Novel ini menceritakan tentang sebuah keluarga petani di sebuah pedalaman desa di Bali yang terdiri dari Nanamama, Kakaputu---anak laki-laki Nanamama---dan Arumbawangi---seorang anak perempuan yang masih sangat kecil dibawa oleh segerombol burung kokokan di suatu sore, dijatuhkan di kebun bawang merah Nanamama, dan ditemukan Nanamama dalam keadaan kotor namun lucu dimatanya. Sejak saat itu Nanamama bertekad untuk mengurusnya seperti anak sendiri dan memberinya nama Arumbawangi, yang artinya bau bawang.
  Arumbawangi tumbuh sebagai gadis kecil yang ceria, lugu, jujur dan berani. Sementara Kakaputu tumbuh sebagai kakak yang selalu melindungi Arumbawangi dari orang-orang yang mengejeknya sebagai kesialan karena "terlahir" dari kokokan, walaupun sebenarnya ia pun takut kepada mereka. Arumbawangi dan Kakaputu tumbuh dan berkembang sebagai kakak beradik yang sangat rukun, walaupun kenyataannya mereka berasal dari rahim yang berbeda.
  Hingga suatu hari, datang seorang pengusaha yang ingin mendirikan sebuah hotel di desa mereka. Di saat penduduk lain menyetujui pembangunan hotel ini karena diiming-imingi dengan uang, hanya Nanamama yang kukuh menolaknya. Namun ternyata pemilik hotel mempunyai seorang anak laki-laki bernama Jojo yang menjadi teman Kakaputu dan Arumbawangi.
  Arumbawangi, Kakaputu dan Jojo berteman dengan baik. Jojo mengajarkan Arumbawangi dan Kakaputu bermain video game dan drone, juga sebaliknya, Jojo diajarkan menanam dan memanjat pohon oleh Arumbawangi dan Kakaputu. Padahal sebelumnya Jojo tidak pernah memiliki teman karena penyakitnya yang memaksanya untuk selalu berdiam diri dalam kamarnya. Maka dari itu, Jojo sangat senang ketika mengenal Arumbawangi dan Kakaputu hingga ia berjanji untuk membantu Nanamama untuk membujuk ayahnya agar pembangunan hotel diberhentikan.
  Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari novel ini. Seperti bagaimana caranya mencintai dan menyayangi seperti hubungan Nanamama, Arumbawangi, Kakaputu dan Jojo; bagaimana caranya merelakan seperti tangguhnya Arumbawangi dan Kakaputu ketika Nanamama wafat; dan bagaimana sebuah tindakan abai yang sepele namun pada akhirnya dapat menyebabkan hal yang tragis seperti ayah Jojo yang lebih memperhatikan pekerjaannya di luar negeri daripada Jojo, hingga saat Jojo sudah terlalu lelah menangis dalam kamarnya merindukan ibunya yang telah wafat.
Jojo tidak tau saat ada kerusakan saluran listrik dalam kamarnya membuat dirinya dan hotel hangus terbakar api; dan juga bagaimana perlawanan seorang minoritas yang menolak untuk tunduk walaupun berada dalam posisi yang benar seperti Arumbawangi dan Kakaputu yang terus membela Nanamama yang dituduh sebagai pelaku kebakaran hotel ayah Jojo karena Nanamama yang dari awal menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap pembangunan hotel.
  Berlatar pedesaan yang asri dengan sawah berundak yang membentang luas serta kebun kelapa di sekelilingnya, membuat saya sebagai pembaca merasakan kesejukan yang nyata. Seolah semua itu terasa dekat dan pada akhirnya membuat saya merindukan kampung halaman. Ditambah dengan keberhasilan penulis mendeskripsikan sudut pandang yang polos dan lugu namun jujur dari tokoh anak-anak yang selain membuat saya tergelak dalam tawa, juga membuat saya termenung lama dalam proses meresapi makna yang terirat didalamnya.
  Gaya penulisannya yang jelas, jujur dan mengalir hangat membuat saya merasa seperti sedang dibacakan dongeng oleh penulis. Begitu pula dengan diksi yang dituangkan kedalam novel ini begitu indah dan tak jarang menyayat hati saat dibaca, sampai membuat saya merinding sendiri. Buku ini benar benar layak mendapatkan penghargaan dan pujian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H