Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenduri, Wujud Rasa Syukur Warga Desa

19 Januari 2016   10:04 Diperbarui: 19 Januari 2016   10:43 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di desa orangtua saya, Nanggulan, sebuah desa di kabupaten Klaten, Jawa Tengah, tradisi Kenduri  atau Kenduren masih ada. Meskipun sudah ada warga desa yang tidak lagi mengikuti tradisi yang sudah turun temurun dilakukan tersebut, tetapi bukan berarti kebiasaan peninggalan nenek moyang kami itu sudah hilang.

Kenduri, dilakukan sebagai bentuk rasa syukur, sebuah penghormatan, do’a, atau bisa di sebut juga selamatan yang dilakukan dalam hal-hal tertentu, biasanya untuk hajatan tertentu. Misalnya kenduri dilaksanakan saat ada hajatan menikahkan anggota keluarga,mitoni, saat syukuran kelahiran anak, mengirim doa saat ada keluarga yang meninggal, saat panen raya, ruwahan, nyadran, dll.

Untuk kenduri saat hajatan menikahkan anggota keluarga atau mantu dilaksanakan sebelum akad nikah, dengan mengundang tetangga terdekat. Biasanya salah satu tetangga yang dituakan ( bisa juga Mbah Modin/perangkat desa) yang diminta memimpin doa. Demikian juga dengan kenduri saat  kelahiran seorang bayi. Dilakukan saat bayi berumur seminggu atau sepekan, yaitu saat bayi sudah puput (putus tali pusarnya), tetapi ada juga yang dilakukan bersamaan dengan aqiqoh atau sekitar 35-40 usia bayi tersebut.

Untuk kenduri sebagai pengirim doa saat keluarga ada yang meninggal, dilaksanakan beberapa kali, yaitu saat 3 hari kematian atau telung dinonan, 7 hari kematian atau pitung dinonan , 40 hari atau pegetan petangpuluh dinonan, 100 hari atau pengetan satus dinonan, saat 1 tahun biasa disebut setahun atau pendhak pisan, dua tahun atau pendhak pindho  dan 3 tahun atau pengetan sewu dino/ 1000 hari atau pendhak pungkasan.

Prosesi saat kenduri, diawali dengan sambutan atau ucapan selamat datang dari tuan rumah yang biasaya diwakili oleh sesepuh kampung atau keluarga tuan rumah yang dituakan, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan dari tetua kampung atau terkadang diwakili Mbah Modin (perangkat desa ) yang juga mengantarkan doa yang diamini oleh para tetangga yang datang. Setelah doa dipanjatkan,biasanya proses kenduri telah berakhir. Untuk proses kenduri peringatan orang meninggal , diawali dengan pembacaan surat Yasin, tahlil, doa-doa terlebih dahulu.

Makanan yang dihidangkan saat kenduri, makanan ringan (berbagai panganan khas desa seperti lemper, jadah, wajik, jenang, ungkusan dan teh panas). Kemudian ada besek (kotak yang terbuat dari bambu yang dianyam) atau sekarang diganti tempat dari plastik, besek tersebut diisi nasi (biasanya nasi uduk/nasi gurih) dengan lauk pauk beragam, seperti mie, jangan lombok (sayur kentang, krecek sapi, dicampur irisan cabe yang dimasak dengan santan kental), tempe goreng, telur rebus, rempeyek ditambah bermacam-macam makanan kecil. Untuk tambahan lauk ayam akan diambilkan setelah di suir-suir/di potong setelah proses doa selesai. Biasanya setelah doa, Mbah Modin akan memotong ayam jago yang telah dimasak, dan dibagi-bagi ke besek yang berisi makanan. Ditambah pisang masak yang akan ditambahkan juga ke dalam besek setelah proses kenduri berakhir.

Sementara kegiatan kenduri saat Sadranan atau Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Sadranan dilakukan setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Biasanya kenduri hanya sebagai pengantar kegiatan nyadran saja, karena kegiatan utamanya adalah pembacaan ayat Al Qur’an , doa dan membersihkan makan/kuburan.

Meskipun sekarang, hidangan kenduri tidak melulu dengan nasi uduk dan lauk pauk lengkap, demi kepraktisan diganti dengan makanan saja atau roti satu kotak(tergantung warga) tetapi makna mendalam dari kenduri sebenarnya masih ada. Mereka sama-sama berkumpul, bertemu tetangga dan keluarga, berdoa bersama dan mensyukuri atas nikmat hidup yang diberikan Yang Maha Kuasa yang mereka nikmati sampai detik ini. Itulah makna yang sebenarnya yang masih terjaga sampai sekarang.

_Solo, 19 Januari 2016_

 

foto. blontypasargede

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun