil cetakan batu bata menjadi rata dan halus. Tanah liat yang lembut kemudian di cetak ke dalam cetakan batu bata. Saat meletakkan tanah liat sambil di padatkan, setelah itu cetakan baru diangkat. Setiap kali mencetak batu bata, cetakan harus di celupkan air terlebih dahulu agar tanah liat tidak melekat lengket di cetakan.
Proses selanjutnya menunggu sampai batu bata menjadi kering. Dalam cuaca yang panas, dalam dua hari, batu bata sudah hampir kering dan bisa di ambil dan diratakan pinggir-pinggirnya dengan pisau. Setelah itu di tata dengan di susun  sekaligus dijemur sampai benar-benar kering sampai siap untuk dibakar (ngobong boto).
Sunduk  Lombok melengkapi pembakaran batu bata
Saat ngobong boto /membakar batu bata, tumpukan batu bata disusun sedemikian rupa agar api tetap menjangkau semua batu bata. Kemudian di bagian luar akan di lapisi/ditutup dengan lumpur. Pembakaran batu bata membutuhkan waktu yang lama, paling tidak dua hari dua malam dengan nyala api yang terus menerus. Untuk menghemat kayu bakar, biasanya warga membakar batu bata saat sudah terkumpul banyak, paling tidak sampai sepuluh ribuan biji.
Uniknya, sebelum proses pembakaran batu bata, warga biasanya mengadakan ‘upacara’ khusus yaitu dengan menyajikan nasi tumpeng dengan sajian lauk beraneka macam  dan mengelar  berdoa agar  diberikan kelancaran dalam pembakaran batu bata. Tak lupa ada sajian sundut Lombok, mirip sesajen yaitu cabe besar dan bawang merah yang di tusuk lidi, di susun memanjang dan ditancapkan di empat pinggiran susunan bata bata.
Pada waktu itu, warga menyakini tidak gampang mebakar batu bata agar matang dengan sempurna, sehingga diperlukan ritual khusus tersebut. Percaya atau tidak, terkadang hasil pembakaran batu bata ada yang tidak sempurna alias banyak yang masiha mentah di sana-sini. Sehingga diperlukan ritual, doa bersama dan tak lupa melibatkan tenaga trampil yang sudah terbiasa membakar batu bata.
Â
_Solo, 15 Februari 2016_
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H