Mohon tunggu...
Anusapati Cannabis
Anusapati Cannabis Mohon Tunggu... -

Pernah Kuliah di Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Panitia Perang Dunia III #Serial Ayah 5

2 Juli 2015   13:45 Diperbarui: 2 Juli 2015   13:45 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Gegara kehabisan bacaan aku beralih ke majalah ayah yang waktu itu dipenuhi berita perang Israel-Palestina serta Amerika-Irak. Di salah satu buku agenda ayahku, aku mendapati pula coretan tangan ayah yang bertuliskan, Panitia Perang Dunia III.

 

Ayah memang selalu menuliskan kalimat atau kata aneh di berbagai tempat. Di cermin dekat jendela, ia menulis, "Squadron 31." Di salah satu foto bersama teman masa muda, ia menuliskan, "Kumpul kebo," ada pula foto yang bertuliskan,"Sedang dinikahkan", "Anak tiri," "Mabuk judi," "Mucikari," dan, " sedang pacaran."

 

Aku lalu terjun ke majalah ibuku. Di sana ada kisah nenek tua yang memilih hidup sendiri dalam gua bersama seekor ayam dan kucing. Artikel itu ditutup dengan sebuah kolom hijau berisi tanggapan seorang psikolog mengenai mengapa seorang perempuan lebih memilih menjauh dari lingkungan sosial. Saat itu, aku hampir saja berpikir bahwa psikolog adalah orang yang pekerjaannya menanggap-nanggapi kehidupan orang.

 

Aku mulai merasa terancam akibat perang. Bagaimana kalau suatu hari ada pesawat tempur menjatuhkan pelurunya tepat di atas rumahku? Aku perlu perlindungan seperti yang dilakukan nenek di majalah ibuku.

 

Otakku kusut. Berpikir keras. Bagaimana seandainya?

 

Keesokan harinya aku membawa arit dan parang ke belakang rumah. Ide besarku adalah membangun ruang bawah tanah untuk perlindungan seandainya Perang Dunia III terjadi. Anak-anak tetangga turut membantu. Untung mereka tidak menanyakan alasan penggalian lubang.

 

Aku, Ayu, San,Kur, Hidup, Baik, Mbak Ribut, Misnok, Jibun, Patihin bahu membahu 5 hari berturut-turut. Arit, parang, cangkul beradu. Kami bekerja sejak pukul 08.00-16.00 Wib. Istirahat 1 jam saat Zuhur. Hari ke-6 kami bosan dan mulai beralih ke permainan Orang Kaya Orang Miskin yang diperkenalkan Misnok setelah pulang dari Jawa--tentu saja setelah naik bus 3 hari 3 malam.

 

Hasil karya 10 pasang tangan di belakang rumah hanyalah lubang tak sampai 30 cm kedalamannya dengan panjang 1 m dan lebar 0,5 m. Sangat tak efisien untuk berlindung dari rudal Amerika ataupun Israel--Bahkan dari serbuan anjing gila Pak Sakir pun mungkin tak bisa.

 

Ayah yang melihat gelagat bosan di wajah kami memasukkan dedak dan segala jenis sampah organik ke dalam lubang itu. Kata ayah, yang ia lakukan adalah proyek pupuk kompos.

 

Pikiranku sudah tak lagi mengkaji perang. Lagipula, pupuk kompos terlihat mampu meredam perang. Di halaman rumah Hidup, kami berbaris berhadapan dan mulai bermain Orang Kaya Orang Miskin.

 

"Kami orang kaya ya oma ya oma."

"Saya orang miskin ya oma ya oma."

"Baju kami bagus-bagus ya oma ya oma."

"Baju saya compang camping ya oma-ya oma."

"Anak kami banyak-banyak ya oma ya oma."

"Anak saya tidak ada ya oma ya oma."

"Saya minta anak satu ya oma ya oma."

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun