Mohon tunggu...
Suci Rifani
Suci Rifani Mohon Tunggu... Socmed Officer -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Cerita dari Istana Basa Pagaruyung

31 Agustus 2016   12:06 Diperbarui: 31 Agustus 2016   12:21 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

singasana
singasana
Wilma kemudian meminta saya untuk melihat kesekeliling ruangan, ia meminta saya memperhatiakan dengan seksama 72 tiang penyangga istana. “Jika kita perhatikan tiang-tiang dalam dan luar istana ini tampak miring seperti lambung kapal yang memanjang.” Ujar Wilma. Struktur istana ini memang didisain miring, setiap tiang ditarik ke arah yang berbeda yaitu utara, selatan, timur dan barat.

Dari 72 tiang hanya satu yang tegak lurus dan berada tepat ditengah ruangan lalu dilapisi kain berwarna kuning . Ini adalah tiang pertama yang didirikan saat istana dibangun dan disebut sebagai tonggak tuo. Tiang tersebut sekaligus merupakan simbol peran perempuan sebagai pewaris dan pemelihara harta, itulah juga kenapa singgasana ibu raja berada tepat di tengah ruangan.

 Tiang yang lainnya adalah simbol pria, pria sebagai pemimpin dimasyarakat yang akan memperkuat kehidupan dan struktur masyarakat karena memang fungsi asli tiang-tiang yang miring ini adalah untuk memperkokoh struktur bangunan  agar tidak rusak  atau roboh apabila terjadi gempa bumi. Seperti diketahui bahwa dataran tinggi sumatera dilewati oleh The Great Sumatran Fault, penyebab gempa pun tidak hanya di darat tetapi juga di laut, dengan beradaptasi dengan alam sesuai dengan filosofi hidup alam takambang jadi guru maka terciptalah struktur seperti ini.

  Setiap tiang dibangun tanpa paku dan tanpa beton, hanya menggunakan pasak dan ikat saja. Kelebihan lainnya adalah setiap tiang berdiri di atas batu sandi, tidak dikubur didalam tanah sehingga nanti jika terjadi tremor akibat gempa bumi, tidak ada kecenderungan rumah akan roboh ke sisi manapun.

Tiang penyangga
Tiang penyangga
“Ini mirip seperti jika kita berdiri berempat lalu saling berpegangan tangan dan merebahkan badan ke belakang secara bersamaan,  kita kan tidak jatuh.” Lanjut Wilma.  Berbeda dengan struktur tiang yang tegak lurus dan dibangun dengan paku serta beton yang cenderung kaku dan mudah patah apabila terjadi gempa.  Kehebatan struktur penyangga istana Pagaruyung  membuat beberapa ahli dunia penasaran dan mengirimkan mahasiswanya untuk datang dan melakukan penelitian.

Di dalam ruangan istana terdapat banyak warna yang muncul dari kain/tirai yang menjadi ornamen. Saya sempat bertanya adakah pengaruhnya warna-warna ini  terhadap filosofi istana. Wilma  menerangkan bahwa memang ada beberapa warna yang memiliki arti khusus yaitu hitam dan kuning. Warna hitam adalah warna yang biasanya digunakan oleh pemuka adat dan bangsawan itulah kenapa warna yang menghiasai anjuang Rajo Babandiang adalah warna hitam. 

Tepat di depan anjuang Rajo Babandiang ini terdapat patung yang melambangkan raja, ibunda raja dan datuk atau penghulu  yang kesemuanya memakai baju berwarna hitam.  Konon salah satu versi mengenai sejarah perang paderi mengatakan bahwa kelompok yang bertikai bukan disebut sebagai kelompok adat dan agama tetapi mereka disebut sebagai orang  hitam dan putih. Orang putih adalah orang paderi yang melambangkan diri mereka dengan pakaian serba putih.

 Orang hitam mewakili kelompok adat karena mereka mengenakan pakaian serba hitam. Selain hitam ada juga warna kuning yang digunakan untuk anjuang Perak tempat ibuda raja sebagai simbol adat. Warna-warna lain di dalam istana tidak terlalu berpengaruh, justru warna pada bendera yang berkibar di depan istana lah yang berpengaruh.

Kamar-kamar
Kamar-kamar
“Warna bederanya mirip yah dengan bendera Jerman” seloroh saya dengan nada bercanda. “ Oh itu justru warna bendera asli Minangkabau dan ada hubungannya dengan legenda Tambo, pernah dengar?” Tanya Wilma.  Saya menggeleng dan Wilma pun menceritakan mengenai legenda Tambo.

Menurut cerita  turun temurun  disebutkan bahwa nenek moyang orang minang adalah 3 orang bersaudara. Saudara tertua adalah Maharaja Ali, yang kedua Maharaja Depang dan yang terakhir Maharaja Diraja. Ketiganya adalah putra dari Sultan Iskandar Zulkarnaen dari daerah yang sangat jauh. 

Mereka berlayar dengan tiga kapal, kemudian  melihat puncak gunung Marapi yang jika dilihat dari kejauhan ukurannya sebesar telur itik.  Ketiganya pun memutuskan menambatkan kapal dan beristirahat di sana. Akan tetapi terjadi sebuah keributan diantara ketiganya, sehingga membuat Maharaja Ali dan Maharaja Depang memutuskan untuk meninggalkan daerah ini, sedangkan Maharaja Diraja tetap tinggal di puncak gunung Marapi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun