Mohon tunggu...
Suci Amalia
Suci Amalia Mohon Tunggu... Relawan - Student of Islamic Studies Faculty UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

I'm Learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Buku "Selimut Debu" Karya Agustinus Wibowo

25 Februari 2021   23:22 Diperbarui: 25 Februari 2021   23:48 1988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul : Selimut Debu
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Genre : Traveling, Sosial
Terbit : April 2013
Halaman : xiv + 461
Ukuran : 13,5 x 20 cm

Buku ini menceritakan tentang perjalanan seorang backpacker Agustinus Wibowo di Afghanistan. Ia berkelana ke setiap sudut negeri perang ini. Mulai dari Kabul, ibu kota Afghanistan yang gemerlap. Dilanjutkan ke Bamiyan, kota suci peninggalan Buddha. Lalu Kandahar, wilayah konflik markas Taliban. Setelah itu? Masih banyak tempat lagi yang ia kunjungi.

Dilihat dari segi keamanan, bisa dibilang Afghanistan bukanlah wilayah yang aman dikunjungi turis. Ranjau di mana-mana, bom meledak setiap hari, tak heran setiap harinya pastilah ada warga yang menjadi korban. Mereka banyak yang cacat karena ledakan ranjau ini, angkanya menyentuh 8% jumlah populasi.

Meskipun begitu, Agustinus terus menelusuri lokasi penting di Afghanistan dengan manaiki kendaraan apa saja yang lewat, truk, falang coach, bahkan traktor. Bermacam jenis jalanan juga dilewati dengan kendaraan yang terpogoh-pogoh, jalanan berbatu, sungai deras, padang berdebu, dan pegunungan curam.

Kendaraan-kendaraan ini mengantarkannya ke setiap daerah yang mempunyai karakteristik warga yang berbeda. Ada satu yang menarik bagi penulis, yaitu tentang perempuan Afghanistan. Mayoritas perempuan di sini berbalut burqa, sebutan pakaian wanita yang menutupi seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang tersisa hanyalah lubang-lubang jaring di depan mata agar mereka tetap bisa melihat. Warna burqa perempuan di sini sama, biru. Hal tersebut membuat identitas mereka anonim, semuanya terlihat sama.

Selain itu, Agustinus membawa pembaca melihat realita kehidupan di negeri miskin ini. Ada warga yang baik hati memberikan makanan untuk musafir, tetapi ada juga yang berbuat pelecehan seksual. Tak disangka, di balik debunya, negeri ini mempunyai kultur bachabazi, hubungan gay. Sebagian pria di sana tertarik dengan sesama jenis,berish tepatnya. Berish adalah sebutan untuk anak kecil yang tak berjenggot. Agustinus pernah menjadi korban pelecehan seksual ini di pasar, pun ketika di Maimana.

Dalam perjalanan ini juga, Agustinus berusaha mengenal setiap penghuni Afghanistan. Mulai dari penduduk Kabul hingga pendukung Taliban, pejuang gerilya, tentara Amerika, dan para ekspatriat. Dia berusaha mengenal setiap suku di negeri ini. Mulai Hazara yang berwatak keras dan sering memberontak. Pasthun, yang konservatif dan patuh adat, basis Taliban. Islamili, yang cenderung bebas dan pro komunis. Wakhi, saudara orang-orang Chapursan di Pakistan. Bukannya saling menghormati, suku-suku ini tak jarang memandang rendah suku lainnya, saling menghina dan menuduh.

Itulah wajah Afghanistan. Memang, kalau dibandingkan dengan negara tetangganya seperti Iran, kedua negara ini bagaikan dunia paralel yang mempunyai nasib berbanding terbalik. Iran tentu lebih maju daripada Afghanistan. Banyak orang Afghan mengungsi di sana dan bekerja kasar agar tetap bisa melanjutkan hidup. Hal ini dianggap lebih baik daripada bergeliat dengan debu Afghanistan yang tak mendatangkan pundi-pundi uang.

Setelah dari Afghanistan, perjalanan selanjutnya akan dilanjutkan ke Tajikistan dan negara-negara berakhiran --stan lainnya. Do'akan supaya penulis bisa membeli bukunya. Jika tidak, semoga kakaknya yang berada di Semarang membelinya, lalu meminjamkan kepada penulis, sama seperti yang ia lakukan saat ini.

Kelebihan:

Tak hanya menceritakan detail segala aspek tentang Afghanistan, Agustinus Wibowo juga menyelipkan beberapa foto perjalanannya selama di sana. Foto-foto ini membuat pembaca bisa membayangkan realita kondisi yang terjadi di sana.

Kekurangan:

Agustinus mengunjungi Afghanistan beberapa kali. Sayangnya cerita ini tidak dijelaskan secara runtut. Hal ini membuat pembaca kadang mengalami kebingungan, apakah ini cerita beberapa tahun silam atau sekarang.

Terima kasih sudah membaca.

Semoga bermanfaat

Happy Reading,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun