Mohon tunggu...
sucahyo adiswasono@PTS_team
sucahyo adiswasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Hanya Seorang Bakul Es, Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang. Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komitmen yang Tercedera

26 Juli 2024   03:23 Diperbarui: 26 Juli 2024   08:12 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

"Kemudian, apa dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara - semua buat semua - satu buat semua - semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan ..." (Nukilan pidato Soekarno di Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945).

Sudah dimaklumi bersama bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 yang selanjutnya dirajut dengan membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia (UUD 1945) dengan berdasar kepada Pancasila.

Setelah melalui beberapa proses persidangan, Pancasila akhirnya disahkan pada Sidang PPKI, 18 Agustus 1945. Pada sidang tersebut, disetujui bahwa Pancasila dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara Indonesia yang sah.

Mengapa di usia negara-bangsa Indonesia Nusantara yang sudah memasuki 79 tahun ini, arah dan tujuan yang telah disepakati menurut komitmen bangsa Indonesia, yakni berdasarkan Pancasila beserta UUD 1945 yang bermuara pada "Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" masih belum berwujud nyata dalam tataran praktik di segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa? Sebuah pertanyaan besar yang seharusnya bisa dijawab secara komperhensif.

Berbicara tentang komitmen, maka secara leksikal menurut KBBI adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu; kontrak; tanggung jawab. Dengan demikian maka sebuah komitmen itu sudah sepatutnya dan seharusnya wajib dipenuhi, dipatuhi sebagai keterikatan dan tanggung jawab terhadap apa yang telah dikomitmenkan. Yakni secara kontekstualnya adalah komitmen terhadap bangunan negara-bangsa Indonesia Nusantara yang berdasar, yang berpondasi kepada Pancasila beserta UUD 1945 sebagai dua hal yang tak terpisahkan.

Oleh karenanya, apakah komitmen negara-bangsa Indonesia Nusantara dimaksud sebagai yang mendasari berdirinya nation building, nation state of Indonesia, benar-benar harmonis nan seimbang bila dikonfrontir antara konsepsi dengan implementasi yang real di perikehidupan bernegara dan berbangsa dalam kesatuan yang utuh sebagai Republik Indonesia?

Apabila jawabnya adalah "sudah harmonis nan seimbang", maka data-fakta yang masih mengindikasikan angka stunting dan kemiskinan yang cukup tinggi di negeri ini, apakah hal itu sebagai jawaban yang pas manakala dikaitkan dengan perwujudan dari keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, sebagaimana dalam bunyi Sila ke-5 dari Pancasila? Perlu diketahui bahwa angka stunting berdasarkan hasil SSGI Kementerian Kesehatan menunjukkan angka 21,6% per tahun 2022 (upk.kemkes.go.id). Sedangkan angka kemiskinan pada Maret 2024 sebesar 9,03% atau sebesar 25,22 juta orang (bps.go.id). Belum lagi tingkat pengangguran yang menurut data IMF mencapai 5,2% per April 2024, dan dinyatakan sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di antara 6 negara ASEAN, yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand (kompas.com, 23 Juli 2024). 

Ketika kemiskinan masih menampakkan angka yang signifikan, apakah hal itu merupakan pancaran dari gambar keadilan dan kemakmuran? Ironinya, di negeri yang SDA-nya melimpah ruah, angka kemiskinannya masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negeri yang justru SDA-nya jauh dari apa yang dimiliki oleh negeri ini.

Lantas, apa inti masalahnya sehingga sampai saat ini negeri yang potensi SDA-nya luar biasa dan didukung oleh konsepsi dasar negara-bangsa yang ideal, namun tujuan mencapai masyarakat adil-makmur masih belum kesampaian juga? Pasti ada yang salah!

Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! Sejarah negara-bangsa Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga Papua ini, diletakdasarkan diatas pondasi Pancasila beserta UUD 1945, dan hal itu sudah menjadi komitmen bangsa Indonesia Nusantara ketika telah meraih kemerdekaannya.

Marilah dicermati dengan seksama terhadap apa yang menjadi komitmen bangsa Indonesia manakala menerapkan sistem tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa yang jangan sekali-kali melenceng dari yang telah dikomitmenkan, sehingga jangan sampai terjadi: ingkar janji. Bukan karena apa, hanya demi menjawab kesilangsengkarutan tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa negeri ini yang tak kunjung berkesudahan. Begitulah pada prinsip esensinya.

Diletakkannya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila yang pertama dari Pancasila, bukanlah sesuatu yang serta-merta, namun sebagai fakta realita sejarah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengutamakan dan menyandarkan perikehidupannya kepada Tuhan Sang Maha Pencipta dengan ajaran-Nya yang penuh dengan prinsip keseimbangan dan universal. Artinya, betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah mengabdikan dirinya dan menggantungkan seluruh perikehidupannya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh karenanya, implementasi dari Ketuhanan Yang Maha Esa ini harus diwujudkan di segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa, yakni segala sesuatunya harus bertititik tolak dari hukum Tuhan yang universal tanpa mempersoalkan suku, agama, ras dan golongan. Sehingga yang demikian itu akan menghantarkan bangsa Indonesia untuk bisa membangun dan menegakkan tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa dalam prinsip keseimbangan di segala aspek kehidupannya. Yakni, aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun pertahanan dan keamanan yang seimbang-universal menurut kedaulatan Tuhan.

Berikutnya, terhadap Sila ke-4 dari Pancasila yang prinsipnya adalah mengutamakan dan mengedepankan asas musyawarah-mufakat, harus dimaknai dan ditindaknyatakan dalam wujud yang real dalam proses membangun tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Dan, musyawarah-mufakat yang dimaksudkan dilaksanakan secara berjenjang disesuaikan dengan situasi dan kondisi wilayah Indonesia Nusantara secara administratif kewilayahan mulai dari desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi hingga pusat. Kesemuanya akan mengarah pada prinsip efektif dan efisien, tidak bertele-tele, dan terhindar dari pemborosan biaya (anggaran) apabila dibandingkan dengan mekanisme pemilu yang selama ini dijalankan, yakni mengandung high cost, tidak efektif dan efisien, sarat dengan kepentingan, dan rentan timbulnya konflik vertikal maupun horizontal.

Konsepsi dasar negara-bangsa Indonesia yang disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI, yakni Pancasila beserta UUD 1945 sebenarnya adalah konsepsi dasar negara-bangsa yang sudah ideal dan memenuhi asas praktis dan simpel, walaupun tidak 100% sebagai konsepsi dasar negara-bangsa yang ideal. Artinya, masih memberikan ruang kesempatan untuk dilakukan perbaikan (revisi) demi kesempurnaan sebagai konsepsi dasar yang harus diaktualisasikan ke dalam tindak nyata dalam bernegara dan berbangsa. Pun demikian halnya, bahwa idealnya konsepsi dasar negara-bangsa dimaksud hanya akan mengambang sawang apabila di tataran praktiknya tak terjadi padunya antara konsepsi dengan implementasinya. Atau dengan kata lain tidak klop, pas, seimbang, proporsional, harmonis, maupun objektif.

Terhadap UUD 1945, khususnya di dalam batang tubuhnya sebagai rincian dari Pancasila dengan 5 Silanya, agar benar-benar seiring dan sejalan di antara keduanya sebagai konsepsi dasar negara-bangsa yang sudah menjadi komitmen bangsa Indonesia, maka dipandang perlu untuk dilakukan revisi tanpa harus mengamendemen yang cenderung bertele-tele, tidak efektif dan efisien. Yakni,  pada Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusawaratan Rakyat."

Revisi yang dimaksudkan adalah demikian, yakni: "Kedaulatan adalah di tangan Tuhan dan dilakukan sepenuhnya oleh setiap warga negara menurut ajaran Tuhan yang universal dalam prinsip-prinsip keseimbangan". Hal ini menjadi sejalan dengan Sila pertama dari Pancasila, yakni "Ketuhanan Yang Masa Esa" yang lebih menjunjung tinggi kedaulatan Tuhan dengan ajaran-Nya yang penuh dengan prinsip-prinsip keseimbangan dan universal tanpa memandang suku, agama, ras, maupun golongan. Karena berhadapan dengan kedaulatan Tuhan, maka manusia Indonesia Nusantara adalah sama, sama-sama sebagai ciptaan-Nya yang sudah sepatutnya hidup menghamba kepada Tuhan Yang Maha Esa Maha Kuasa dan Maha Segala.

Pancasila beserta UUD 1945 sebagai konsepsi dasar negara-bangsa Indonesia Nusantara, bukanlah sesuatu yang harus disakralkan dan tabu untuk dikoreksi demi kesempurnaan dalam penerapannya secara nyata di tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia Nusantara dengan segala aspeknya. Sebab, apalah artinya menyakralkan suatu konsepsi bila tak didukung oleh implementasi yang nyata sebagaimana yang terkandung di dalam konsepsinya. Apalagi, bila masih memberikan ruang kesempatan bagi segala warga negara untuk memperbaiki demi kesempurnaan idealnya suatu konsepsi, maupun keseimbangan yang harmonis dalam praktik yang berwujud nyata.

Akhirnya, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pengakuan bangsa Indonesia Nusantara terhadap kedaulatan Tuhan Yang Maha Segala, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang mengedepankan dan menjunjung tinggi asas musyawarah-mufakat dalam mecapai tujuan akhirnya, yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah komitmen luhur bangsa Indonesia yang berkemanusiaan yang adil dan beradab dalam Persatuan Indonesia yang pantang berpecah belah, dan jangan sekali-kali diingkari dan dicederai!

Semoga! Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ....

*****

Kota Malang, Juli di hari kedua puluh enam, Dua Ribu Dua Puluh Empat.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun