Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pendakian Terakhir

14 November 2015   22:36 Diperbarui: 14 November 2015   22:38 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Al, jangan lakukan itu,” suara keras Galang membuat kakiki berhenti melangkah.
Kulihat Galang memandangku dengan sorot mata tajam, tidak suka dengan rencana yang sudah ada dikepalaku.
“Kenapa kamu ini, Al? Heran, belum pernah kamu gegabah seperti ini. Sejak kapan kamu berniat mengambil edelweis itu? “ tanyanya tajam.
Aku hanya memandang Galang sejenak, termangu, tetapi cepat-cepat kualihkan pandangan kembali ke bunga yang seakan menantangku untuk mengambilnya.
“Al! Jangan bodoh. Kita tidak pernah mengambil bunga itu. Tidak sekalipun. Ingat komitmen kita selama ini,” Galang mengingatku lagi.
“Selama ini aku belum pernah mengambil bunga itu. Sekalipun belum pernah melanggar kesepakatan kita. Tetapi kali lini aku ingin sekali. “ jawabku acuh tak acuh tanpa memandang sahabatku ini.
“Tidak! Sekali tidak, tetap tidak! Sekali kita membiarkan hati ini melanggarnya, pasti akan ada yang kedua kali dan seterusnya. Jangan lakukan,” pinta Galang kali ini tanpa kompromi.
“Itu urusanku. “ degusku jengkel.
“Kalau kamu lakukan itu, aku tidak mau mendaki lagi bersamamu,” lantang suara Galang mengancam.
“Bodo,” teriakku tak kalah lantang. Kakiku terus melangkah setapak demi setapak mendekati edelweis yang bergerak-gerak ditiup angin. “Mungkin ini pendakian kita yang terakir kalinya,” sungutku marah.

Galang gusar mendengar jawabaku, “Al. Ingat, tempat ini terlalu wingit. Kamu tahu tak boleh sembarangan mengambil bunga. Tebing itu juga berbahaya.”

Aku menutup telinggaku rapat-rapat, tak memperdulikan peringatan Galang. Sejujurnya aku ingin sekali-kali mencoba melanggar peringatan itu. Kabar yang berenbus kalau gunung yang kudaki kali ini wingit, penuh dengan misteri dan ada larangan keras merusak alam aku tahu sejak dulu. Tetapi aku setengah tidak percaya kalau larangan dilanggar bisa berakibat fatal. Kali ini aku ingin sekali mencobanya tanpa rasa takut. Sekalian membawakan bunga yang belum pernah aku berikan kepada Tata.

“Ali, STOP!” teriak Galang lagi, merangsek mencoba menahanku. Tetapi tidak berhasil karena aku terus melangkah, kali ini sudah di pinggit tebing.
Tinggal satu jangkauan lagi, tanganku terus terulur, mengukur kemampuan untuk menjangkau bunga itu. Satu jejakan kaki lagi, batinku yakin. Aku menguatkan hati untuk menjangkau bunga di tepi tebing. Segalanya terasa begitu mudah. Ya, tinggal satu gerakan lagi, tanganku akan menjangkaunya.

Tanah dan batu-batu mulai bergerak, meluncur, longsor. Sempat membuatku bergidik. Ketika sebongkah batu yang tepat di bawah kaki meluncur dengan cepat, aku baru tersadar. Menatap ngeri jurang dibawah. Batu-batu tajam siap menampung tubunku jika tergelincir. Mataku nanar dengan pemandaangan mengerikan di bawah. Tetapi semua terlambat. Saat aku mencoba mengeser tubuh untuk membatalkan niatku, tubuhku bergeser sedemikian cepat. Keseimbangan tubuhnya hilang dan semua berjalan sangat cepat. Bagai angin, aku meluncur.
“ALI…..”
Masih kudengar suara pilu Galang saat melihatku terlepas dari pandangan matanya. Mataku terpejam erat, menantikan tubuh disambut batu cadas. Satu hal yang kusesali, melanggar larangan pendakian ini. Seandainya aku tidak berniat mengambil edelweis itu….

****

 

Gambar : gispala.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun