Ngaji berulang kali dan berkali-kali ngaji tiada henti, sampai-sampai kian susah untuk mengerti dan memahami
Apalagi berujung hanya sebagai ahli teori ...
Begitulah coloteh salah seorang kawan lama pada suatu ketika
Kawan, membangun sistem tatanan hidup ideal itu tak bisa serta merta
Apalagi hanya berpangku tangan duduk di belakang meja belaka
Harus ada proses, gerak dan perjuangan dalam upaya mewujudkannya
Butuh pengorbanan jiwa, raga dan seluruh harta yang kita miliki
Sebagai harga yang dipertaruhkan guna mencapai nilai ideal nan universal
Lantas, apa yang harus dikorbankan dari diriku?
Seberapa yang engkau mampu, yang kau punya!
Jadi, yang dirayakan di seantero dunia selama ini apa hakikat esensi maknanya?
Sekali lagi, kawan ...
Bahwa membangun sistem tatanan hidup ideal menurut maunya Tuhan, dibutuhkan pengorbanan
Dalam proses perjuangan mewujudkannya, seberapa kita mampu atas apa yang kita punya
Bila dipandang perlu, sembelihlah, goroklah keakuan ini sebagai bukti bahwa kita siap berkorban
Demi tegaknya tatanan hidup ideal menurut maunya Tuhan
Dan, kesemuanya itu adalah universal bagi siapapun manusia yang telah menyatakan diri
Sebagai hamba Tuhan yang setia dalam situasi dan kondisi apapun ...
Dan ingat, dalam prosesi ritual itu ada simbol-simbol yang seharusnya dimengerti dan dipahami
Bukan asal belaka, yang acapkali tak masuk oleh nalar logika, yang sederhana sekalipun
Kawan, ingat, kembali berkorban, agar perjuangan yang dilalui dan telah tercapai
Tidaklah sia-sia ...
*****
Kota Malang, Juni di hari kesembilan belas, Dua Ribu Dua Puluh Empat.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H