Mohon tunggu...
Subulu salam
Subulu salam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional - Universitas Islam Indonesia

Ibadah, Menulis, Bercerita, Foto

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilihan Serentak 2024: Banner Berserak

23 Januari 2025   10:32 Diperbarui: 23 Januari 2025   10:32 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banner tampak berserak memenuhi jembatan penyeberangan orang (JPO). Foto: Antara/Sulthony Hasanuddin.

Kegiatan tahunan seperti Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sering kali meninggalkan masalah lingkungan berupa sampah banner. Fenomena ini terus berulang tanpa solusi signifikan dari pemerintah, pasangan calon (paslon), maupun masyarakat. Tahun 2024 menjadi tonggak sejarah dengan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak secara nasional. Pemilu dijadwalkan pada 14 Februari, diikuti Pilkada pada 27 November.

Penggabungan jadwal ini didasarkan pada UU No. 10 Tahun 2016 yang menunda Pilkada 2022 dan 2023, dengan harapan penghematan anggaran hingga 60%, sebagaimana terjadi pada Pilkada Sumatera Barat 2011 dan Pilkada Aceh 2012. Namun, masalah lingkungan akibat alat peraga kampanye (APK) tetap menjadi perhatian utama.

Indonesia Darurat Sampah

Menurut data dari Kompas dan laporan Lawrance, Indonesia adalah salah satu penghasil sampah plastik terbesar dunia, meskipun peringkatnya menurun dari kedua ke kelima antara 2018 dan 2023. Kampanye Pemilu 2024 memperburuk situasi ini, menghasilkan puluhan ton sampah banner di wilayah seperti Jakarta, sebagaimana diungkap oleh Stuffo Labs Gudrnd dalam liputan DW.

Bahan baku APK seperti flexi (PVC) bersifat tidak terurai secara alami, yang membuat pengelolaan sampah ini sangat menantang. Flexi merupakan kombinasi material polyvinyl chloride (PVC), jenis plastik yang sulit terurai dan dapat bertahan hingga ratusan tahun di lingkungan. Jika dibakar, bahan ini menghasilkan emisi beracun yang berisiko terhadap kesehatan manusia, termasuk memicu kanker dan kemandulan.

Selain itu, sering ditemukan pemasangan APK yang melanggar aturan, seperti dipaku di pohon atau dipasang di lokasi yang tidak sesuai. Praktik ini merusak ekosistem, estetika kota, dan etika lingkungan.

Pencemaran visual dari APK sering kali mengurangi kualitas hidup masyarakat, terutama di ruang publik. Baliho yang dipasang sembarangan mengganggu estetika kota dan merusak karakter unik suatu wilayah. Selain itu, sampah dari kampanye politik, yang sulit terurai, menambah beban TPA tanpa ada upaya signifikan untuk mendaur ulang. Data lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan jumlah APK yang diproduksi, tetapi pengelolaan sampahnya masih sangat lemah.

Beberapa daerah, seperti Bali, telah memulai program "Green Election" yang membatasi penggunaan APK fisik dan beralih ke kampanye digital. Langkah ini menjadi solusi untuk mengurangi dampak lingkungan sekaligus menekan biaya kampanye.

Evaluasi Regulasi APK

Konten pada APK juga sering kali tidak berkualitas, lebih menonjolkan wajah dan nomor urut paslon dibandingkan visi dan misi. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi masyarakat untuk lebih mengutamakan kualitas kandidat berdasarkan program yang ditawarkan daripada citra visual semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun