Memasuki hari kedua puasa Ramadhan, Anggoro dan Alex  memanfaatkan waktunya, pasca Ashar, dengan bercengkerama, membahas hal-hal yang bersangkut paut dengan fakta kehidupan sebagai realitas, dan tengah dihadapi oleh manusia saat ini.
Maklumlah, keduanya masih muda usia, telah memasuki semester akhir di perguruan tinggi negeri cukup ternama di kota tempat tinggal mereka berdua. Keduanya sedang giat-giatnya mencari jatidiri dalam mengarungi samudra kehidupan ini. Dan, tentunya keduanya pun mengaharapkan bagaimana bisa menjalankan satu kehidupan yang ideal, bukan kehidupan yang timpang.
Antara Anggoro dan Alex, hanya beda tempat studi formalnya saja. Anggoro studi di Universitas, sedangkan Alex studi di Politeknik. Anggoro mengambil program studi S1, sedangkan Alex mengambil program studi D4.
"Oh, ya Al, beberapa waktu yang lalu aku sempat membaca tayangan  di sebuah medsos tentang kampusmu, dan viral lho? Apa kamu sudah membaca pula?" tanya Aggoro mengawali bicara dalam cengkeramanya dengan Alex.
"Tentang apa itu, Ang? Kan, berita dari kampusku yang ditayang di media sosial itu banyak dan bermacam-macam? Sebut saja soal apa yang viral itu, Ang, kalau boleh aku untuk menyingkronkan dari apa yang telah kamu baca?" tanya balik Alex kepada Anggoro.
"Hemm ... itu lho, tentang kasus dugaan korupsi terhadap pengadaan tanah untuk pengembangan kampusmu, Al. Dengan tajuk, 'Penelusuran atas dugaan penyelewengan proyek pengadaan tanah kampus Politeknik terus bergulir', begitu prolognya di tayangan medsos tersebut, Al. Tertanggal, Rabu 28/2/2024." jawab Anggoro lugas.
"Oh, soal dugaan korupsi itu, toch? Konon, dari pelbagai sumber yang layak dipercaya, bahwa kasus tersebut sebenarnya sudah lama, dan terangkai dengan kebijakan yang diterapkan oleh 2 direktur lama. Dan, baru meledak setelah tampuk pimpinan kampus dipegang oleh yang baru ini. Konon kabarnya pula, bahwa pimpinan yang baru inilah yang mencoba membongkar skandal korupsi yang terjadi di kampusku yang selama ini dianggap aman-aman dan landai-landai saja. Sepemahamanku, bahwa korupsi sebagai tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime, menurut hukum posistif di negeri ini prinsipnya adalah bisa 'berlaku surut'. Artinya, sekalipun tindak kejahatan yang merugikan negara itu dilakukan sekian tahun berlalu, dapat diusut, dan tak ada istilah tertelan oleh waktu yang bertahun-tahun lamanya, sehingga dianggap kadalawursa. Dengan kata lain, pelakunya yang merasa aman dan nyaman oleh karena waktu yang menenggelamkannya, tidak bisa begitu, lho Ang?" urai Alex pada batas yang dipahami terhadap skandal korupsi yang melanda kampus tempat dirinya berstudi.
"Ya, ya, ya, ya, Kawan ... pahamlah aku dengan apa yang kau utarakan itu, menyangkut skandal korupsi di kampusmu yang keren itu. Dan, kabarnya, skandal korupsi itu sedang ditangani oleh kejaksaan tinggi Jawa Timur, sudah dalam tahap penyidikan. Kita tunggu sajalah bagaimana  perkembangannya, ujung akhir putusan pengadilan nantinya, apakah benar-benar bisa terbongkar secara objektif ataupun tidak, sehingga bisa menjerat pelakunya yang notabene adalah kaum cerdik cendekia yang seharusnya memberikan teladan dalam perbuatan bagi masyarakat kebanyakan, utamanya bagi mahasiswa dan mahasiswi yang tengah studi di kampus Politeknik sebagai kandidat sarjana yang sujana, bukan sebagai sarjana yang durjana. Begitu kan, Al, sebagaimana memaknai folosofi Tri Dharma Perguruan Tinggi bagi kita yang masih berstatus sebagai mahasiswa?" kata Anggoro sambil menyinggung tentang Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berujung pada pengabdian masyarakat bagi keberadaan perguruan tinggi di negeri ini, dan itu idealnya. Bukan malah sebaliknya, yakni mencederai sendiri terhadap apa yang telah menjadi janji-ikrar civitas akademika.
"Memang itu idealnya, Kawan. Mantap sekali ulasanmu dalam untaian kata dan bahasa yang gamblang. Sekarang, mari kita beralih ke topik lainnya, yang berelevansi dengan situasi dan kondisi saat ini, saat kita dalam nuansa Ramadhan, bagaimana? OK?" harap Alex kepada Anggoro.
"Baiklah, bagaimana bila kita bahas tentang surga dan neraka sebagai fenomena yang tiada putusnya dalam konteks hidup dan kehidupan manusia seumumnya?" kata Anggoro yang berusaha melempar bola persoalan kepada Alex untuk ditangkap dan diulas lebih dalam yang tak sekedar kulit permukaannya saja.