Mohon tunggu...
Udin Suchaini
Udin Suchaini Mohon Tunggu... Penulis - #BelajarDariDesa

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mitigasi Bencana Alam di Desa

14 Desember 2016   15:21 Diperbarui: 14 Desember 2016   15:44 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gempa di Aceh, salah satu dari berbagai jenis bencana yang terjadi di Indonesia. Menyisakan duka mendalam bagi para korban, sekaligus menjadi bencana besar di Tahun 2016. Indonesia sebagai negara yang dikepung oleh bencana, menuntut kesiapan pemerintah mulai dari pemerintah pusat sampai dengan wilayah administrasi terendah, serta kesiapan masyarakat yang selalu siaga dengan kejadian bencana yang tiba-tiba.

Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan  mengganggu  kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh  faktor alam dan/atau  faktor  nonalam  maupun  faktor  manusia  sehingga  mengakibatkan  timbulnya  korban  jiwa  manusia,  kerusakan  lingkungan,  kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tugas pemerintah adalah berkewajiban melakukan serangkaian tindakan penanggulangan bencana. Kegiatan tersebut dimulai dari kegiatan pencegahan, kesiap-siagaan, peringatan dini, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. 

Penanganan kejadian bencana, dilaksanakan secara berjenjang, dimulai dari wilayah administrasi terndah, sampai kejadian terparah ditangani langsung oleh pemerintah Pusat. Itu semua tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Kejadian Bencana Alam di Indonesia

Wilayah negara yang berlokasi di cincin api, sangat rewan terhadap kejadian bencana. Resikonya diterima semua masyarakat di wilayah yang terdampak bencana. Di satu sisi ada beberapa bencana yang sebenarnya dapat ditanggulangi lebih awal, sisi lain bencana yang tidak bisa diduga sebelumnya. 

Bencana yang mampu ditanggulangi lebih awal biasanya disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendiri. Banjir dan banjir bandang, lebih banyak disebabkan karena sanitasi yang buruk dan tidak adanya resapan air. Penanaman beton-beton di kota besar, pembalakan lahan, penutupan setu/embung daerah resapan air lain, pembuangan sampah di sungai/selokan, dan lain sebagainya. 

Pergerakan banjir satu dasawarsa terakhir semakin meluas dampaknya. Lima belas tahun yang lalu BPS merekam sejumlah 12.205 desa terdampak banjir, dan pada tahun 2014 berdampak hingga 16.830 desa. Itu belum termasuk desa yang mengalami banjir bandang pada 2014 tercatat sebanyak 1.478 desa. Selain banjir, tanah longsor juga lebih banyak disebabkan karena masyarakat itu sendiri.

Pembalakan yang banyak terjadi di hutan-hutan, gunung menjadi gundul dan bukit-bukit tidak punya mantel alam, mengakibatkan air hujan terus-menerus bergerak menggerus tanah. Peningkatan kejadian tanah longsong, hampir dua kali lipat berdampak dari limabelas tahun yang lalu. Pada tahun 2002, tanah longsor berdampak pada 4.223 desa, kejadian tahun 2014 berdampak 7.821 desa. 

Yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana kemauan kita untuk memperbaiki diri. Karena penghijauan yang digalakkan, bisa jadi belum sebanding dengan pembalakan hutan yang dilakukan. Wilayah yang terdampak bencana ini tidak banyak berubah dari tahun ke tahun.

Berikutnya adalah bencana yang datang tiba-tiba karena kondisi alam. Kejadian angin puyuh, gempa bumi, erupsi gunung berapi, gelombang pasang, pasti dampaknya bisa diminimalisir. Kejadian bencana ini di beberapa wilayah dibuat sistem peringatan dini bencana. Di sekitar gunung merapi jawa tengah, ada pos pantau kawah merapi. Di beberapa pesisir pantai, ada indikator gelombang pasang, bahkan di Aceh sudah ada sistem peringatan dini tsunami. 

Gempa bumi seperti yang terjadi di Aceh (7/12/2016) memiliki perlakuan yang berbeda. Penanganannya disiapkan untuk tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Beberapa diantaranya bisa disiapkan oleh masing-masing rumah tangga, diantaranya rumah tahan gempa, perlengkapan P3K, tabung pemadam, dan sejenisnya. Lainnya disiapkan untuk komunitas, lingkungan.

Perlengkapan keselamatan di lingkungan sebagai kewajiban pemerintah, penyiapan fasilitas keselamatan (misalnya, perahu karet, tenda, masker, dll), jalur evakuasi, seharusnya tersedia di wilayah administrasi terendah, yaitu desa. Sampai saat ini, desa-desa yang telah memiliki fasilitas/upaya antisipasi/mitigasi bencana alam belum banyak. 5.942 desa telah sistem peringatan dini bencana alam, 559 desa memiliki sistem peringatan dini tsunami, 1.548 desa memiliki perlengkapan keselamatan, 4.911 memiliki desa memiliki jalur evakuasi pada tahun 2014. Bisa dikatakan belum semua wilayah desa, siap menghadapi bencana.

Jejak Bencana

Bencana alam berdampak di desa dan menyisakan jejak-jejak yang membekas bagi segenap masyarakatnya. Di Sinabung, ada desa yang telah ditinggal penghuninya. Di Lereng merapi, ada desa yang berkali-kali terdampak bencana, penduduknya selalu bertahan, meskipun selalu mengungsi berulang-ulang. Selain itu, desa-desa terdampak banjir yang setiap tahun menjadi langganan tetap. Betapa hebatnya masyarakat Indonesia, tanpa kemampuan mitigasi yang mumpuni, tetapi mampu bertahan terhadap segala bencana yang sudah langganan terjadi.  

Pemerintah telah berupaya sedemikian rupa untuk menanggulangi berbagai macam bencana. Mulai dari penyiapan gorong-gorong, memperbanyak daerah resapan, penghijauan dan proyek-proyek lain atas nama penanggulangan, tetapi sepertinya tidak sebanding dengan konversi lahan yang terjadi.

Ketidakmampuan air menyerap di tanah, tanggul sungai yang dilangkahi karena endapan sungai selalu meningkat. Pembersihan sampah tidak setara dengan masyarakat yang membuangnya. Berlanjut pada penghijauan tidak sebanding dengan balakan lahan, longsor dan retakan tanah yang tak dapat dibendung. Bencana lebih banyak terjadi karena ulah manusia. 

Pemetaan Penanggulangan 

Pertama, pemetaan perilaku manusia harus diperbaiki demi kemaslahatan anak cucu. Keberadaan masyarakat yang membuang sampah sembarangan, kebiasaan membakar lahan, membunuh rumut dengan pupuk cair, pembuangan limbah/sampah di sungai, pembalakan hutan. Semua itu berdampak jangka panjang. 

Tanah longsor di beberapa wilayah, seperti Garut di Jawa Barat dan Karanganyar di Jawa Tengah karena kesalahan masa lalu. Dampaknyalah yang dirasakan sekarang. Penghijauan kembali merupakan jalan yang bisa kita tempuh saat ini, dan hasilnya akan dipetik anak cucu kita kelak.

Kedua, pemetaan wilayah penanggulangan bencana. Kejadian bencana cenderung tidak mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Wilayah kejadian bencana juga tidak banyak berubah, bahkan bertambah. Desa-desa pesisir rawan terjadi abrasi, desa-desa di lereng rawan longsor, desa tepi laut rawan gelombang pasang dan tsunami, desa di gunung rawan dampak erupsi. Penguatan-penguatan mitigasi bisa dilakukan di sini.

Ketiga, pemetaan struktur demografi sebagai persiapan tanggap bencana. Menyiapkan segala kebutuhan dasar yang bagi kelangsungan hidup masyarakat terdampak bencana. Kebutuhan akan air bersih, peralatan MCK, kebutuhan makan selama di pengungsian, sarana ibadah, kebutuhan anak sekolah, dan masih banyak lagi. Rehabilitasi desa pasca gempa tidak kalah penting, percepatan kalkulasi dampak bencana menjadi pripritas utama dalam rangka kemandirian masyarakat, terutama dalam hal ekonomi. 

Masyarakat tetap bisa bekerja, anak-anak tetap bisa bersekolah, ibu-ibu tetap bisa memasak didapurnya sendiri, orang tua tidak khawatir terhadap aktifitasnya. Post trauma syndrome juga secepatnya dapat dihilangkan. 

Kegiatan penanggulangan bencana akan menjadi percuma apabila hanya digalakkan pada saat terjadinya bencana. Kemampuan penyelamatan diri masing masing warga disiapkan melalui pelatihan terus menerus. BNPB Daerah menjadi ujung tombak dalam menyiapkan warga di wilayahnya. Pelatihan dan himbauan permanen disiapkan dan dipantau secara berkala. 

Kearifan Lokal

Masyarakat Indonesia memiliki cara tersendiri dalam menanggulangi bencana, bahkan menyingkirkan hujan-pun ada pawangnya. Warga di tingkat desa memiliki pelbagai cara dalam menghadapi dan mengantisipasi bencana. Kegiatan tolak bala dalam menjauhkan malapetaka, bencana, gangguan, dan kejadian buruk lain. Upaya ini bukan sekedar masalah mistis, yang perlu kita lihat adalah sifat proaktif dari warga sendiri. 

Masyarakat desa memiliki sifat yang kuat terhadap kegiatan bersama, bahkan untuk pesta hajatan pribadi pun dilakukan bersama-sama. Sikap reaktif antar individu di dalam kelompok ini dapat dimanfaatkan pemerintah dalam melakukan penyerapan berbagai kebijakan. Contohnya, adat sasi di wilayah Papua dimanfaatkan untuk menjaga alam dari penangkapan ikan yang berlebihan. 

Budaya lokal begitu melekat dalam diri masyarakat desa. Begitu kuatnya gotong royong dan rekatnya kehidupan sosial masyarakat desa. Prosesi tolak bala dan ritual lain, bukan sekedar kegiatan magis semata. Cara, upaya, ritual menjaga alam warisan dari leluhur yang sungguh luar biasa. @suchaini 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun