Mohon tunggu...
Subulu salam
Subulu salam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional - Universitas Islam Indonesia

Ibadah, Menulis, Bercerita, Foto

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Alur Cerita Pemilu, "Harusnya Kita Tuh Gini"

14 Februari 2024   01:17 Diperbarui: 14 Februari 2024   01:20 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilu sudah sampai puncaknya, ketika tulisan ini ditulis, esok sudah mulai untuk pemungutan suara. Kampanye juga telah usai, jual gagasan, jual gimmick, tinggal menunggu finalnya. Menandai pemilu tahun ini, bisa disimpulkan, selain dari kebaikan atau tetek-bengeknya tujuan pemilu atau politik itu sendiri, kemenangan juga jadi tujuan utama.

Oke gas-Oke gas.., branding yang teringat dari salah satu pasangan calon (paslon), mengingat branding dari paslon lain yang susah untuk diingat-ingat kembali, branding dari paslon oke gas, ternyata sangat ampuh, buktinya saya sendiri mudah teringat. Pemilu lagi-lagi tentang kemenangan, berlomba-lomba menarik masyarakat, menarik simpatisan, salah satunya dengan branding.

Tulisan ini bukan untuk mempromosikan salah satu paslon, dengan adanya tulisan ini dapat menjadi tempat ruah segala kecamuk penulis atas pemilu kali ini, juga ada harapan dapat mengedukasi bagi yang ingin mengambil kebaikan pada tulisan ini, selain itu. silahkan.

Agar rapi, dan nyaman dibaca. Penulis mencoba membagi melalui 4 perspektif atau poin. Perspektif pertama, mari kita awali dengan sejarah. kemudian ahli, agama, dan terakhir opini penulis itu sendiri. 

Sejarah Pemilu

Pemilihan langsung (Pemilu) sudah melalui jalan panjangnya, pemilu dengan model yang kita kenal sekarang, berbeda dengan pemilu pada periode sebelumnya. Pemilihan Soekarno Hatta melalui aklamasi, tidak ada yang berinisiatif mengajukan pemimpin negara selain yang diusulkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Semua orang saat sidang terima dan tidak ada yang meributkan. 

Melansir dari website Komisi Pemilihan Umum(KPU) resmi, pemilu awalnya direncanakan terjadi pada tahun 1946, guna memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena beberapa pertimbangan pemilu ditiadakan. Pemilu kembali diadakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan anggota konstituante, saat itu dengan sudah adanya partai bentukan yang mewakili fraksi atau golongan.

Kemudian pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. UUD 1945 dinyatakan sebagai Dasar Negara. Dan konstituante, dan DPR hasil Pemilu dibubarkan diganti dengan DPR-GR. Kabinet diganti dengan Kabinet Gotong Royong. Ketua DPR, Majelis Permusyawaratan (MPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) diangkat sebagai pembantu Soekarno dengan jabatan menteri. 

Soekarno memimpin pada tidak adanya batasan hingga kapan presiden untuk berhenti, melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS tahun 1963, tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hingga terjadinya puncak kerapuhan politik Indonesia terjadi ketika MPRS menolak Pidato Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara pada Sidang Umum Ke-IV tanggal 22 Juni 1966. Hal ini juga yang menjadikan turunnya Soekarno dan naiknya Soeharto, yang saat itu disahkan pada sidang paripurna MPR.

Setelah naiknya Soeharto, pemilu kembali diadakan di tahun 1971, sejak itu pemilihan presiden mulai berdasarkan mayoritas fraksi atau partai yang ada pada MPR, dari detiknews.com menyebutkan mayoritasnya fraksi Golongan Karya (Golkar) menjadi sebab Soeharto dapat memimpin selama 30 tahun. Tugas rakyat masih sama, memilih anggota DPR, DPR Daerah (DPRD) tingkat satu, dan DPRD tingkat dua. 

Hal ini berjalan puluhan tahun lamanya, Soeharto memimpin dengan tangan besi, penembakan misterius (petrus) terjadi pada rentang 1982 hingga 1985, ini sebagai operasi pada masa pemerintahan Soeharto guna menghakimi orang-orang yang dinilai sebagai pelaku kejahatan dan akan dihakimi tanpa melalui proses hukum. Statement seperti ini tentu baik, tapi yang terjadi di lapangan, kita tidak tahu. Bungkam bukanlah solusi.

1998 menjadi akhirnya era Soeharto, Habibie naik menjadi presiden karena saat itu presiden mundur, dan yang menggantikan adalah wakil presiden, yang saat itu adalah Habibie. ini tertera pada Undang-undang No.29 tahun 1957. Alhasil pemilu tidak terlaksana saat itu. 

Setelah itu pemilu direncanakan kembali pada tahun 2002, namun dipercepat dan terlaksana pada 1999, dan menjadi pemilu pertama setelah reformasi atau orde baru (orba). Pemilu masih sama, diikuti 48 partai politik (parpol), dan naiknya Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan oleh MPR. Masyarakat, masih sama.

Bersyukur, setelah Megawati naik setelah turunnya Gusdur karena adanya gejolak saat itu. Melalui ketetapan MPR, Megawati bersama Hamzah Haz naik menjadi presiden dan wakil presiden. UUD 1945 terjadi amandemen, dan merubah gaya pemilu. Presiden dan wakil presiden dapat dipilih secara langsung oleh rakyat. Rakyat sudah mulai bersuara dan dapat menyuarakan. Ini kemudian berlangsung saat ini.

Melihat dinamika pemilu rasa-rasanya kita masih dapat menimbang, dan mengambil dari dua sudut pandang, negatif dan positif. Ketika pemilihan presiden yang merepresentasikan MPR sebagai ketetapan, terasa kurang demokratis, karena tidak mewakili rakyat seluruhnya. tapi dengan hal ini bisa mempersempit pandangan, yang jika sudah seharusnya dan sebaiknya yang ada pada MPR adalah orang-orang yang ahli, dan ketika menetapkan presiden bukan karena mayoritasnya golongan, fraksi atau partai. Berbeda dengan pemilihan yang direpresentasikan oleh rakyat, yang membolehkan rakyat mencoblos secara keseluruhan asal memenuhi syarat, hal ini akan memperluas, dan tidak bisa dipastikan informasi, visi-misi, gagasan, gimmick, tersampaikan ke semuanya. bisa jadi, memilih presiden ala kadarnya saja. Namun dengan terlaksana secara langsung oleh rakyat, secara tidak langsung sudah mengartikan demokrasi seutuhnya, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

Kata Ahli

Penyair Jerman, Bertolt Brecht menyebutkan dalam puisinya "buta yang terburuk adalah buta politik", tidak menyadari bahwa politik menentukan segalanya, bisa jadi belum kita alami, tapi orang lain sudah mengalami. Politik bukan kembali pada individu, bukan kelompok, tapi seluruhnya.

Politik penuh dengan kompetensi, sehingga politik terjadi secara dinamis, bisa berubah-rubah, dinamis bisa diartikan banyak, KBBI menyebutkan artinya sebagai seseorang yang mudah menyesuaikan. Dan salah satunya, bisa jadi kemarin lawan, sekarang kawan. Jika menganut politik dinamis, politik balas budi seharusnya dihindari. 

Politik dan pemilu banyak pandangan, para ahli pun juga berbeda pandangan. Pada tulisan ini, penulis mengambil pesan dari Franz Magnis Suseno, bahwasanya pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi justru mencegah yang terburuk untuk berkuasa.

Agama

Agama tidak membenci politik, agama harus hadir pada politik, setidaknya dan seharusnya. Dengan adanya agama, maka dapat menjadi ruang kotak mana saja batas yang tidak boleh dilalui, agama membahas semuanya, hingga seharusnya hadirnya agama akan membantu politik. Dalam menentukan kebijakan, misalnya. Pada agama yang penulis anut, Islam tentu banyak dalil, pedoman tentang adanya politik. Islam tidak kehilangan pedomannya untuk dijadikan sebagai arah dalam politik, sudah jelas. 

Dalam Islam disebutkan semua hal yang berkaitan duniawi adalah mubah (boleh), hingga adanya larangan. dan politik adalah perkara keduniawian, sehingga hukum awal berpolitik adalah boleh. Lantas apa yang menjadi larangannya? larangan dalam berpolitik mulai dilarang jika sudah menyentuh. Misal, politik dalam agama dilarang jika sudah mulai menyentuh suap, jika sudah menyentuh hoax, curang, dan palsu, berpolitik dilarang dalam agama jika sudah menyentuh tujuan yang jahat dan tidak baik.

Dan pada pemilu, juga merupakan hal mubah, hingga jangan sampai menyentuh yang tidak baik. tentu hal ini dipertimbangkan baik dan buruknya. falsafah yang berbunyi "Dar'ul mafasid muqoddamun ala jalbil masolih" bisa dijadikan rujukan. Mengutamakan menjauhi keburukan yang besar daripada kebaikan yang kecil, begitu kira-kira artinya.

Sudah sampai pada akhir penulisan. Pemilu dengan dinamika seperti ini, (saling berkomentar, tukar pendapat, menyetujui pendapat, memandang remeh pendapat) sudah sewajarnya terjadi, mengapa? Karena demokrasi inilah yang sudah seharusnya terjadi. Penulis sendiri bersyukur, dengan banyaknya masyarakat yang sudah mulai berani berkomentar melalui data, dan fakta, sudah menandakan inilah demokrasi. Arti sesungguhnya dari 'oleh rakyat dan untuk rakyat'. 

Penulis memicingkan mata, dan kecewa jika ada yang justru menghindar akan adanya hal seperti ini. Mengapa? Momen 5 tahunan sekali seperti ini, tidak terjadi setiap hari, maka dengan hal itu, kita manfaatkan suatu momen, untuk benar-benar memanfaatkan mencari pemimpin yang tidak terburuk. Yang bukan hal wajar, jika sudah adanya pemimpin melalui pemilu, kita kembali menyalahkan pihak lain, dan keberlanjutan.

Siapapun presidennya, jika menyeleweng, maka harus siap dikritik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun