Mohon tunggu...
Anusapati Cannabis
Anusapati Cannabis Mohon Tunggu... -

Pernah Kuliah di Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pelajaran Pertama

7 Juli 2015   08:56 Diperbarui: 7 Juli 2015   09:01 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mogok mengaji. Entah mengapa. Membaca-baca lembaran alquran selama satu jam di bawah lampu templok mulai menjadi pekerjaan yang menjemukan. Sekali. Sangat. Sungguh. Setelah enam tahun.

“Kenapa?” tanya ibuku.

“Lampu templok itu membuat mataku perih,” ujarku sambil berlari menyusul Sri yang mengajak bermain kasti. Tak ada alasan lain yang paling masuk akal kecuali menyalahkan listrik yang tak menyentuh desa kami. Dan tentu saja, lampu templok yang menyebabkan lembaran alquran yang putih bersih berubah menjadi orange di malam hari.

Karena ini desa. Perkataanku mengalir cepat bersama angin lalu sampai kepada pak tua ringkih, guru mengajiku. Namanya Pak Yasin. Beberapa hari kemudian, ia tergopoh-gopoh mengangkat aki sebesar aki yang kulihat di mobil ambulan yang selalu parkir di depan rumahku. Pak Yasin juga membawa beberapa botol zat kimia untuk mengisi ulang aki itu. Lampu di tempat mengajiku berganti dengan lampu listrik yang megap-megap selama sejam. Jika akinya dicas ulang, cahaya lampu itu terang. Namun segera redup beberapa hari kemudian.

Aku tetap tak kembali ke tempat mengaji karena alasan utamaku sebenarnya adalah aku sudah bosan.

“Tahukah kamu?” ujar ibuku ketika aku tengah berada di ranting rambutan sambil memakan beberapa biji rambutan.

“Akibat perkataanmu, mungkin Pak Yasin tersinggung. Atau tak enak hati karena tak bisa memberikan pencahayaan yang layak untuk muridnya.”

“Lain kali, jika kamu merasa bosan. Bilang saja bosan. Tak perlu menyalahkan lampu. Pak Yasin tentu tak perlu pula pusing-pusing dan mengeluarkan banyak uang untuk membeli aki sebesar itu.”

Karena aku masih kecil dan tak tahu apa arti kata tersinggung, aku kembali memetik buah rambutan. Memakannya hingga sore menjelang. Tapi, kini aku tahu persis apa yang dimaksud ibuku. Ah, Pak Yasinku malang. Terlintas di hadapanku tubuh ringkih, kurus, dan miskin itu berjalan-jalan sepanjang jalan kampung mengangkut aki besar. Andai ia tak menanggapi serius perkataan anak kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun