Meniti Asa: Kisah Perjuangan dalam Mengikuti Perlombaan Best Practice
Hari ini adalah batas akhir pengumpulan naskah lomba best practice tingkat SMA se-Kabupaten Penajam Paser Utara. Padahal infonya telah disampaikan sebelum Ramadan sampai tanggal 20 April 2024. Termasuk waktu yang cukup lama apabila memiliki cukup tekad untuk mengikuti tantangan tersebut. Namun tantangan sebagai hambatan terus saja hadir menyapa seolah meminta waktu diri untuk memilih antara kepentingan pekerjaan dan pribadi.
Untuk mengikuti lomba semacam ini memang sebuah impian sebab pada tahun 2018 juga pernah meraih sebagai finalis 50 naskah terpilih best practice dalam bidang inklusif. Hal itu juga tak menyangka naskah terpilih. Yang ada di kepala hanya ingin mencoba kemampuan diri. Masalah menang itu masalah belakang. Jika telah mengirim, setidaknya memiliki harapan dapat terpilih. Untung-untung membuahkan hasil.
Ya, akhir tahun 2018 saya dapat menikmati panggilan dari Kemdikbud sebagai finalis. Ternyata naskah yang terkumpul juga luar biasa banyak. Padahal awalnya juga tak menyangka karya sederhana dapat diterima. Setelah bertemu dengan mayoritas guru inklusif menjadi minder. Saya akui pengalaman mengenai pendidikan inklusif hanya sebatas mengikuti pelatihan daring di SIM PKB. Saya tergerak mengikuti sebab, cara murid untuk belajar memang unik dan khas. Ada yang istimewa sehingga memerlukan perhatian lebih. Sehingga sebagai guru sudah semestinya mengasah diri untuk belajar meskipun tidak ada korelasi dengan mata pelajaran yang diajar. Tapi kemampuan pedagogiknya yang sangat penting agar guru memiliki kepekaan dan empati terhadap anak didik.
     Belajar dari pengalaman itu, saya mencoba mengumpulkan tenaga dan motivasi diri. Memang berharap menang masih jauh harapan. Bayangkan baru menulis di tanggal 19 April 2024, pukul 22.30. Itu pun setelah buah hati tidur. Berbekal bismillah saya mencoba menuangkan kata demi kata sesuai dengan petunjuk pedoman maksimal 2000 kata. Sebenarnya jumlah kata yang masih bisa dipenuhi.
     Namun naskah yang saya tulis baru pembuka. Lagi-lagi dan lagi pikiran yang membuat harus memilih yang menjadi perioritas utama. Sebanyak 14 cabang lomba seni dan bahasa yang menyapa untuk meminta perhatian.  Batas pengumpulannya pun sama dengan lomba praktik baik yang saya ingin diikuti. Apalagi mendengar kisah perjuangan anak didik untuk menyiapkan lomba seni saat puasa adalah tantangan luar biasa. Ada pula anak didik yang sambil bekerja saat kelas XII ujian. Hal ini yang memotivasi diri untuk memperioritaskan anak didik menuntaskan naskah lomba terlebih dahulu. Sehingga lagi dan lagi harus mengalah agar harapan anak didik juga tak sirna. Tapi ternyata Tuhan menakdirkan pikiran ini bisa berbagi. Sambil menunggu naskah dan memberikan masukan. Di saat itulah saya sambil menulis best practice.
     Menjadi pembimbing lomba dan sekaligus menjadi wakil kepala sekolah tentu pekerjaan tidak mudah. Ada amanah yang menanti yang mesti prioritaskan. Padahal untuk rehat sejenak seakan kondisi tidak mengizinkan sebab waktu yang ada sangat berharga. Mengajak anak didik mengobrol, kesiapan mental, hambatan yang dihadapi menjadi reflkesi yang harus dievaluasi agar delegasi sekolah tetap mengirimkan sesuai harapan. Sampai saya membuat list agar semua anak didik yang telah mendaftar lomba dapat mengirimkan semua. Semoga dari lelah dan perjuangan membuahkan hasil.
     Setelah memastikan semua lomba terkirim sampai malam nanti. Barulah memikirkan diri pribadi untuk meneruskan mengikuti lomba praktik baik. Ada secuil rasa ragu membelenggu pikiran akan motivasi diri. Namun, rasa tekad yang kuat untuk mencoba terus menjadi pemacu semangat. Mengatasi masalah anak didik saja bisa dilalui, masa masalah pribadi untuk menulis tidak bisa. Memang berharap menang jauh harapan apalagi membuatnya tergesa-gesa tanpa memperhatikan mutu karya.
     Setidaknya saya berusaha dengan sekuat tenaga yang dimiliki. Semoga ada pelangi indah yang diperoleh dari kerja keras agar hasil sesuai harapan. Jikalau nanti tidak terpilih setidaknya telah berhasil menuntaskan tantangan di limit terakhir lomba praktik baik. Apapun yang dikerjakan dengan hati, maka akan menjadi sumber energi ke pikiran positif. Pikiran itu yang membuat masalah tidak menjadi beban. Tapi sebuah tantangan baru yang mesti dihadapi.
     Tantangan lomba dan pembimbing lomba ini juga yang membuat proposal yang saya susun awal tahun 2024 menjadi menjadi gagal dilakukan. Sebab tekad untuk menulis di Kompasiana sehari tayang juga tak sesuai tujuan. Namun, saya bersyukur naskah lomba yang saya buat bisa selesai sebelum saya menulis artikel di Kompasiana.
     Semoga dengan berbagi ini dapat menginspirasi pembaca bahwa masalah yang kita hadapi bukan berarti sebuah beban yang membuat hidup kita tertekan. Dari keadaan sulit kita belajar untuk menjadi kuat, menjadi kritis untuk memilih dan milah prioritas utama. Untuk itu, perlu menikmati sebuah proses agar tidak mengeluh dengan tantangan ada. Sebab, dengan mengeluh akan membuat psikis kita terganggu dan jauh dari bahagia. Seberat apaun itu beban yang ada jika dikerjakan setahap demi tahap akan selesai indah pada waktunya. Yakin usaha sampai pada setiap pekerjaan yang kita tekuni. Semoga ada pelangi indah di setiap perjuangan yang ditekuni. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H