Mohon tunggu...
sucahyo adiswasono@PTS_team
sucahyo adiswasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Hanya Seorang Bakul Es, Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang. Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Merdeka atau Mati

29 Juli 2024   17:03 Diperbarui: 29 Juli 2024   22:24 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sesuatu yang rentan pada ketersinggungan dan ketidaknyamanan, barangkali akan lebih aman bila dijadikan nyanyian dan lawakan," ungkap si Nohes pada suatu ketika, saat bercengkerama dengan si Jhon dan si Paneri.

"Para pejuang  dan pahlawan kemerdekaan bangsa Indonesia Nusantara saat berjuang demi mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negeri ini, terkenal dengan pekik dan semboyannya, 'merdeka atau mati', sebagai kata-kata yang berjiwa semangat untuk melawan imperialisme-kolonialisme yang hendak kembali bercokol di bumi pertiwi," sahut si Jhon.

"Ya, begitu bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, kemudian mengesahkan Pancasila beserta UUD 1945 sebagai pondasi bangunan negara-bangsa menuju tatanan kehidupan bernegara-berbangsa di segala aspek kehidupannya, 18 Agustus 1945, dalam proses perjalanannya masih menemui aral rintangan yang menghadang. Situasi dan kondisi Indonesia Nusantara di awal pertumbuhan sebagai negara-bangsa yang baru merdeka itu, hendak dimanfaatkan oleh Belanda untuk kembali menjajah, menlanjutkan lagi setelah 350 tahun mencengkeram Indonesia Nusantara ini," timpal si Paneri.

"Studi historis mengungkap bahwa Belanda hendak kembali ke Indonesia Nusantara dengan membonceng tentara sekutu yang dimotori oleh Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di pengasingan, Netherlands Indies Civil Administration yang disingkat NICA, dideklarasikan di Bisbane, Australia, pasca Belanda ditaklukkan oleh tentara Jepang," kata si Nohes menyambung narasi si Paneri.

"Peristiwa 10 November 1945 adalah tonggak sejarah yang patut untuk dikenang dan dijadikan pelajaran yang berharga bagi bangsa kita, karena betapa pentingnya mempertahankan kemerdekaan yang telah dinyatakan sebagai berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehingga meskipun masih dalam keterbatasan sarana dan infrastruktur untuk menjadi negara-bangsa yang berdaulat, maka hanya ada dua pilihan yang dihadapi oleh para perintis, pejuang dan pahlawan kemerdekaan bangsa Indonesia waktu itu, yakni merdeka atau mati. 'Sekali, berarti sesudah itu mati', kata penyair Chairil Anwar," ungkap si Jhon.

"Mustinya begitu ya mentalitas para pemegang dan pengendali kebijakan di negeri ini dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia apabila menjiwai semangat yang telah diletakdasarkan oleh para founding father bangsa kita? Artinya, bagaimana seoptimal mungkin menjadi negara-bangsa yang berdaulat dan mandiri di segala bidang, mengikis ketergantungan yang berlebihan kepada negara-bangsa lain. Lha ini, koq terkesan tanpa sedikitpun berpikir akibat dan dampak negatifnya terhadap kelangsungan kehidupan negara-bangsa Indonesia seiring dengan potensi, kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh negeri ini," tegas si Paneri kali ini.

"Bro, apakah situasi dan kondisi di negeri ini sudah tak lagi menjiwai semangat yang telah diletakkdasarkan oleh para founding father dengan motto atau semboyan merdeka atau mati?" Tanya si Nohes kepada si Paneri.

"Ya, sampeyan cerna dan sampeyan analisis sendirilah bagaimana fakta realitanya di segenap sendi kehidupan bernegara dan berbangsa di negeri ini," jawab si Paneri. 

"Maksudnya, Bro?" Tanya si Jhon tertuju kepada si Paneri. 

"Singkat saja ya, Bro? Sekarang, semboyan 'merdeka atau mati' telah bergeser jauh dan berganti menjadi, 'merdeka atau korupsi sampai mati'," jawab si Paneri. 

Si Jhon dan si Nohes pun terperangah menatap kepada si Paneri, tanpa berkata apa-apa lagi ....

*****

Kota Malang, Juli di hari kedua puluh sembilan, Dua Ribu Dua Puluh Empat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun