"SD negeri, SMP negeri, SMA/SMK negeri, perguruan tinggi-universitas-institut ... negeri pula, ya?" Kata si Paneri tiba-tiba laksana baru saja terhenyak lepas dari lamunan atau perenungan.
"Maksud sampeyan itu apa, Bro, koq mendadak bergumam begitu? Memangnya kenapa dengan yang negeri-negeri itu?" Tanya si Jhon dengan luapan ingin tahu apa maksud dari si Paneri.
"Lha iya, kata negeri yang tertera pada lembaga pendidikan, katakanlah SD, itu berarti dan harus diterjemahkan sebagai sekolah yang dalam naungan negara, dimana negara sebagai penyelenggaranya, sangat berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap warganya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kan, begitu ya pemaknaan dan pemahaman yang seharusnya?" Jawab si Paneri sedikit berapi-api nan tak kunjung padam.
"Iya, tak salah lah sampeyan, Bro ... Namun, kelanjutan dari narasi sampeyan itu bagaimana? Detilkan, dong!" Pinta si Jhon kepada Paneri.
"Yo, mesti lah, Bro? Sabar dulu lah, saya kan belum selesai ..? Begini kelanjutannya, si Fulan anak tetangga sebelah itu dari keluarga yang nyata kurang mampu, baru diterima masuk di SD negeri, koq masih dipungut biaya setelah melaksanakan registrasi? Bukankah itu sekolah negara, apalagi setinggkat SD, seharusnya kan gratis ... tis?! Bukankah sudah jelas dalam regulasinya tentang penyelenggaraan pendidikan, utamaya yang berlabelkan negeri? Koq, bisa-bisanya mereka yang jadi pelaksana di lapangan yang notabene adalah PNS, beracara mengumpulkan wali siswa baru, lalu bernarasi bahwa sekolah mau membangun WC dan Kamar Mandi, oleh karena itu wali siswa diharapkan kelonggaran hatinya untuk berpartisipasi dalam hal pendanaan ..? Lho, memangnya penerintah atau negara sepicik itu dalam memfasilitasi sarana dan prasarana sekolah negeri, sehingga wali siswa baru dipalak dengan bahasa 'urunan'? Koq, ya tak masuk di akal bin di nalar ..? Belum lagi berikutnya dengan berkamuflase membentuk paguyuban wali siswa setiap kelas, komite sekolah  dan lain-lain, ujung-ujungnya ya itu, pungutan liar dalam kemasan: 'telah disepakati oleh paguyuban wali siswa dan hasil keputusan rapat komite sekolah', sehingga pihak sekolah bebas dari jeratan dan tudingan sebagai penyimpang dari UU Sisdiknas. Sebab, paguyuban dan komite sekolah itu kan kumpulan dari para wali siswa juga? Itu sama saja menjadikan paguyuban maupun komite sekolah sebagai sapi perah atau kuda tunggangan pihak sekolah?" Urai si Paneri, nerocos dan hampr tak bisa dibendung bagi penyimaknya.
"Oh, begitu ya kisah ceritanya, Bro? Hanya itu, atau masih adakah yang lain tentang penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaksana di ranah penyelenggaraan pendidikan negeri? Tanya si Jhon dengan santai dan rileksnya.
"Masih banyak varian lainnya, Bro, yang intisarinya sama sebagai bagian dari penyimpangan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah negeri yang jauh dari pantaun pusat. Sebut saja, istilah 'Uang Gedung', memangnya sekolah itu belum ada gedungnya? Atau ketika terhadap gedung sekolah yang harus dilakukan pemeliharaan, renovasi dan sebagainya, memangnya pemerintah tidak mengangarkannya? Lalu, ada lagi istilah 'beli bangku' bagi calon siswa yang tak lolos seleksi masuk sekolah negeri, dan bisa diloloskan, asalkan sanggup memenuhi pembayaran 'beli bangku' dimaksud. Memangnya, sekolah kurang lengkap bangkunya? Aneh-aneh dan ada-ada saja di negeri ini, Bro! Sarat dengan perilaku akrobatik! Lha, begitu itu koq acapkali mengumbar jargon integritas, integritas dan integritas di ranah sirkelnya aparatur negara yang konon bersetempelkan 'bersih dan berwibawa'. Bersih dan berwibawa apanya, ya?" Ungkap si Paneri tanpa beban.
"Integritas yang bersih atau tanpa kejujuran dan kehormatan yang konsisten menuju permanen, boleh jadi begitu layaknya disematkan kepada mereka, ya Bro? Hehehe ... " Celetuk si Jhon setengah meledek kepada si Paneri.
"Wah, boleh juga sampeyan ini beradagium, saya pun sepakat dengan ungkapan itu, Bro! Hahaha ..." Kata si Paneri sembari bergelak tawa renyah.
"Masih adakah yang tersisa dari apa yang hendak diulas secara faktual dan komperhensif, Bro? Sebab sepemahaman saya, bahwa sebenarnya sekolah atau pendidikan itu sempat dinyatakan sebagai pusat kebudayaan dengan segala aspeknya. Sementara, di UU RI Nomor 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Begitu sih, bila saya kutip dari UU Sisdiknas yang masih diberlakukan, Bro?" Kata si Jhon sekedar mengingatkan.
"Idealnya memang begitu, Bro. Namun, antara idealitas konsepsi-regulasi dengan aktualisasinya, terjadi kesenjangan yang justru dipicu oleh mereka yang sok berwewenang, sok berposisi dan sok punya jabatan. Jadinya, fatalisitik, Bro!" Timpal si Paneri.
"Ya, repot pula kalau sudah seperti itu ya, Bro? Pagar makan tanaman, buah segar mumpung berkesempatan, begitu ya kira-kira situasi dan kondisi alam dunia pendidikan kita dari SD hingga perguruan tinggi. Kian tinggi jenjang pendidikannya, kian tinggi selangit pula biayanya. Apalagi, antara input sangat tidak seimbang dengan output-nya. Coba, cermati dengan seksama, sudah berapa juta sarjana  yang terlahir dari sistem pendidikan nasional di negeri ini? Mulai dari yang S1, S2, S3 hingga Profesor yang dikenal sebagai guru besar? Toch, ujung akhirnya, upaya dan pencapaian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, hanyalah slogan dan misi kata-kata belaka yang tak sampai pada tujuan utamanya. Tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi, setinggi itu pula para lulusannya yang terlibat di kasus-kasus korupsi di negeri ini. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin tinggi pula teknik, modus dan cara berkorupsi agar tak gampang terdeteksi. Amit-amit lah, Bro?" Sambung kata si Jhon melengkapi ulasan si Paneri.Â
"Memang serba repot, Bro! Karena kata repot sudah bergeser maknanya menjadi: 'matane korep, boll-e arep cepot', Bro! Pun demikian dengan lulusan S1, S2 maupun S3, bukan jaminan terhadap soal integritas. Mendingan lulusan S-teler yang sama-sama S-nya walaupun non titel ataupun non gelar ya, Bro?" Kata si Paneri bergurau sekenanya.Â
"Lho, lho, lho ... Bro, sampeyan gak apa-apa, ya? Terus, terkait dengan penyelenggaraan pendidikan  yang katanya menjunjung tinggi nilai agama itu bagaimana fakta realitanya menurut sampeyan? Jangan mblakrak lho, Bro?" Kata si Jhon terheran-heran dengan gurauan sekenanya si Paneri yang baru saja diceploskan itu.
"Ampun, Bro kalau sudah nyerempet-nyerempet soal agama yang sangat sensitif itu. Saya agak sedikit traumatis tingkat madya, takut terjerat oleh Undang-Undang  ITE pasal penistaan ataupun pasal ujaran kebencian. Maaf ya, Bro! No comment ..." Kata si Paneri sembari menutupi keningnya dengan telapak tangan kanannya.
"Waduh, sampeyan ini bagaimana, toch? Wong, diajak berdiskusi, koq malah berakhir begini dan seperti ini?" Kata si Jhon menahan geli menghadapi sikap si Paneri yang di ujung cengkeramanya sudah tak bernyali dan tak serius lagi.
Si Jhon pun memaklumi dan tak memaksa diri terhadap si Paneri ....
*****
Kota Malang, Juli di hari kedua belas, Dua Ribu Dua Puluh Empat.
  Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H