Dug dug dug suara beduk yang bertalu membuat senyum kami mengembang. Akhirnya setelah seharian, kami bisa menyegarkan kembali tenggorokkan dengan segelas air dan seporsi nasi kucing. Sebuah restoran dengan konsep angkringan di Jalan Malioboro adalah tempat yang kami pilih untuk sekedar membatalkan puasa. “So what next” Kata Bena kepada saya.
“Selesaikan makan secepatnya dan kita jalan lagi menuntaskan daftar yang sudah kamu buat” jawab saya. Tanpa banyak bicara kami segera menyelesaikan santap malam dan tak lupa menunaikan sholat magrib secara bergantian.
Lepas membatalkan puasa, saya segera menarik tangan Bena menyebrang jalan untuk menuju halte bus TransJogja. Sayangnya halte yang berada tak jauh dari Benteng Vredebug tersebut penuh dengan orang yang mengantri. Antrian yang mengular dan semakin sedikit waktu yang kami miliki membuat saya memutuskan membatalkan rencana untuk menggunakan bus TransJogja. Saya menarik tangan Bena lagi, sambil berlari kecil kami berusaha mencari taksi yang kosong, memberhentikannya dan naik. “Candi Prambanan pak, dan kami butuh cepat” Kataku kepada Bapak Supir.
Jogja adalah kota yang tak pernah membosankan untuk saya kunjungi, namun kali ini misi saya adalah menemai Bena (teman saya) untuk menjelajahi Jogja. Bena telah membuat sebuah daftar tempat-tempat yang ingin ia kunjungi dan Prambanan di malam hari ada di dalam daftar tersebut.
Jalanan yang sangat bersahabat membuat kami tiba lebih cepat dari waktu yang saya perkirakan. Segera kami menuju loket dan membeli 2 tiket kelas II lalu berjalan mendekati arena pertunjukkan. Kami disambut 2 penari dengan pakaian khas wayang dan seorang Hanoman, saya pun segera menghampiri dan berfoto bersama. Perjalanan kami lanjutkan menuju arena pertunjukkan dengan terlebih dahulu membeli bekal makanan kecil dan minuman di kios yang disediakan tepat di luar arena pertunjukkan. Ada kursi dan meja kecil yang juga di sebar sehingga penonton dapat makan dan minum sebelum pertunjukkan dimulai. Ada pula dua buah baliho besar yang berisi gambar Rama dan Shinta namun dengan bagian kepala berlubang, jadi penonton dapat berdiri di belakang baliho meletakkan kepala di lubang dan berfoto ala Rama dan Shinta.
Pertunjukkan dibuka dengan masuknya para pemain gamelan dan sinden yang bernyanyi dalam bahasa Jawa. Lalu masuklah delapan orang penari Pria yang mengawal tujuh penari wanita yang membawa beberapa sesajian. Mereka menari dengan sangat serasi, para penari pria menari dengan gagah sementara yang wanita sungguh gemulai. Adegan diakhiri dengan bergabungnya para penari wanita sebagai sinden sementara sesajian diletakkan di dekat gamelan, sementara penari pria pun keluar panggung. Pembawa acara lalu muncul dan menjelaskan pertunjukkan malam itu.
Cerita berawal ketika Rama dan Shinta harus menerima kenyataan diasingkan di sebuah Hutan. Laksmana sang adik yang setia ikut menamani mereka. Adegan menari antara Rama dan Shinta cukup lama namun berkesan sangat romantis. Adegan lalu berganti, pasukan para raksasa masuk ke panggung dan mulai menari. “ah ini pasti di Alengka” kata saya pada Bena. Alengka adalah istana tempat tinggal para Kurawa. Mereka tengah mengatur rencana untuk menculik Shinta. Lucunya saya melihat banyak penari cilik yang berperan sebagai pasukan kurawa.
Rama yang tak kunjung kembali membuat Shinta menjadi khawatir terlebih dengan terdengarnya jeritan minta tolong dari Rama. Shinta pun mendesak Laksmana untuk segera menolong kakaknya. Laksmana yang semula bersikeras menjaga Shinta sesuai pesan kakaknya kemudian meninggalkan Shinta di tengah hutan untuk mencari Rama. Sayangnya, teriakan minta tolong tersebut sebenarnya berasal dari Marica yang menyamar sebagai Kijang. Sepeninggal Laksmana, Rahwana datang dan memaksa Shinta untuk menjadi istrinya. Namun hanya penolakan yang didapat oleh Rahwana. Marah karena penolakan, Rahwana pun membawa pergi Shinta dengan paksa. Sedangkan Shinta yang tidak bisa berbuat apa-apa berusaha meninggalkan petunjuk dengan menjatuhkan perhiasannya.
Matinya Jatayu menandakan berakhirnya babak ke-2 dalam Sendratari yang saya tonton. Panggung sepi kembali namun tidak berlangsung lama. Adegan dalam babak ke-3 dimulai dengan masuknya pasukan Kera dibawah pimpinan Sugriwa. Pasukan kera menari dengan lincahnya, disaat itu pula Rama dan Laksamana bertemu dengan para pasukan kera secara kebetulan saat keduanya tengah melakukan perjalanan untuk menyelamatkan Shinta. Sugriwa yang melihat Rama langsung menghampiri dan menyapa Rama. Sugriwa bercerita mengenai penderitaannya karena kerap dianiaya oleh saudara kembarnya Subali. Ia meminta pertolongan Rama untuk menaklukkan Subali. Sebagai gantinya, Sugriwa akan membawa pasukan Kera untuk membantu Rama mencari Shinta. Pertempuran sengit yang terjadi antara Sugriwa dan Subali pun berakhir saat anak panah Rama menembus tubuh Subali.
Terbunuhnya Subali menjadi pertanda berakhirnya pertunjukkan Sendratari Ramayana. Semua pemain muncul dan memberikan kesempatan untuk penonton bisa berfoto, saya pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera saya turun kearah panggung dan ikut mengantri, sayangnya waktu yang disediakan untuk berfoto tidaklah lama sehingga saya pun harus gigit jari.
Saya dan Bena lantas keluar menuju pos pengamanan untuk menunggu taksi yang sudah kami pesan sebelumnya. Namun ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak saya. “ Shintanya gimana yah ben, kok gak jelas akhirnya” tanyaku pada Bena. Alih-alih menjawab, Bena hanya menggelengkan kepala dan malah mengajukan pertanyaan lain, “ Kok perangnya hanya begitu saja yah, perang Rama dan Rahwana nya malah gak ada”
Tak mau pulang dengan rasa penasaran kami pun bertanya dengan petugas keamanan. Ternyata pertunjukkan Sendratari Ramayana yang kami saksikan malam itu adalah episode pertama dari rangkaian 4 episode cerita Rama dan Shinta. Episode pertama dengan judul “Hilangnya Dewi Shinta” memang selesai saat Rama berhasil membantu Sugriwa. Menurut Bapak Satpam dari ke-empat episode Sendratari Ramayana yang paling seru adalah episode ke-2 dengan judul Hanoman Sang Duta namun dikenal sebagai Hanoman Obong. “ Nanti kalo Hanoman Obong itu Hanomannya dibakar, ada apinya beneran. Mbak kembali saja besok malam untuk menonton episode 2” Katanya. Mendengar hal tersebut kami hanya tersenyum sambil menggeleng mengingat rangkaian acara komunitas yang sudah menanti keesokan malamnya.
Empat episode Sendratari Ramayana bukan berarti kita harus menonton selama 4 malam berturut-turut untuk bisa mengerti cerita. Ada pembawa acara yang akan bercerita, ada brosure yang disediakan untuk kita baca, dan percayalah gerakan memukau yang dipertunjukkan oleh para penari sudah cukup menuntaskan rasa ingin tahu. Namun berita baiknya, untuk kamu yang penasaran ada jadwal pertunjukan khusus yang menamampilkan keseluruhan cerita secara utuh. Maksudnya gerakan dan cerita 4 episode dipadatkan menjadi 1 episode dengan durasi pertunjukkan 2 jam. Pertunjukkan satu cerita utuh mulai dipentaskan sejak tahun 1996.
Pertunjukkan Sendratari Ramayana yang diadakan di panggung terbuka biasanya hanya digelar saat musim kemarau yakni antara bulan Mei hingga Oktober. Pertunjukkan ini dilaksanakan malam hari yaitu antara jam 19.30 hingga 21.30. Sementara tiket bisa dibeli langsung di loket yang tersedia di lokasi. Selain tiket, pihak penyelenggara pun menyediakan transportasi untuk membantu penonton yang akan kembali ke pusat kota Yogyakarta. Jadi kita hanya tinggal membeli tiket transportasinya saja. Untuk jadwal dan pemesanan tiket bisa menghubungi PT. Taman Wisata Candi Borobudur,Prambanan dan Ratu Boko di nomor telepon (0274) 496408.
“Kegunung,kelaut,ngegembel adalah pencarian jati diri sebagai anak manusia, tapi untuk mencari jati diri sebagai anak bangsa, mulailah dengan belajar sejarah dan budaya”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H