Mohon tunggu...
Suci Aulia
Suci Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Psikologi Universitas Pembangunan Jaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Bystander Effect dalam Bullying

4 Maret 2023   01:02 Diperbarui: 4 Maret 2023   01:14 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Dalam fenomena bullying, biasanya terdapat orang-orang yang menyaksikan bagaimana peristiwa itu terjadi dan mereka hanya melihat tanpa menghentikan aksi perundungan tersebut. Ternyata ada istilahnya loh! Yaitu, mereka disebut sebagai bystander.

 

Mengapa banyak terjadi tindakan Bullying?

Fenomena bullying sudah banyak terjadi di Indonesia, khususnya di lingkungan sekolah. Dalam jurnal (Halimah et al., 2015), ditemukan hasil penelitian oleh para ahli intervensi bullying, Huneck (2007) yang menyatakan bahwa siswa di indonesia sebesar 10-60% telah melaporkan mendapat perilaku pengucilan, pemukulan, ejekan, dorongan dan tendangan setidaknya hal tersebut terjadi sekali dalam seminggu. 

Dalam catatan yang di tulis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), peringkat teratas pengaduan dari masyarakat adalah kasus bullying yang terjadi di sektor pendidikan. 

Berdasarkan data (UNICEF, 2020), sebesar 41% siswa berumur 15 tahun mendapatkan perilaku bullying beberapa kali dalam sebulan dan 45% anak muda di Indonesia yang berusia 14-24 tahun melaporkan bahwa mereka pernah mengalami cyberbullying. 

Dari data-data tersebut membuktikan, bahwa fenomena bullying cukup menjadi hal penting yang harus ditangani. Disampaikan juga oleh Hawkins, Pepler, dan Carig (2020), kehadiran orang lain yang menyaksikan dan mendengar langsung di lokasi peritiwa dapat semakin meningkatkan perilaku bullying (Halimah et al., 2015). Nah. Orang yang menyaksikan peristiwa bullying ini disebut sebagai bystander.

Istilah bystander mengacu pada kegagalan untuk menawarkan bantuan oleh mereka yang mengamati seseorang yang membutuhkan bantuan. Mereka mungkin berpikir jika banyak orang di tempat kejadian, maka korban bullying lebih mungkin untuk dibantu oleh yang lain. 

Latan dan Darley menyatakan, setiap orang cenderung menawarkan bantuan jika ada pengamat lain di sekitarnya (Grison & Gazzaniga, 2019). Dalam penelitian yang dilakukan bertahun-tahun akhirnya para peneliti menemukan alasan utama seseorang hanya bertindak sebagai bystander.

 

Alasan Seseorang Menjadi Bystander

  • Bystander biasanya mengharapkan pengamat lain untuk membantu korban. Dengan demikian, semakin banyak jumlah orang yang menyaksikan peristiwa bullying, semakin kecil kemungkinan mereka untuk membantu korban.
  •  Orang yang menyaksikan takut membuat kesalahan dalam situasi yang ambigu, dalam kasus ini mungkin mereka yang menyakiskan bullying berpikir "apakah orag itu hanya bercanda dengan temannya atau memang beneran?".
  • Orang yang menyaksikan cenderung tidak membantu karena mereka tidak mengenal korban. Mereka cenderung melimpahkan hal tersebut kepada orang yang dekat dan kenal dengan korban.
  • Pada penelitian yang dilakukan oleh Pepler dan Craig (2020), ia menemukan bahwa 85% dalam peristiwa bullying terdapat teman-teman sebaya hadir sebagai bystander. Sehingga, peristiwa tersebut berpengaruh juga pada orang yang menyaksikan atau mendengar peristiwa bullying, bukan hanya pada pelaku dan korban saja (Halimah et al., 2015).

 

Dari penjelasan di atas, bahwa fenomena bullying tentu sebagai hal yang negatif dalam kehidupan. Fenomena bullying sudah menjadi pembahasan sangat penting dan perlu ditangani segera. 

Orang lain sebagai pengamat atau yang disebut bystander turut andil terhadap terjadinya bullying. Ada tigas alasan utama mengapa seseorang menjadi bystander, yaitu mereka mengharapkan pengamat lain untuk membantu korban, mereka takut membuat kesalahan karena situasi ambigu, dan mereka tidak mengenal korban. 

Dengan adanya alasan-alasan tersebut, kita dapat merubah sikap menjadi lebih aware dengan lingkungan sekitar dan tingkatkan rasa empati pada orang lain. Sehingga, kita bisa bertindak sebagai orang yang tidak acuh tak acuh dan pura-pura tidak tahu lagi pada peristiwa-peristiwa bullying.

 

 

REFERENSI

Grison, S., & Gazzaniga, M. S. (2019). Psychology In Your Life.

Halimah, A., Khumas, A., & Zainuddin, K. (2015). Persepsi pada Bystander terhadap Intensitas Bullying pada Siswa SMP. Jurnal Psikologi, 42(2), 129. https://doi.org/10.22146/jpsi.7168

UNICEF. (2020). Bullying in Indonesia. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi178_U6vb7AhUsUGwGHfAuDXoQFnoECDIQAQ&url=https%3A%2F%2Fwww.unicef.org%2Findonesia%2Fmedia%2F5691%2Ffile%2FFact%2520Sheet%2520Perkawinan%2520Anak%2520di%2520Indonesia.pdf&usg=AOvVaw0l3vb2pEkQVirGqvdYGHHK

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun