Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Persimpangan Jalan #1

12 Maret 2015   18:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:45 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah sudah berapa puluh kali ku baca surat dari bapak ini, sampai aku tak bisa mengingatnya lagi.

Kertas surat ini sampai kumal, lecek, banyak lipatan – lipatan, malah di sana sini ada noda-noda bekas minyak. Juga persis di bagian tengah lipatan hampir putus karena terlalu seringnya aku buka-lipat berulang kali.

Setiap aku baca, isinya ternyata masih tetap sama persis seperti sebulan yang lalu ketika pertama kali aku baru terima surat ini, walaupun ku baca berulang kali, berharap isi surat ini akan berubah.

…………………………………………

Nang,

Ini adalah terakhir kalinya bapak memperingatkan kamu. Bapak sudah nggak bisa menerima alasanmu, semua penjelasanmu lagi. Jangan salahkan bapak, jangan anggap bapak ini kolot, kuno, feodal, moderat, nggak demokratis seperti bahasa yang sering kamu dan kawan-kawanmu pakai atau teteg bengek lainnya, bapak nggak peduli lagi. Saat ini ibumu sakit keras karena memikirkan semua ulahmu yang telah mencoreng nama baik keluarga dan mungkin lain waktu itu akan kamu lakukan lagi.

Pokoknya kamu harus putuskan, segera pulang kerumah berarti kamu putuskan kegiatanmu dengan kawan-kawanmu itu atau tetap dengan ulahmu yang nggak ngenah macam orang yang nggak punya masa depan itu. Apa tho yang kamu cari dan inginkan dengan menentang pemerintah, membangkang, sok pahlawan?Kamu ayng kamu dapatkan dengan semua kegiatanmu itu?

Kamu nggak akan pernah tenang dengan idealismu itu, Nang. Lupakan semua keinginan itu dan kembalilah pada keluargamu.

Ini peringatan terakhir kalinya, ini vonis bapak. Kalau kamu ingin melihat sakit ibumu semakin parah, kalau kamu ingin jadi anak durhaka, kalau kamu ingin teruskan idealismu dan heroikmu itu… Janganlah kamu pulang. Dan itu berarti putuslah hubungan antara orangtua dan anak !!! Bapak tak akan pernah mau mengakui kamu sebagai anakku lagi, tak akan pernah.

Camkan itu Nang, pikirkan. Kamu harus pulang, Nang

……………………………………………………………………………………………….

………………………………………………………………..

Tak bisa kuteruskan membaca surat ini karena pasti akan selalu muncul sifat romantisku, bila membaca dan meresapi kata-kata bapak. Dan aku yakin ini akan membuat hati dan jiwaku labil. Pasti membuat diriku terombang-ambing oleh keraguan dan mengikis komitmenku pada apa yang selama ini aku yakini, apa yang selama ini aku perjuangkan dengan susah payah.

Bapak memang orangnya keras, tegas, disiplin, egois, malah cenderung kolot menurutku, bahkan kejam.Apa yang dikatakan dan di inginkan bapak tidak bisa di bantah oleh siapapun tak terkecuali ibu. Semua anak-anaknya tidak berani membantah apalagi menentang kehendaknya. Bah, benar-benar hidup di lingkungan keluarga yang jauh dari demokratis.

Sejak kecil, bapak sudah menerapkan disiplin keras untuk mendidikku. Semua perintah,  kemauan bapak harus  dilakukan bila  tak ingin mendapatkan hukuman cambuk rotan mendera tubuhku. Berbeda dengan ketiga kakakku yang selalu menurut dan patuh dengan semua didikan bapak, kata ibu aku selalu membangkang dan berusaha menentang kemauan bapak. (bersambung).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun