Aku tersenyum, mengendurkan pelukanku.
Kupandangi kedua gadis kecilku. Perlahan kuraba wajah keduanya. Aku masih sangat ingat wajah manis Maryam dengan hidung mancungnya yang mengemaskan. Wajah lucu Aisyah dengan pipi tembemnya.
“Iya, iya sayang. Insyaallah kita mudik.” Kataku cepat menjawab harapan Aisyah.
“Tapi, Bu?” tanya Maryam.
Ku acungkan amplop yang terasa tebal di tanganku sambil mengurai senyum, “Alhamdulillah, Nak, ada malaikat yang berbaik hati memberikan rejeki bagi kita untuk pulang ke desa. Kita pulang, Nak,” ujarku riang dan terasa ringan.
Maryam sontak memelukku. Linangana air matanya terasa membasahi bahuku. Isakan lirihnya terasa lega dan penuh kebahagiaan. "Tiket dari surya," ucapnya bergetar.
Kuraba lagi wajah kedua belahan jiwaku ini. Ingatanku melayang kepada Simbok di desa. Wajahnya terasa dekat di hatiku. Wajah Mas Supri, suamiku sempat berkelebat tetapi cepat kusingkirkan. Lelaki itu telah tega meninggalkan kami bertiga setelah kecelakaan yang merengut sinar kehidupanku dua tahun yang lalu.
Simbok, kami akan pulang. Anak dan cucumu akan pulang menutaskan kerinduan padamu. Maafkan anakmu Mbok, seruku dalam hati. Smoga engkau tetap menerimaku dalam keadaan seperti ini.
“Cepatlah bebenah, kita akan mudik,” bisikku kepada Maryam.
Aku berdiri sambil berpegangan tembok, mengukur kakiku mencari lemari pakaian. Kami harus segera bersiap untuk pulang ke desa. Entah mengapa kali ini mataku terasa terang, meski kenyataanya gelap tetap menyelimutiku.***
_Solo, 14 Juli 2015_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H