Mohon tunggu...
Suci Budiyanti
Suci Budiyanti Mohon Tunggu... Novelis - Author

i write you read

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jam Sibuk Jakarta, Kegencet Udah Biasa

22 Maret 2018   09:47 Diperbarui: 22 Maret 2018   10:13 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya belum terlalu lama bergabung dengan gaya hidup "berangkat langit masih gelap pulang langit sudah gelap" di ibu kota ini. Namun saya mulai merasakan sendiri kenapa banyak perantau yang pulang. Bukan hanya sekedar persoalan ekonomi dan kebutuhan, tapi karena waktu bekerja dengan cara yang berbeda di kota ini. 

Perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang memakan banyak waktu melahirkan istilah tua di jalanyang sudah tidak asing lagi. Itulah sebabnya para commuter mencari cara tercepat, ternyaman, dan termurah untuk mobilitas mereka dan KRL Commuter Line adalah transportasi favorit banyak orang.

Hanya saja saya tidak ingin bercerita tentang enaknya naik KRL atau tentang stasiun-stasiun yang terlihat bagus. Yang saya ingin ceritakan adalah bagaimana rusuk saya "patah" dan organ dalam perut saya "bertubrukan" setiap pagi ketika berangkat kerja dengan KRL Commuter Line. 

Baiklah, bukan hanya saya. Semua orang yang terpaksa ikut bergabung dengan lautan manusia di pagi hari juga merasakannya (kecuali tubuh mereka terbuat dari rangka besi dan diisi oleh biji baja). Berdempet-dempet seperti sarden di dalam gerbong sudah menjadi pemandangan umum di sini. Setiap orang berubah menjadi zombi yang berjalan terburu-buru dan tenaga super kuat untuk saling dorong. 

Volume penumpang KRL  di Jakarta memang melimpah dan "berlebihan". Ada lebih dari 1 juta penumpang yang diangkut setiap hari oleh rangkaian KRL Commuter Line. Sementara, daya tampung ideal setiap gerbong hanya 250 penumpang. Maka tidak salah jika ratusan manusia yang bergerombol setiap pagi dan sore benar-benar terlihat seperti pasukan zombie. 

Nah, mengingat angka tersebut, terbayang sudah ruang yang tersedia untuk kelebihan muatan di setiap gerbong kereta. Berdesak-desakan (benar-benar berdesak-desakan), dan saling dorong tidak dapat terelakkan lagi pada jam sibuk. Bahkan tidak ada ruang lagi untuk celah ketiak atau celah kaki. 

Saya yang tidak terbiasa berada di tengah tumpukan manusia seperti itu benar-benar merasa tersiksa. Setiap kali pintu gerbong terbuka dan tertutup seolah saya sedang dilindas oleh karung beras. Saya hanya bisa diam menahan dorongan dari segala arah yang mungkin akan membuat saya terlihat kurus begitu turun. Saya kemudian menikmati ekspresi masing-masing kepala setiap pagi. Mereka biasa saja. 

Ah, mungkin saya juga harus terbiasa menjadi ikan sarden setiap berangkat dan pulang kerja. Atau, saya terpaksa mencari pekerjaan dengan jam masuk dan pulang yang berbeda dari orang kebanyakan. Atau saya ikut-ikutan jejak leluhur yang menyerah dan kembali hidup dengan damai di tanah Minang yang rupawan. 

Atau setiap orang boleh mulai belajar untuk menghargai tertib dan tidak memaksakan diri dengan terbiasa "tergencet" demi cepat sampai di tujuan. Bukankah sesuatu yang tidak sesuai aturan lama-lama akan menganggu sebuah sistem dan merusak nilai-nilai tertentu? (Menghalalkan tindakan gencet-gencetan ini misalnya). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun