Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warga Desa Mencetak Batu Bata sebelum Membangun Rumah

15 Februari 2016   12:10 Diperbarui: 15 Februari 2016   12:19 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: http://krjogja.com/"][/caption]Batu bata menjadi salah satu bahan bangunan yang digunakan untuk membangun sebuah rumah. Meskipun fungsinya bisa digantikan dengan batako, tetapi sebagian besar masyarakat masih menjadikan batu bata sebagai pilihan pertama. Kenapa? Menurut beberapa orang,  dinding dengan batu bata lebih terasa  nyaman, adem, mengurangi hawa panas, rapat, lebih teruji kekuatannya, dan lebih mudah dalam mencarinya.

Di desa tempat tinggal orangtua saya, saat musim kemarau tiba, ada beberapa  warga yang membuat batu bata. Membuatnya di halaman  rumah sendiri, pinggir jalan besar, dan mencetaknya di areal persawahan juga di pinggiran sungai yang mengering. Maka tidak mengherankan, jika saat musim kemarau, banyak batu bata yang tercetak di areal persawahan.

Biasanya, warga di desa saya, mencetak batubata untuk digunakan sendiri. Terkadang, di saat tidak lagi mengurus sawah, karena belum masanya panen, ada banyak waktu yang tersisa sehingga warga memanfaatkannya untuk membuat batu bata.  Mereka suka menyimpan batu bata yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk keperluan membangun rumah. Atau sesekali juga di jual jika ada tetangga yang membutuhkan.Hhemat, murah dan lebih nyaman karena tahu kualitasnya.

 Mencetak batu bata

Saya sendiri sewaktu kecil senang melihat-lihat tetangga mencetak batu bata. Sesekali saya juga pernah mencoba untuk ikut mencetak, merasakan  lembutnya lempung (tanah liat) yang terlebih dahulu di haluskan dan dicetak ke dalam cetakan batu bata.

Tanah liat yang digunakan juga tidak  sembarang, karena di pilih tanah liat yang bagus, biasanya warga mengambil dari sawah yang digali. Warga biasanya  mengali dan mengumpulkan tanah liat yang diambil disawah dan menumpuknya di rumah(kalau mencetak batu bata di rumah). Tetapi kalau mencetak batu bata di sawah, tinggal mengumpulkan gumpalan tanah liat di pinggir sawah.

Proses membuatnya terbilang sederhana meskipun butuh tenaga besar. Tanah liat pertama-tama di haluskan dengan  air secukupnya sampai membentuk adonan tanah yang bisa dicetak dengan mudah. Kemudian cetakan dari kayu dengan ukuran  23x17x5 terlebih dahulu direndam dalam air.  Dalam keadaan basah, cetakan di letakkan di tanah yang permukaanya  sudah diratakan.

Hal ini dimaksudkan  agar hasil cetakan batu bata menjadi rata dan halus. Tanah liat yang  lembut kemudian di cetak ke dalam cetakan batu bata. Saat meletakkan tanah liat sambil di padatkan, setelah itu cetakan baru diangkat. Setiap kali mencetak batu bata, cetakan harus di celupkan air terlebih dahulu agar tanah liat tidak melekat lengket di cetakan.

Proses selanjutnya menunggu sampai batu bata menjadi kering. Dalam cuaca yang panas, dalam dua hari, batu bata sudah  hampir kering dan bisa di ambil dan diratakan pinggir-pinggirnya dengan  pisau. Setelah itu di tata dengan di susun   sekaligus dijemur sampai benar-benar kering  sampai siap untuk dibakar (ngobong boto).

Sunduk  Lombok melengkapi pembakaran batu bata

Saat  ngobong boto /membakar batu bata, tumpukan batu bata disusun sedemikian rupa agar api tetap menjangkau semua batu bata. Kemudian di bagian luar akan di lapisi/ditutup  dengan lumpur.  Pembakaran batu bata membutuhkan waktu yang lama, paling tidak dua hari dua malam  dengan nyala api yang terus menerus.  Untuk menghemat kayu bakar, biasanya warga membakar batu bata saat sudah terkumpul banyak, paling tidak sampai sepuluh ribuan biji.

Uniknya, sebelum  proses pembakaran batu bata,  warga  biasanya mengadakan  ‘upacara’ khusus yaitu dengan menyajikan  nasi tumpeng dengan sajian lauk beraneka macam  dan mengelar  berdoa agar  diberikan kelancaran dalam pembakaran batu bata.  Tak lupa ada sajian  sundut Lombok, mirip sesajen yaitu cabe  besar dan bawang merah yang  di tusuk lidi, di susun memanjang dan ditancapkan di empat pinggiran susunan bata bata.

Pada waktu itu, warga menyakini tidak gampang mebakar batu bata agar matang dengan sempurna, sehingga diperlukan ritual khusus tersebut. Percaya atau tidak, terkadang hasil pembakaran batu bata ada yang tidak sempurna alias banyak yang masiha mentah di sana-sini. Sehingga diperlukan ritual, doa bersama dan tak lupa melibatkan tenaga trampil yang sudah terbiasa membakar batu bata.

 

_Solo, 15 Februari 2016_

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun