Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Harapan yang Tertunda

28 Maret 2015   08:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:53 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekar setengah berlari menapaki jalan kecil, setapak, berbatu tajam dan kering kerontang saat kemarau panjang. Tanpa mengenakan alas kaki, tak membuat langkah kakinya tersendat. Tubuhnya yang kurus, lincah bergoyang ke kanan dan kiri mengikuti irama kaki. Sesekali tangan kirinya memegang caping menahannya jatuh saat tubuhnya bergoyang. Tangan kanannya membawa tas plastik berisi makan siang dan sebotol air putih. Panas terik matahariterus membuat keringat keluar dari wajah dan tubuhnya. Kaosnya mulai lembab.

Sekar berhenti sejenak memandang bukit yang sudah kelihatan di depan matanya. Tinggal satu belokan dan tanjakan lagi, langkah kakinya akan berhenti. Meskipun nafasnya turun naik, tetapi Sekar tidak mau menyerah pada rasa penat. Langkah kakinya dipercepat saat membayangkan ibu sudah menunggu.

“Kamu lari lagi, Nduk?” tanya ibu saat Sekar datang dan meletakkan bungkusan plastik yang dia bawa. Dengan rasa sayang diusaplah peluh yang bercucuran di dahi Sekar.

“Kamu terlambat? Ibumu sudah menunggu,” kata Mbokde Darmi sambil meneruskan suapan makan siangnya bersama tiga orang ibu lainnya. Mereka makan sambil gobrol, hanya ibu yang baru membuka makan siangnya. Sebenarnya ibu ingin membawa makan siangnya sejak pagi sekalian berangkat. Tetapi Sekar bersikeras untuk mengantar bekal ibu siang hari. Selain makanan lebih segar, Sekar juga senang mengunjungi ibu di bukit. Alasan lainnya karena Sekar ingin ikut membantu ibu. Dan satu lagi alasan yang hanya Sekar yang tahu. Sekar sudah berusaha untuk datang sebelum waktu makan siang tiba, sehingga ibu tidak usah menunggu.

Sekar hanya tersenyum. Tanpa diminta dia mengambil alih pekerjaan ibunya, membalikgaplek yang dijemur. Tangannya cekatan mengaduk batang demi batang gaplek sambil memperhatikan ibu dan beberapa perempuan tetangganya makan siang. Meskipun ibu termasuk perempuan yang termuda, tetapi wajah ibu kelihatan lebih tua dari usianya.Pekerjaan berat dan kemiskinan yang membuat ibu kelihatan seusia dengan mbokde Darmi, bu Tarni dan Wagiyem.

Sekar bisa memahami sulitnya kehidupan mereka sehari-hari. Dusun Sindang, tempat mereka tinggal terletak di kaki sebuah bukit yang tidak terlalu subur. Kehidupan warga dusun sederhana bahkan bisa dibilang pas-pasan. Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh tani di dusun tetangga dan bekerja serabutan, dari tukang batu, tukang kayu, petani dan penjual makanan keliling. Sebagian ibu-ibu memilih bekerja sebagai buruh pembuat gaplek di tempat pak Sastro, jurangan gaplek di desa mereka. Ibu memilih pekerjaan yang terakhir, menjadi buruh pembuat gaplek. Pekerjaan ini sudah dilakukan ibu sejak bapak meninggal dua tahun yang lalu. Satu-satunya pekerjaan yang selama ini bisa menyambung nafas Sekar dan kedua adiknya.

“Sudah, Nduk. Panas sekali. Kamu ngeyup dulu.” kata mbokde Darmi sambil mencuci tanganmengunakan air putih dalam botol.

Rene, Nduk,” ibu melambaikan tangan mengajak anak sematawayangnya untuk ikut berteduh. Sekar menyelesaikan adukan tangannya dan beranjak menghampiri ibunya. Di bawah pohon akasia yang berdaun rimbun membuat Sekar merasakan hawa panas berganti menjadi dingin dan sejuk. Angin bertiup lembut mengantarkan embusan yang mampu mengurangi panasnya matahari.

“Gimana tadi?” tanya ibu menatap lembut anaknya.

“Alhamdulillah. Baik bu. Maaf tadi terlambat. Kecap dan gula pasir habis, jadi Sekar disuruh belanja ke warung dulu.” jawab Sekar.

Ra popo, Nduk. Ibu juga belum terlalu lapar. Yang penting semua lancar.” tutur ibu sambil mengusap rambut tebal Sekar.

“Iya, bu. Mudah-mudahan semua urusan lancar.” kalimat Sekar penuh harapan. Hampir dua tahun ini Sekar mengumpulkan rupiah demi rupiah dengan tekun dan semangat tinggi. Setiap hari saat ibunya berangkat bekerja, Sekar juga berangkat meraih cita-cita, mengumpulkan uang untuk melanjutkan sekolah. Dua tahun yang lalu seharusnya Sekar melanjutkan sekolah ke SMP. Tetapi terpaksa Sekar tidak melanjutkan sekolah karena bapak meninggal dunia. Sekar memilih mengutamakan kedua adiknya agar bisa terus sekolah. Dia membantu ibunya mencari uang untuk hidup mereka sehari-hari.

Ibu memandang Sekar dengan prihatin. Harapan Sekar untuk melanjutkan sekolah sangat besar. Meskipun mereka orang miskin, tetapi kemauan mendapatkan pendidikan yang tinggi tidak bisa dipupuskan.

“Bu, dagangan Sekar tadi tidak habis. Jadi Sekar tidak belanja di warung,” kata Sekar sambil memberesi kotak makan yang sudah kosong isinya. Selain membantu memasak di warung makan, Sekar juga berjualan makanan ringan yang dititipkan di sekolah.

“Tidak apa-apa. Begitulah orang jualan. Kadang habis, tetapi kadang masih sisa,” ibu berusaha menghibur anaknya. “Yuk, ibu mau melanjutkan kerja.“ Ibu segera berdiri dan bergabung dengan ibu yang lain.

Saat matahari mulai turun, rombongan kecil itu tampak menuruni bukit. Semua ibu memanggul karung plastik berisi gaplek kering, sementara Sekar membantu membawakan semua peralatan makan ibu-ibu dalam beberapa kantong plastik. Mereka berjalan pelan beriringan menapaki jalan setapak yang debunya beterbangan saat angin berhembus. Sekar berjalan paling belakang. Saat tiba di belokan bukit, ia menghentikan langkahnya. Pandangan matanya lurus ke depan, menatap jauh gedung yang tampak dari bukit hanya berupa titik-titik kecil yang rapat. Ada binar harapan dan kekaguman saat mata bulatnya tidak beralih melihat titik itu dari jauh. Ya, bangunan itu adalah gedung SMP. Meskipun tidak terlalu nyakin bangunan yang sebelah mana, tetapi Sekar mengkhayalkan di seputar tempat nan jauh disana letak sekolah itu. Memandang gedung itu dari jauh menambah semangatnya untuk naik ke bukit. Entah mengapa gedung itu menambah sikap optimis Sekar untuk melanjutkan pendidikan. Suatu saat nanti aku pasti bisa kesana, senyum mengembang dari bibirnya. Ayunan kakinya mantap kembali menapaki kaki bukit.

**


Sekar menajamkan telingga, berharap mendengar semua pembicaraan ibu dengan Bu Somo tetangganya. Terpaksa Sekar mengeserkan badannya mendekati dinding triplek pembatas kamar tidur dengan ruang tengah yang sekaligus berfungsi sebagai ruang tamu. Ia bernafas lega saat melihat Ayu, adiknya masih tidur pulas dengan posisi meringkuk, tidak terbangun saat tubuhnya tersenggol. Kain jarit tua yang digunakan sebagai selimut di tutupkanke tubuh adiknya.

“Saya terpaksa malam-malam kesini, Mur. Lha gimana lagi. Terpaksa. Saya sendiri butuh uang itu segera. Tadi sore Agus pulang dan minta uang untuk ujian. Dua hari lagi uangnya harus dibayarkan. Kamu tahu sendiri, panenanku tidak bagus tahun ini. Mau tidak mau ya harus mengambil lagi uang yang kamu pinjam.” Kata Bu Somo tajam.

Ngapunten, Bu. Saya selama ini sudah berusaha mengumpulkan uang untuk melunasi hutang. Tetapi ….tetap belum bisa melunasi semua, ” jawab ibu lirih.

“Murni…Murni….Saya ini kurang baik sama kamu apa ya? Sudah dua tahun yang lalu saya memberikan pinjaman. Semua karena saya kasihan melihat kamu. Tapi gimana lagi.kali ini saya benar-benar membutuhkan uang itu. Jadi tolong usahakan ya. Entah bagaimana caranya, yang jelas saya butuh uang itu. Dua hari lagi saya kesini. Permisi,” kursi kayu berderit keras ditinggalkan Bu Somo yang pamit pulang dengan menahan marah.

“Iya Bu. Saya usahakan,” jawab ibu lirih seakan hanya berupa desahan angin belaka.

Sekar tertegun saat lamat-lamat terdengar suara isak tangis ibunya. Kemiskinan selalu menjerat mereka dalam ketidakberdayaan. Sekeras apapun usaha ibu untuk mencari uang belum mampu melunasi hutang-hutangnya. Sekar tahu itu pilihan sulit. Tetapi ibu bisa apa?Almarhum bapak tidak meninggalkan harta warisan yang bisa dipergunakan untuk menyambung hidup mereka kecuali rumah kecil dan sederhana di kaki bukit ini. Tidak mungkin menjual rumah mereka karena satu-satunya tempat mereka bernaung dari hujan dan panas.

**

Bau nasi tiwul dicampur beras khas memenuhi dapur. Asap mengepul dari atas tungku. Bau sangit kayu bakar dan nasi tiwul membuat perut keroncongan. Ikan asin, sambal tempe dan daun kemanggi melengkapi menu sarapan pagi di dapur mereka yang sederhana.

Ayu dan Bagus makan dengan nikmat. Sesekali Ayu mendesis kepedasan.

“Air..air….”

“Jangan kebanyakan, Nduk. “ tegur ibu sambil memperhatikan ketiga anaknya makan. Ibu makan dengan pelan-pelan.

“Kalau nggak pedas nggak nikmat, Bu,” jawab Ayu sambil manambahkan sambal tempe di piringnya.

“Nanti saya pulang terlambat, Bu. Mau bikin PR dirumahnya Ajeng,” Ayu minta ijin kepada ibu dan disambut dengan anggukan kepala.

Sekar membereskan sisa makan pagi mereka saat ibu sudah duduk di kursi dapur setelah mengantarkan Ayu dan Bagus sampai di teras rumah. Tangannya gemetar saat minum teh panas dari cangkir tembikar.

“Ibu sakit?” tanya Sekar hati-hati. Wajah pucat ibunya tidak bisa ditutupi. Sebaris kegelisahan tergambar jelas.

Ibu mengelengkan kepala,” Tidak. Ibu tidak apa-apa.”

Sekar duduk disebelah ibu. Tangannya memegang punggung tangan ibu dengan lembut. “Kalau sakit, sebaiknya ibu istirahat di rumah saja. Nanti siang setelah dari warung, Sekar akan mengantikan ibu di bukit.”

Ibu memandang wajah Sekar dengan perasaan haru. Meskipun Sekar baru berumur 13 tahun tetapi pikirannya sudah matang dan penuh pengertian. Tempaan hidup yang keras telah membentuk jiwanya menjadi tegar dan kuat di masa anak-anak.

“Ibu tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah. Nanti pasti sudah sehat kembali.”

“Tapi, Bu…?”

“Sekar bersiap-siap saja, ya. Ibu juga mau bersiap untuk berangkat. “ potong ibu cepat berusaha menghindar dari pertanyaan Sekar.

Sekar cukup maklum dengan sikap ibunya. Pasti kedatangan Bu Somo semalam yang membuat ibunya menjadi sedih.

Setengah jam berikutnya Sekar sudah dalam perjalanan ke tempatnya bekerja. Dengan berjalan kaki menyusuri jalan dusun dan desa, ia memperhatikan anak-anak yang berangkat sekolah. Wajah mereka tampak riang dan gembira. Beberapa anak naik sepeda, sebagian jalan kaki dan ada yang diantar orangtuanya. Memperhatikan wajah-wajah penuh semangat dibalut seragam sekolah menambah besar keinginan Sekar untuk melanjutkan sekolah.

**

Sampai menjelang malam, Sekar masih menunggu kedatangan ibu. Ayu dan Bagus sudah tidur lelap. Ia gelisah tidak tahu kemana ibunya pergi. Selama ini ibu selalu bilang jikaada urusan. Tetapi sore setelah sholat magrib di mushola, ibu peri keluar dengan tergesa-gesa tanpa sempat meninggalkan pesan apa-apa.

Jam menunjukkan angka sepuluh saat pintu rumah terbuka. Sekar tergagap dan terbangun. Rupanya dia ketiduran di kursi tamu.

“Ibu..? Ibu darimana?” tanya Sekar.

Ibu tidak menjawab, duduk dengan lesu.

Tanpa banyak bicara, Sekar ke belakang dan tak lama kemudian menghampiri ibu dengan membawa secangkir teh panas. Setelah minum teh, ibu memandang Sekar dengan tersenyum letih.

“Maaf, Nduk. Ibu tergesa-gesa sampai lupa pamit. Tadi ibu ada perlu sebentar. Ada kebutuhan yang harus ibu cari. Ibu pergi ke beberapa rumah saudara kita. ..”

“Apakah ini berkaiatan dengan kedatangan Bu Somo kemarin, bu?” tanya Sekar.

Ibu memandang Sekar sejenak kemudian mengalihkan pandangan ke luar rumah.

“Ibu dapat pinjaman?”

Ibu mengelengkan kepala.

“Hutang kita masih cukup banyak. Ada tujuhratusribu yang belum terbayar. Bu Somo butuh uangnya besok. Ibu sudah berusaha mencari pinjaman. Tetapi …tidak dapat,” ada nada penyesalan dalam kalimat ibu.

Sekar berjalan ke kamarnya. Tadi sore Sekar sudah memutuskan untuk memberikan uang simpanannya untuk membayar hutang.

“Apa ini Sekar?”tanya ibu binggung saat Sekar memberikan amplop berisi uang pecahan limaribuan, sepuluh ribuan dan pecahan lainnya.

“Tabungan Sekar untuk mengembalikan uangnya Bu Somo,” jelas Sekar.

“Tapi, Nduk? Uang ini kamu kumpulkan untuk biaya sekolah. Bagaimana mungkin..?”

“Tidak mengapa, Bu. Sekar memang sangat ingin masuk SMP. Tapi…mungkin tahun ini Sekar belum bisa meneruskan sekolah lagi. Uang ini lebih dibutuhkan ibu. Insyaalloh tahun depan bisa sekolah. Sekar akan giat mengumpulkan uang lagi, Bu.”kata Sekar dengan mata berkaca-kaca.

“Tidak, Nduk. Ibu..ibu…”

“Ibu, saat ini lebih penting melunasi hutang kita. Biar kita hidup lebih tentram. Sekolah Sekar bisa ditunda tahun depan. Ibu terima, ya,” pinta Sekar dengan penuh harapan.

Ibu merangkul anak sulungnya dengan perasaan terharu dan bangga. Rasanya sulit mengeluarkan kata-kata. Hanya pelukan dan kecupan hangat yang mampu dia ucapkan.

Sekar memeluk ibu dengan rasa sayang. Biarlah cita-citanya tertunda asalkan dia bisa membuat ibu bahagia. Mungkin belum saatnya aku sekolah lagi. Tapi tahun depan aku pasti bisa, batin Sekar berharap asa menjadi nyata. ***


Nduk atau nak, panggilan untuk anak perempuan di Jawa Tengah


Sebutan untuk perempuan yang lebih tua dari orangtua

Bahan makanan pengganti nasi yang terbuat dari singkong.


Berteduh


Kesini

Tidak mengapa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun