Mohon tunggu...
Udin Suchaini
Udin Suchaini Mohon Tunggu... Penulis - #BelajarDariDesa

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ngudud (Merokok)

19 Agustus 2016   08:17 Diperbarui: 19 Agustus 2016   08:27 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi masyarakat Jawa, ritual ngudud (baca merokok) dimanfaatkan untuk menganastesi (dijadikan sebagai obat penenang) untuk otak dari segala kejenuhan, serta tekanan hidup yang dihadapi. Kopi plus cemilan masa lalu (singkong bakar, ubi rebus, dan sejenisnya) menjadi sandingan yang pas bagi mereka yang melakukan ritual ini.

Masa lalu, prosesi ngudud tidak mengenal kretek atau filter, keduanya muncul di era industrialisasi padat karya. Bahkan, sampai sekarang, industri rokok belum bergerak menjadi industri maju yang berbasis mesin, tetapi masih mengandalkan tenaga manusia di dalamnya. Sebelum ada rokok hasil industri, masyarakat kita terbiasa melinting rokok sendiri (tingwe). Sebagai pembungkus tembakau, ada yg  menggunakan klobot (kulit jagung dan daun tembakau utuh), ada pula yang menggunakan kertas khusus pembungkus tembakau. Tembakau dan rempahnya ditaburkan diatas pembungkus, kemudian dilinting dengan tangan, jadilah udud (baca rokok). Di banyak desa di jawa, saya masih bisa menjumpai orang tua yang membuat rokoknya sendiri dengan cara ini.

Sekarang, rokok terbungkus rapi, dibalut kertas khusus, di packing rapi, dan akhirnya di jadikan  pendapatan negara dalam bentuk cukai. Dan konon kabarnya PPN hasil tembakau sebesar Rp 193,6 triliun, selama tahun 2015. Belum termasuk industri rokok underground yang dibuat di industri rumah tangga tidak menempelkan cukai dibungkusnya. Sebut saja rokok dengan merek gentong, kerbau, dan merek lokal lain. Konsumen rokok mulai dari kelas menengah, yang rentan menjadi miskin akibat pengeluaran dalam bentuk rokok, dan penyakit akibat mengkonsumsinya (hanya asumsi saya kalau rokok menjadi penyebab kemiskinan).

Mungkin, dengan menaikkan harga rokok menjadi 50 ribu, diharapkan konsumsi rokok menjadi menurun, sehingga kualitas kesehatan dan kerentanan menjadi miskin semakin berkurang. Bila memang benar terjadi demikian, (menurut saya) industri padat karya besar siap-siap gulung tikar, pengangguran meningkat, petani tembakau akan merubah fungsi lahan, akhirnya pendapatan negara juga akan menurun, akhirnya kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik. 

Akan tetapi, apabila konsumsi rokok tidak berubah, industri rokok rumah tangga yang tidak bercukai meningkat, penjualan tembakau curah meningkat, petani tembakau kebanjiran order dari tengkulak, produsen kertas tembakau dan rempah-rempah campuran tembakau (cengkeh dan sejenisnya) juga meningkat. Dampaknya, batas tar dan nikotin tidak berharga lagi bagi perokok, tak ada lagi himbauan rokok menyebabkan kanker, bahkan kematian. Pelaku (konsumennya) masyarakat rentan yang melakukan ritual ngudud, dan menganggap rokok sebagai obat penenang dari segala tekanan hidup yang dihadapi.

-Saya bukan pendukung rokok dan bukan pula orang yang terlibat didalamnya-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun