Maklum, di mana-mana rasa menjadi korban (playing victim) telah menjadi series panjang yang meresahkan, dan semakin kuat saat pegawai dengan jabatan tinggi merasakan hal yang sama. Setiap pihak memiliki alasannya, dan setiap alasan menjadikan pihak lainnya sebagai sandaran persoalan. Rasa ini semakin kuat dan masing-masing pihak tergoda untuk memaksakan kehendaknya.Â
Lalu, kemana arah tulisan ini di sematkan? Apakah sedang memprovoksi agar kita mengkritik sistem yang sedang diimplementasikan? Oooo, tentu tidak. Seluruh pihak yang saya sampaikan sedang menerima kompensasi beban kerja dari sebuah kebijakan, meski tidak sekaligus dengan kompensasi tunjangannya. Jika hanya meminta tumbal pekerjaan, memang pegawai dengan jabatan fungsional terendah layak mendapatkannya, cukup dengan alasan "menambah pengalaman". Menganggap diri sebagai tumbal pun sebaiknya juga perlu merelakan, supaya kelak setelah menjadi pimpinan, mampu menerapkan pengalamannya untuk mengatasi masalah yang sudah terjadi saat ini.Â
Saya juga tidak dengan sengaja mengajak tumbal pekerjaan untuk menolak beban tambahan di setiap keputusan, apalagi sinis pada kebijakan dan menyebutnya dikorbankan oleh kekuasaan. Sama sekali tidak. Apalagi sinis pada jabatan fungsional yang lebih tinggi, dengan kemewahan tunjangan kinerjanya tanpa beban kerja yang berarti. Saya hanya ingin mengajak pembaca menghargai semuanya sekuat hati. Meski ada hati yang tak rela.Â
Saya hanya sedih, karena di antara jenjang jabatan fungsional yang saat ini berlaku di instansi pemerintah,ada jabatan struktural sebagai penanggung jawab kegiatan semua pekerjaan. Jadi, siapapun kita, jika terlena dengan posisi dan justru menikmati segala kemudahan tanpa konsekuensi beban pekerjaan yang sesuai tunjangannya, sebutan apa yang cocok untuk disematkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H