Mohon tunggu...
Suci Rifani
Suci Rifani Mohon Tunggu... Socmed Officer -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Cerita dari Istana Basa Pagaruyung

31 Agustus 2016   12:06 Diperbarui: 31 Agustus 2016   12:21 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat rumah gadang adalah hal pertama yang terlintas ketika saya menginjakkan kaki di tanah Minang. Rumah adat yang biasanya hanya saya lihat dibuku atau di TMII dalam bentuk  replika kini akhirnya bisa saya kunjungi.

Adalah Istana Pagaruyung yang menjadi tujuan utama perjalanan fam trip #PesonaMinang bersama Pesona Indonesia pada hari ke-2. Kami berangkat dari Bukittinggi dengan durasi tempuh  sekitar 1 jam untuk tiba di Istana Basa Pagaruyung. Istana Basa Parayung yang kita bisa kunjungi saat ini merupakan replika dari istana yang dibakar habis oleh Belanda pada tahun 1804. Musibah kebakaran nampaknya sangat lekat dengan istana ini, setelah tahun1804, kebakaran juga meluluh lantakkan istana pada tahun 1966 dan tahun 2007.

Lokasi istana persis disisi jalan raya, sebuah komplek yang dikelilingi oleh pagar tinggi dengan gapura besar bertuliskan “Istana Basa Pagaruyung”. Sebuah halaman luas dengan batuan alam menjadi pijakan, sebuah kereta menunggu pengunjung yang ingin mengelilingi kawasan kompleks istana.

 Saya mendaki satu persatu anak tangga mendekati istana, 4 orang maskot berwarna kuning dengan pakaian adat Minang menyambut pengunjung dengan ramah, saya pun tak ragu untuk menghampiri dan berfoto dengan para maskot.  Dari kejauhan nampak sebuah rumah gadang besar dengan gonjong khas minang terbuat dari ijuk, pada bagian luar bangunan dihiasi ukiran khas minang yang saya yakin mengandung banyak filosofi. Saya pun melangkah masuk untuk melihat istana dari dekat, beruntungnya saya ditemai seorang pemandu bernama Wilma.

img-20160806-101757-57c66163349773b8068b4568.jpg
img-20160806-101757-57c66163349773b8068b4568.jpg
Wilma menjelaskan bahwa dalam adat minang pada awalnya rumah gadang terdiri dari 2 jenis yaitu rumah adat Koto  Piliang dan rumah adat Bodi Caniago. Rumah adat Koto Piliang biasannya merupakan rumah panggung dan sistem adat serta pemerintahannya lebih otokrasi sedangkan rumah adat Budi Caniago sifatnya lebih demokrasi.

Istana Basa Pagaruyung  terdiri dari 3 lantai. Adapun lantai pertama  berupa ruangan luas yang memajang berbagai benda dalam etalase, kamar-kamar, dan sebuah singgasana dibagian tengah. Menurut  Wilma, jika  istana dilihat dari luar maka akan tampak bangunan yang memanjang dengan  bagian yang lebih tinggi diujung kanan dan kirinya. 

Bagian ini disebut sebagai anjuang. Keberadaan anjuang adalah salah satu ciri khas rumah adat Koto Piliang. Anjuang  yang berada di sebelah kanan disebut sebagai anjuang Rajo Babandiang sedangkan yang di sebelah kanan disebut anjuang Perak. Anjuang ini adalah ruang kehormatan bagi keluarga kerajaan. Anjuang Rajo Babandiang adalah ruangan khusus untuk raja dan terdiri dari 3 langgam / tingkatan.

 Langgam pertama adalah tempat raja bermusawarah dan  memimpin persidangan, biasanya raja akan duduk di sebelah kanan. Langgam kedua adalah tempat beliau beristirahat atau bermeditasi sedangkan langgam ketiga adalah ruangan tidur raja dan permaisurinya. Anjuang ini walaupun terdiri dari 3 langgam namun merupakan satu ruangan utuh yang tidak ada sekatnya.  Sementara anjuang Perak adalah ruangan untuk ayah dan ibu  raja.  Anjuang Perak pun memiliki 3 langgam dengan pembagian fungsi yang  sama dengan anjuang Rajo Babandiang. 

 Pada bagian tengah terdapat 7 kamar tidur untuk anak raja yang sudah menikah. Anak yang paling tua menempati kamar yang paling kanan, begitu seterusnya sampai anak yang termuda  menempati kamar yang berada paling kiri. Tepat ditengah ruangan, persis di depan pintu masuk terdapat sebuah singgasana yang disebut sebagai Bundo Kanduang karena yang duduk di sana memang ibunda raja. 

Beliau akan duduk di sana sehari-hari untuk mengawasi setiap tamu yang datang. Apabila kerajaan mengadakan perjamuan atau rapat maka ibunda raja yang akan memastikan setiap orang duduk pada tempatnya yang  benar, hidangan disajikan tepat waktu dan mengawasi apapun keperluan dalam ruangan sedangkan raja  berada di anjuang Rajo Babandiang. 

Anjuang Raja Babandiang
Anjuang Raja Babandiang
 Lantai 2 disebut sebagai anjuang Paranginan yaitu kamar anak perempuan  raja yang belum menikah sedangkan lantai ke-3 adalah ruang penyimpanan harta pusaka raja sekaligus tempat rapat khusus  raja 3 selo. Raja 3 selo adalah institusi tertinggi dalam hirarki kerajaan Pagaruyung, berasal dari keturunan yang sama dan masing-masing bertugas untuk memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan alam, adat dan ibadat.

singasana
singasana
Wilma kemudian meminta saya untuk melihat kesekeliling ruangan, ia meminta saya memperhatiakan dengan seksama 72 tiang penyangga istana. “Jika kita perhatikan tiang-tiang dalam dan luar istana ini tampak miring seperti lambung kapal yang memanjang.” Ujar Wilma. Struktur istana ini memang didisain miring, setiap tiang ditarik ke arah yang berbeda yaitu utara, selatan, timur dan barat.

Dari 72 tiang hanya satu yang tegak lurus dan berada tepat ditengah ruangan lalu dilapisi kain berwarna kuning . Ini adalah tiang pertama yang didirikan saat istana dibangun dan disebut sebagai tonggak tuo. Tiang tersebut sekaligus merupakan simbol peran perempuan sebagai pewaris dan pemelihara harta, itulah juga kenapa singgasana ibu raja berada tepat di tengah ruangan.

 Tiang yang lainnya adalah simbol pria, pria sebagai pemimpin dimasyarakat yang akan memperkuat kehidupan dan struktur masyarakat karena memang fungsi asli tiang-tiang yang miring ini adalah untuk memperkokoh struktur bangunan  agar tidak rusak  atau roboh apabila terjadi gempa bumi. Seperti diketahui bahwa dataran tinggi sumatera dilewati oleh The Great Sumatran Fault, penyebab gempa pun tidak hanya di darat tetapi juga di laut, dengan beradaptasi dengan alam sesuai dengan filosofi hidup alam takambang jadi guru maka terciptalah struktur seperti ini.

  Setiap tiang dibangun tanpa paku dan tanpa beton, hanya menggunakan pasak dan ikat saja. Kelebihan lainnya adalah setiap tiang berdiri di atas batu sandi, tidak dikubur didalam tanah sehingga nanti jika terjadi tremor akibat gempa bumi, tidak ada kecenderungan rumah akan roboh ke sisi manapun.

Tiang penyangga
Tiang penyangga
“Ini mirip seperti jika kita berdiri berempat lalu saling berpegangan tangan dan merebahkan badan ke belakang secara bersamaan,  kita kan tidak jatuh.” Lanjut Wilma.  Berbeda dengan struktur tiang yang tegak lurus dan dibangun dengan paku serta beton yang cenderung kaku dan mudah patah apabila terjadi gempa.  Kehebatan struktur penyangga istana Pagaruyung  membuat beberapa ahli dunia penasaran dan mengirimkan mahasiswanya untuk datang dan melakukan penelitian.

Di dalam ruangan istana terdapat banyak warna yang muncul dari kain/tirai yang menjadi ornamen. Saya sempat bertanya adakah pengaruhnya warna-warna ini  terhadap filosofi istana. Wilma  menerangkan bahwa memang ada beberapa warna yang memiliki arti khusus yaitu hitam dan kuning. Warna hitam adalah warna yang biasanya digunakan oleh pemuka adat dan bangsawan itulah kenapa warna yang menghiasai anjuang Rajo Babandiang adalah warna hitam. 

Tepat di depan anjuang Rajo Babandiang ini terdapat patung yang melambangkan raja, ibunda raja dan datuk atau penghulu  yang kesemuanya memakai baju berwarna hitam.  Konon salah satu versi mengenai sejarah perang paderi mengatakan bahwa kelompok yang bertikai bukan disebut sebagai kelompok adat dan agama tetapi mereka disebut sebagai orang  hitam dan putih. Orang putih adalah orang paderi yang melambangkan diri mereka dengan pakaian serba putih.

 Orang hitam mewakili kelompok adat karena mereka mengenakan pakaian serba hitam. Selain hitam ada juga warna kuning yang digunakan untuk anjuang Perak tempat ibuda raja sebagai simbol adat. Warna-warna lain di dalam istana tidak terlalu berpengaruh, justru warna pada bendera yang berkibar di depan istana lah yang berpengaruh.

Kamar-kamar
Kamar-kamar
“Warna bederanya mirip yah dengan bendera Jerman” seloroh saya dengan nada bercanda. “ Oh itu justru warna bendera asli Minangkabau dan ada hubungannya dengan legenda Tambo, pernah dengar?” Tanya Wilma.  Saya menggeleng dan Wilma pun menceritakan mengenai legenda Tambo.

Menurut cerita  turun temurun  disebutkan bahwa nenek moyang orang minang adalah 3 orang bersaudara. Saudara tertua adalah Maharaja Ali, yang kedua Maharaja Depang dan yang terakhir Maharaja Diraja. Ketiganya adalah putra dari Sultan Iskandar Zulkarnaen dari daerah yang sangat jauh. 

Mereka berlayar dengan tiga kapal, kemudian  melihat puncak gunung Marapi yang jika dilihat dari kejauhan ukurannya sebesar telur itik.  Ketiganya pun memutuskan menambatkan kapal dan beristirahat di sana. Akan tetapi terjadi sebuah keributan diantara ketiganya, sehingga membuat Maharaja Ali dan Maharaja Depang memutuskan untuk meninggalkan daerah ini, sedangkan Maharaja Diraja tetap tinggal di puncak gunung Marapi. 

Ketika air laut turun dan daratan naik, beliau  kemudian menaruko atau merambah daerah tersebut dan mulai membangun pemukiman.  Nama desa pertama yang dibangun adalah Pariangan. Pemukiman terus berkembang hingga sampai ke daerah tempat berdirinya Istana Pagaruyung. Daerah itu kemudian dinamakan Tanah Datar dan diberi simbol warna kuning sebagai simbol asal usul adat. 

Setelah itu masyarakat semakin berkembang,  banyak pendatang bermukim dan berbaur di Tanah Datar, mereka lalu pergi ke arah Bukittinggi membangun daerah kedua bernama Agam lalu diberi tanda warna merah sebagai simbol keberanian karena mereka hidup di daerah yang berada diantara Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Setelah itu mereka pergi lagi dan menyebar ke daerah 50 Kota yaitu Lembah Harau yang merupakan daerah yang keras. Mereka menyimbolkan dengan warna hitam  dengan arti “ tak lekang oleh panas  tak lapuk oleh hujan”.

Dalam perkembangannya ada pula orang yang menyamakan simbol warna ini dengan karakter masyarakat yang hidup ditiga tempat tersebut. “ Kuning itu kolot atau sangat menjunjung tinggi adat, sementara merah itu revolusioner  dan pemberani sedangkan hitam itu berarti sangat keras dan teguh” kata Wima.

Lebih lanjut Wilma  juga mencoba memberikan gambaran  karakter  tokoh nasional dengan warna-warna ini seperti  kuning untuk karakter milik Muhammad Yamin yang memang berasal dari Luhak Tanah Datar, warna merah mewakili karakter Muhammad Hatta yang datang dari daerah  Agam, dan warna hitam mewakili karakter Tan Malaka.

Ketiga daerah ini disebut daerah  darek yaitu daerah  asli orang Minangkabau. Diluar daerah tiga warna ini kita disebut sebagai  rantau.  Terdiri dari  rantau darek dan rantau pesisir. Rantau darek biasanya masih berada di dataran tinggi sementara rantau pesisir berada di pesisir atau deket  laut. Wilayah Minangkabau sendiri cukup luas, konon meliputi wilayah Sumatera Barat, sumatera Selatan, Riau, Jambi dan sampai ke Negeri Sembilan Malaysia.  

Tradisi yang berkembang pada wilayah darek dan pesisir juga berbeda. Orang darek itu lebih kaku dan sedikit sekali unsur-unsur dari luar yang masuk sementara orang-orang dipesisir itu lebih banyak interaksinya dengan orang-orang dari luar.  Contoh lainnya, orang darek itu tidak ada tradisi membeli pengantin laki-laki namun apabila kita pergi kedaerah pesisir seperti Pariaman, ketika seorang wanita ingin menikah dengan seorang pria dari status sosial tertentu seperti  Sidi, Sutan, Bagindo atau Marah maka mereka harus membayar atau istilahnya memeberikan uang manjamput.

foto milik: Indonesia.travel
foto milik: Indonesia.travel
Sebetulnya saya sangat menikmati cerita-cerita yang dituturkan oleh Wilma, suaranya empuk seperti layaknya seorang reporter dan cara bertuturnya pun seperti mendongeng. Sayangnya saya tidak memiliki waktu banyak untuk berkeliling lebih lama di Istana Basa Pagaruyung karena jadwal perjalanan #PesonaMinang ini memang cukup padat. Saya pun berpamitan dengan Wilma seraya berjanji dalam hati untuk kembali lagi suatu saat nanti.  Jika kamu berkesempatan mengunjungi Istana Basa Pagaruyung jangan lupa untuk mencari mbak Wilma yang akan menceritakan banyak kisah untuk kamu.

nb: Tulisan ini dibuat berdasarkan perjalanan saya bersama Pesona Indonesia pada 5-9 Agustus 2016. Cerita bersumber dari penuturan pemandu wisata di lokasi.  Foto Dokumen Pribadi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun