Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berkunjung ke Hueknutu, Kagumi Tenun Ikat NTT

17 November 2015   08:22 Diperbarui: 17 November 2015   08:40 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak mudah untuk mencapai Desa Hueknutu Kecamatan Takari Kabupaten Kupang. Awal Nopember ini, Saya melakukan perjalanan ke sejumlah desa di Kupang salah satunya ke Hueknutu. Keluar dari kota kabupaten, dibutuhkan 2-3 jam agar sampai di desa yang cukup terpencil tersebut. Awalnya perjalanan lancar dengan jalan beraspal yang bagus dan terawat dengan baik. Tetapi saat memasuki Kecamatan Takari, jalan beraspal mulai bergelombang dan beberapa ruas jalan dalam kondisi rusak, berlubang dan banyak bongkahan batu. Kontur tanah yang berbukit membuat sesekali harus berpegangan pada jok mobil agar badan tidak terombang-ambing. Sepanjang jalan yang sepi , hanya ada satu dua mobil yang berpapasan di jalan.


Perjalanan panjang yang tidak cukup lancar karena di beberapa ruas jalan ada material untuk perbaikan jalan, harus terhenti saat memasuki Desa Hueknutu. Di depan kami, jembatan desa yang menjadi satu-satunya jalan memasuki Desa Hueknutu berlubang di beberapa tempat.  Sebenarnya jembatan masih terlihat kokoh, tetapi ada lubang yang kalau tidak hati-hati ban mobil bisa terperosok. Jembatan Bokong, saya melihat tulisan nama jembatan itu di sisi kanan jembatan cukup membahayakan  untuk dilewati mobil, tetapi aman saja untuk sepeda motor. Driver yang kami sewa meskipun sudah berkali-kali melewati Jembatan Bokong, tetapi tetap terlihat khawatir. Ia turun untuk melihat kondisi jembatan. Tak ayal lagi, Saya ikut menyusul turun, jerih melihat kondisi jembatan. Ada beberapa ruas kayu yang jatuh sehingga meninggalkan lubang, kalau tidak hati-hati ban mobil bisa terperosok.


“Jembatan yang berlubang sudah sering dikasih kayu, Bu. Tapi ini jatuh lagi,” jelas driver. “Ini sudah ditambal. Bulan kemarin kami harus lewat bawah jembatan karena tidak bisa lewat sini.

“Bisakah mobil lewat, Kakak?” Tanya Saya menyakinkan. Diam-diam Saya bergidik saat membayangkan ban mobil terperosok. Saya melihat jalan di bawah sungai terlihat tersibak menyerupai jalan darurat yang cukup untuk dilewati mobil. Saat jembatan tidak bisa digunakan, mobil biasa lewat jalan darurat.

“Bisa, Saya coba.”

“Hati-hati, Kakak.” Pesan Saya, memilih berjalan kaki melintasi jembatan daripada dipenuhi rasa was-was.

Mobil melaju perlahan dengan aba-aba dari teman Saya. Driver sangat hati-hati menempatkan ban mobilnya sesuai arahan dari teman Saya. Pas sekali, sebilah besi yang melintang sebagai landasan jembatan cukup untuk ban mobilnya, hingga mobil bisa melintas.

Lega rasanya , dan kamipun melanjutkan perjalanan ke Desa Hueknutu.

Lima belas menit kemudian kami sampai di rumah Mama Rambu Berta Kholnel Atabara, ketua kelompok tenun ikat Naubina. Mama yang berusia 49 tahun ini menyambut kami bersama beberapa mama lainnya. Mereka sangat ramah, murah senyum dan enak diajak gobrol. Dengan gamblang mama Rambu menjawab banyak pertanyaan Saya terkait dengan tenun yang telah ditekuninya sejak masih nona (remaja). Segelas kopi panas dan sepiring pisang goreng membuat obrolan kami semakin hangat.

Mama Rambu dan para perempuan NTT sudah terbiasa menenun sejak nona, bahkan ada yang sejak kecil sudah bisa menenun. Kemampuan menenun mengalir secara alami, tanpa belajar khusus mereka mampu karena sejak kecil terbiasa melihat mamanya membuat kain tenun. Bagi perempuan di NTT, menenun menjadi salah satu pertanda mereka perempuan feminim dan saat nona menjadi pertanda kalau mereka siap dipersunting laki-laki. Bahkan jaman dahulu, perempaun NTT yang belum bisa menenun belum layak untuk dinikahkan.


Awalnya, kain tenun hanya dipergunakan untuk kebutuhan sendiri seperti untuk pesta pernikahan, kematian , digunakan untuk belis (mas kawin) , untuk disumbangkan kepada saudara saat akan menikah dan digunakan untuk upacara adat lainnya. Tetapi seiring dengan perkembangan jaman, kain tenun sudah dijuala ke kalangan umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun