Tumpahkan saja bila itu dipandang perlu, mengapa musti ragu
Apalagi di kala ruang bicara sudah kian semrawut, rumit akut
Teramat sulit untuk dipilah mana yang jernih mana yang keruh
Semua serba karut-marut
Namun cobalah untuk tak menambah menjadi semakin kusut
Tumpang tindih, membaur dan bergumullah hitam-putih jadi abu-abu
Mengerucut jadi acuan meski tanpa sandaran kepastian
Dan terbuailah kita, liar lepas kendali tak lagi tunduk
Pada kehendak semesta alam ...
Kecerdasan hanya dipandang dari lihainya bersilat lidah
Memainkan kata dan istilah yang tak pernah mewujud pada karya nyata
Mengambang sawang, meliuk-liuk di ruang hampa
Laksana menangkap angin, suguhkan ilusi dan halusinasi
Hanya tebar citra pesona, gulirkan fatamorgana
Anehnya, betapa banyak pula yang mengamini
Bahkan memuja dan menjunjung tingi-tinggi
Melampaui batas antara pencipta dan yang dicipta
Tidaklah diciptakan manusia dengan segala karunia yang dilimpahkan-Nya
Kecuali hanya sebagai abdi kehidupan yang telah ditentukan Tuhan semesta alam
Dalam hukum alam, dalam hukum Tuhan
Kutulis sajak ini bagi siapapun yang masih mau peduli
Dan berjanji untuk setia kepada Sang Ilahi
Biarkanlah mereka terbuai dalam ayunan, bujuk rayu menghembus membius
Oleh bisikan setan, membusung dada sebagai sang penguasa
Menggerus kuasa Sang Ilahi
Aku sendiri ...
Tak peduli pada caci maki, benci ataupun dipuji
Karena aku tak menginginkannya
Lalu, apa sesusungguhnya?
Hanya upaya dari apa yang kupunya sebagai karunia-Nya
Berseru, mengingatkan bahwa kita dicipta hanya sebagai hamba
Bukan sebagai penguasa di antara sesama ...
*****
Kota Malang, Oktober di hari ketujuh, Dua Ribu Dua Puluh Empat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H