Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mitoni Menantu Pak Jokowi, Kenapa Harus Curiga?

30 Desember 2015   08:47 Diperbarui: 30 Desember 2015   16:19 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi orang Jawa, melaksanakan adat atau ritual Jawa merupakan salah satu cara nguri-nguri (melestarikan) kabudayan Jawa. Meskipun zaman bisa dibilang sudah maju, zaman tehnologi, tetapi adat jawa yang sudah dilakukan turun temurun, sudah ada sejak kakek nenek moyang tetap menjadi hal yang menarik dan masih banyak yang melaksanakannya.

Banyak sekali adat kebiasaan tinggalan (warisan) nenek moyang yang sampai sekarang masih ada, tumbuh berkembang dan diikuti dengan senang hati. Misalnya sebelum menikah ada malem midodareni, saat mengandung ada adat mitoni atau tingkepan, saat anak mulai  menjejakkan kaki atau belajar berjalan ada upacara tedak siten dan lain sebagainya.

Sejumlah proses dalam adat tersebut menarik meskipun memang agak ribet, membutuhkan persiapan (waktu, tenaga, mental, biaya) yang tidak sedikit sehingga terkesan kurang praktis untuk jaman sekarang. Namun demikian, saat mengikuti atau menyaksikan adat tersebut membuat rasa bangga dan senang sebagai orang Jawa yang mempunya warisan prosesi adat yang menyimpan banyak makna dan harapan tertentu sekaligus doa. Jadi, sejumlah adat Jawa yang saat ini masih dilaksanakan memang benar-benar ‘berisi’ tidak hanya sekedar melaksanakan adat saja.

Adat Jawa midodareni pernah saya tulis di Kompasiana saat presiden Joko Widodo mempunyai hajatan mantu putra sulungnya Gibran bulan Juni 2015 lalu.

Mitoni” atau ada yang menyebutnya “tingkepan” menjadi salah satu adat Jawa yang dilakukan saat seorang perempuan mengandung atau hamil untuk pertama kalinya (anak pertama). Upacara mitoni tidak hanya asal dilakukan tetapi dilakukan karena mempunyai makna pendidikan itu tidak hanya dilakukan saat anak sudah lahit sampai dewasa tetapi  bagi orangtua penting mendidik anak sejak masih menjadi calon anak yang berada di rahim ibunya.

Sebenarnya saat perempuan sedang hamil, ada sejumlah upacara adat selain Mitoni yaitu Neloni, Mitoni atau tingkepan dan mrocoti atau procotan. Neloni dilaksanakan saat usia kehamilan 3 bulan, tingkepan saat usia  kehamilan 6 bulan, sementara mitoni saat usia tujuh bulan dan mrocoti saat  kandungan berusia 8 bulan.

Bahkan yang lebih lengkap lagi, di Pekalongan ada sejumlah adat  saat kehamilan yaitu Ngapati, Tingkepan, Mitoni, Mrocoti dan Nglolosi. Ngapati dilakukan saat usia kandungan 4 bulan, Tingkepan saat usia 6 bulan, Mitoni saat 7 bulan, Mrocoti saat 8 bulan dan Nglolosi saat usia kandungan 9 bulan. Sejumlah adat tersebut ada yang dilakukan satu-satu, tetapi ada yang dilakukan rangkap atau sekaligus biar praktis, hemat waktu, tenaga, biaya. Misalnya Ngapati sekaligus Tingkepan. Atau Tingkepan sekaligus dengan mitoni. Kadang-kadang Mrocoti sekaligus Ngolosi.

Khusus untuk Tingkepan atau Mitoni, biasanya pelaksanaannya tidak asal comot hari, tetapi mencari ‘hari baik’. Untuk mencari ‘hari baik’ menurut petungan Jawa dilakukan jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan. Kedua  orang tua calon bayi sudah mendapatkan atau menentukan hari yang dihitung ‘baik’ sesuai petungan Jawa, yaitu yang  memiliki neptu genap dan jumlahnya 12 atau 16. Tetapi soal ‘hari baik’ itu terserah calon orangtua bayi karena ada juga yang tidak sampai detail menghitung hari.

Daalam Tingkepan/Mitoni ada sejumlah urutan atau prosesi yang sakral dan sarat makna. Masing-masing juga dilengkapi dengan sejumlah barang-barang/uborampe untuk upacara tersebut.  Seingat saya, proses dimulai dengan memandikan calon ibu dengan air dicampur kembang/bunga. Makna dari siraman ini untuk memohon doa restu agar persalinan berjalan lancar.

Kemudian Si Calon Ibu memakai jarit/kain yang sudah disediakan sejumlah 7 lembar. Masing-masing jarit akan dipakaikan ke Calon Ibu tersebut. Misalnya jarit pertama di pakai kemudian akan ditanyakan ke orang yang hadir  “apakah jarit sudah pantas dipakai?” Saat jarit pertama sampai keenam para tetamu yang hadir akan menjawab”belum”.

Barulah pada jarit ketujuh akan dijawab “sudah pantas”. Masing-masing jarit mempunyai motif yang berbeda dengan makan yang berbeda pula. Misalnya jarit motif sidomukti dengan harapan kebahagiaan, jarit sidoluhur dengan harapan memperoleh kemuliaan sampai jarit motif cakar ayam dengan harapan anak akan hidup mandiri dalam mencari nafkah kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun