Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Esok Masih Ada Harapan

11 Februari 2015   22:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:23 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian 1.

Surip termangu memandang barang dagangan yang masih setengah lebih memenuhi gerobak dorongyang catnya mulai terkelupas di beberapa tempat.Buah-buahan untukbahan rujak dagangannyaseperti nanas, kodondong, ketimun, bengkoang, pepaya dan mangga masih menumpuk. Dari pagi Surip berkeliling menjajakan rujak ke berbagai tempat yang selama ini menjadi langganannya. Tetapi siang ini terpaksa harus berhenti karena hujan lebat memuntahkan airnya dari langit.

Berdagang rujak pada saat musim hujan seperti ini memang tidak begitu menguntungkan bagi Surip. Tetapi Surip tidak ada pilihan lain, selain tetap berjualan dan berharap hujan turun ketika menjelang sore hari, waktu yang biasanya dagangan Surip sudah mulai habis.

Surip tetap menekuni pekerjaan menjual rujak yang sudah dia lakukan selama 5 tahun terakhir ini untuk menopang kebutuhan hidup anak dan istrinya. Dulu sebelum berjualan rujak keliling, Surip pernah bekerja sebagaiburuh di pabrik furniture di desanya, tetapi belakangan harus keluar karena tempat bekerjanya melakukan pengurangan pegawai karena dampak krisis moneter. Kemudian Surip mencoba untuk bekerja serabutan apa saja karena sulitnya mencari pekerjaan. Bekal ijasah SLTA yang dipegang tak mampu memberikan kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebihbaik. Pernah Surip bekerja sebagai kernet bis, bekerja sebagai pelayan toko bangunan, juga pernah sebagai buruh angkut di Pasar Legi. Sampai akhirnya Surip memutuskan untuk berjualan rujak keliling. Tahun-tahun pertama berjualanrujak, Surip mampu membawa untung yang lumayan besar karena masih jarang ada pedagang rujak keliling. Sehingga dengan keuntungan tersebut Surip bisa membiayai anak dan istrinya.

Tetapidua tahun terakhir ini, sulit untuk berharap mendapatkeuntungan karena penjual rujak sudah banyak. Sehingga dalam seharimendapat keuntungan cukup untuk membeli beras dan sedikit lauk saja. Surip sudah bersyukur karena terkadang dagangan Surip masih tersisa, yang mau tidak mau harus dimakan sendiri bersama anak dan istrinya kalau tidak mau terbuang percuma. Maklum, buah-buahan tidak bisa bertahan lama, sementara dalam berjualan Surip selalu berusaha mempertahankan kualitas dagangannya dengan menjual buah segar.

Udara terasa dingin menusuk kulit Surip yang hanya berbalut kaus tipis yang mulai usang dimakan waktu. Untung emperan tokotempat Surip berteduh cukup luas sehingga air hujan tidak mengenai badan Surip. Surip mencari-cari rokok di kantung bajunya berharap rokok bisa mengurangi hawa dingin yang menusuk tulang. Tetapi setelah sekian lama merogoh saku baju dan celana, ternyata rokok yang dicari tidak ada. Surip tersenyum kecut menyadari bahwa sudah tidak punya rokok paling tidak selama 3 hari terakhir ini. Terpaksa untuk mengurangihawa dingin,Surip semakin merapatkan dekapan tangan di dadanya.

Pikiran Surip menerawang kemana-mana. Sudahhampir satu minggu ini, Wanti anak satu-satunya yang saat ini kelas 2 SD sudah berulang kali minta uang untuk membayar buku dan kegiatan ekstra di sekolahnya. Untung saja Wanti sekolah di SD negeri, sehingga Surip tidak terlalu pusing memikirkan SPP setiap bulannya. Tetapi meskipun SPP gratis, Surip masih harus membayar beberapa iuransetiap bulannya.

“Pak, kapan Wanti bisa membayar? Bu Guru sudah menanyakan keWanti terus,” kata Wanti sambil menatap Surip. Tatapan mata bening dan polos itu penuh berjuta harapan menanti kepastian dari mulut Surip.

Seperti biasanya Surip hanya bisa tersenyum mencoba menghibur anaknya. Meskipun pahit dan berat untuk diucapkan, Surip selalu berusaha membuat hati Wanti senang. Diraihnya anak semata wayangnya untuk duduk di pangkuannya. Dengan lembut diciumnya rambut Wanti.(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun