bag. 3
”Pengawal, kau tahu untuk apa kau ku panggil kemari?" laki-laki tua itu bicara datar, tak ada keberanian menambah volume suaranya, takut jantungnya kambuh.
Diambilnya buku yang tadi jatuh di bawah kursi goyangnya.
“Kau tahu tentang isi cerita ini?” katanya sambil menunjukan buku yang dipengangnya.
Pengawalnya menggeleng.
”Isi buku ini benar-benar mengadu domba. Ini tindakan subversib, bisa menimbulkan kekacauan dan keresahan masyarakat. Sekarang juga perintahkan ke orang-orangku untuk melarang buku-buku ini beredar dan menyeret pengarang buku ini ke meja hijau. Kau dengar? Cepat laksankaan!" hardiknya keras tanpa menyadari penyakit jantungnya bisa kambuh lagi.
”Baik tuan,” pengawal itu segera menjnggalkan laki-laki tua yang sedang dilanda kemarahan itu.
**
Sepeninggal pengawalnya, ruangan besar itu kembali sunyi.Wajah laki-laki tua itu perlahan-lahan berubah menjadi pucat ketakutan, tubuhnya menggingil seakan dilanda demam, pandang matanya gelisah seolah-olah mencemaskan akan adanya sesuatu yang mencelakakaannya.
Dengan ketakutan laki-laki tua itu berjalan tertatih-tatih meninggalkan kursi goyangnya menuju kamar. Begitu sampai, segera ditutup pintu kamarnya dan segera dia kunci. Pandangan matanya liar menyapu seisi kamar untuk memastikan tidak ada sesuatu yang mencurigakan.
Lalu perlahan-lahan dia naik ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya. Tetapi dia tidak bisa memejamkan matanya karena ketakutan akan sesuatu ancaman yang membahayakan keselamatannya.
Mata tuanya yang penuh rasa khawatir, takut dan gelisah itu menerawang jauh.
Tanpa bisa dia hindari rekaman peristiwa-peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu kembali hadir. Masa mudanya yang penuh dengan kerakusan, niat-niat liciknya, kegagalan dari beberapa rencananya Walaupun itu tidaklah berakibat buruk bagi kedudukannya karena kelihaiannya memutar balikkan fakta, perbuatan sikut kanan sikut kirinya.
Bibir laki-laki tua itu terlihat melebar membentuk senyuman mengingat masa lalunya yang penuh ambisi dan prestasi.
Sampai pada puncak ambisinya yang terbesar berhasil yaitu ketika ..... oh persis seperti cerita Ken Arok yang dia baca tadi.
Mendadak laki-laki tua itu gelisaah. Pembantaian orang-orang tak berdosa korban ambisinya ..... tubuh laki-laki itu mengejang ketakutan.
Dipejamkannya matanya berusaha mengusir bayangan-bayangan menakutkan yang hadir itu. Tetapi dia tidak mampu. Pembantaian-pembantaian ... laki-laki itu semakin gelisah. Bajunya basah oleh keringat dingin.
Ketika di pejamkan matanya, semakin jelas pembantaian itu terbayang. Air mata, darah, lautan darah... tubuh yang hanyut tanpa kepala...oh..tidak...tidak, jerit
laki-laki itu histeris.
Dia segera bangkit dari tidurnya dengan nafas tak terkendali. Wajahnya pucat sekali. Ribuan tubuh hanyut tanpa kepala ...darah ...darah...
“Oh tidak... tidak... jangan, Tuhan,” nafas laki-laki tua itu seakan sudah berhenti berdetak. Bayangan-bayangan buruk itu seolah selalu mengejarnya.
Laki-laki tua itu berteriak histeris, tangannya tanpa sadar mencakar rambutnya. Dia seperti orang gila sudah tidak menyadari apa yang dia lakukan lagi, hingga ia jatuh pingsan di kejar ilusi yang dia ciptakan sendiri. (bersambung)
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H