Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wanita Tua Itu Mengajarkan Rasa Syukur

25 Agustus 2015   14:34 Diperbarui: 25 Agustus 2015   14:47 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumpek dengan lingkungan kita? Bosan dengan aktivitas sehari-hari? Binggung dengan banyaknya beban, tagihan, kebutuhan yang merangkak naik? Pusing memikirkan karir yang tidak juga berkembang? Usaha yang jalan di tempat?

Tak ada salahnya sedikit mengurangi beban pikiran dengan berjalan-jalan. Banyak hal menarik dari hal sederhana yang ada di sekitar kita. Melihat dan berbincang dengan orang-orang yang selama ini jarang kita perhatikan mungkin akan mengurangi beban yang ada di pikiran kita.

Sederhana saja, luangkan waktu untuk bicara dengan orang-orang yang mungkin belum pernah  diajak bicara. Bisa orang-orang dijalan yang biasa nongkrong di warung-warung tenda, hik, pinggir jalan, atau di pasar.

Seminggu sekali saya ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, dan saya sering bertemu dengan orang-orang baru yang baru kali itu saya temui, atau bertemu beberapa kali dengan pedagang pasar. Sambil belanja , biasanya saya mengajak mereka gobrol. Bermacam-macam hal, dari harga kebutuhan pokok, keseharian mereka sampai hal-hal ringan seperti kebiasaan para pedagang. Tak heran, waktu belanja saya biasaanya lebih lama.

Dari merekalah, banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil. Kesabaran, keuletan, ketelatenan, ketabahan, sikap nrimo, rasa syukur yang besar dan hidup sederhana. Terutama dari sikap pedagang yang sudah lanjut usia, yang hampir semuanya perempuan. Puluhan tahun berdagang dengan penghasilan yang tidak seberapa, tetapi mereka mampu mensyukuri hidup ini dan tetap bersemangat terus mencari sesuap nasi.
Jika di kalkulasi, kadang kita merasa tidak bisa berpikir , kok bisa ya sehari dengan laba sekian rupiah bisa bertahan hidup, menyekolahkan anak dan tetap setia dengan pekerjaanya? Itulah hidup, terkadang susah untuk dilogika.

 Mbah Atmo (bukan nama sebenarnya) puluhan tahun berjualan kecambah, terkadang pisang, tempe, sayuran dan hasil tanaman seadanya yang ia tanam dan beli dari tetangga, selalu bersyukur di masa tuanya masih diberikan kesehatan. Meskipun tidak mendapatkan hasil banyak dari berjualan, tetapi toh baginya itu sudah cukup. Ia sehat, tidak merepotkan anak cucu dan bisa makan sendiri tanpa bergantung kepada orang lain/keluarga itu sudah kebahagiaan tersendiri. Baginya hidup tidak hanya sekedar mempunyai uang sekian rupiah, tetapi hidup untuk melihat anak cucu sehat, kecukupan sandang pangan dan ia bisa berkumpul dengan teman-temannya.

Urip kuwi gur mampir ngombe” (hidup itu ibaratnya hanya sekedar mampir istirahat untuk minum saja) , ungkapan Mbah Parni (nama samara), yang sehari-hari berjualan tahu. Tak banyak barang dagangannya , hanya dua ember kecil itupun tidak penuh. Tidak banyak uang yang ia bawa pulang, tetapi ia merasa senang dan bersyukur. Hidup hanya sebentar, ia tidak terlalu ngoyo(membabi buta) dalam mencari nafkah. Baginya ada waktu yang ia sisihkan untuk beribadah dan bekerja. Ia pun berdagang juga agar bisa bertemu dengan teman-teman, mengisi masa tuanya yang sendirian. Uang untuk makan ada dari anaknya , tetapi toh ia tetap ke pasar, sekali lagi untuk tetap bertemu dan berkumpul dengan temannya.

Tak berbeda dengan Mbak Sur (samaran), berjualan pisau dan alat dapur lainnya seperti cangkir, piring, sendok, mangkok, saringan dll sejak usia muda. Terhitung sudah lebih dari empatpuluh tahun berjualan. Meskipun hidup susah dan hanya pas-pasan saja, tetapi toh ia tetap riang menghadapinya. Terkadang dalam satu hari daganganya tak laku, ia santai, nrimo saja. “Rejeki sudah diatur Gusti Allah,” tuturnya ringan seringan ayunan kakinya yang menua di makan usia. Saat ke pasar ia merasa kakinya bersemangat dan tak merasa membawa beban berat , padahal ia biasa mengendong barang daganganyan di punggungnya. Sikap sabarnya dalam mencari rejeki membuatnya tidak merasa kekurangan.

Masih banyak pelajaran hidup yang bisa kita temui melalui orang-orang tersebut. Meskipun hidup pas-pasan tetapi tetap bersemangat dalam mencari rejeki, tetap sabar dalam mengumpulkan rupiah demi rupiah, jarang mengeluh, jujur, bersyukur atas rejeki hari itu yang mereka bawa pulang dan tidak melupakan untuk terus berusaha di esok harinya.

Semoga sekelumit cerita ini bisa menyemangati kita untuk terus berusaha tanpa putus asa, mengurangi mengeluh, sabar dan tetap bersyukur atas semua yang diberikanNya. Kenikmatan itu tidak hanya berupa rupiah yang mengalir ke kantong, tetapi sehat dan rasa nyaman itu juga kenikmatan yang tiada tara.

 

_Solo, 25 Agustus 2015_

 

 foto. dok pribadi

  

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun