Mohon tunggu...
Subulu salam
Subulu salam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional - Universitas Islam Indonesia

Ibadah, Menulis, Bercerita, Foto

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Alur Cerita Pemilu, "Harusnya Kita Tuh Gini"

14 Februari 2024   01:17 Diperbarui: 14 Februari 2024   01:20 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah itu pemilu direncanakan kembali pada tahun 2002, namun dipercepat dan terlaksana pada 1999, dan menjadi pemilu pertama setelah reformasi atau orde baru (orba). Pemilu masih sama, diikuti 48 partai politik (parpol), dan naiknya Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan oleh MPR. Masyarakat, masih sama.

Bersyukur, setelah Megawati naik setelah turunnya Gusdur karena adanya gejolak saat itu. Melalui ketetapan MPR, Megawati bersama Hamzah Haz naik menjadi presiden dan wakil presiden. UUD 1945 terjadi amandemen, dan merubah gaya pemilu. Presiden dan wakil presiden dapat dipilih secara langsung oleh rakyat. Rakyat sudah mulai bersuara dan dapat menyuarakan. Ini kemudian berlangsung saat ini.

Melihat dinamika pemilu rasa-rasanya kita masih dapat menimbang, dan mengambil dari dua sudut pandang, negatif dan positif. Ketika pemilihan presiden yang merepresentasikan MPR sebagai ketetapan, terasa kurang demokratis, karena tidak mewakili rakyat seluruhnya. tapi dengan hal ini bisa mempersempit pandangan, yang jika sudah seharusnya dan sebaiknya yang ada pada MPR adalah orang-orang yang ahli, dan ketika menetapkan presiden bukan karena mayoritasnya golongan, fraksi atau partai. Berbeda dengan pemilihan yang direpresentasikan oleh rakyat, yang membolehkan rakyat mencoblos secara keseluruhan asal memenuhi syarat, hal ini akan memperluas, dan tidak bisa dipastikan informasi, visi-misi, gagasan, gimmick, tersampaikan ke semuanya. bisa jadi, memilih presiden ala kadarnya saja. Namun dengan terlaksana secara langsung oleh rakyat, secara tidak langsung sudah mengartikan demokrasi seutuhnya, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

Kata Ahli

Penyair Jerman, Bertolt Brecht menyebutkan dalam puisinya "buta yang terburuk adalah buta politik", tidak menyadari bahwa politik menentukan segalanya, bisa jadi belum kita alami, tapi orang lain sudah mengalami. Politik bukan kembali pada individu, bukan kelompok, tapi seluruhnya.

Politik penuh dengan kompetensi, sehingga politik terjadi secara dinamis, bisa berubah-rubah, dinamis bisa diartikan banyak, KBBI menyebutkan artinya sebagai seseorang yang mudah menyesuaikan. Dan salah satunya, bisa jadi kemarin lawan, sekarang kawan. Jika menganut politik dinamis, politik balas budi seharusnya dihindari. 

Politik dan pemilu banyak pandangan, para ahli pun juga berbeda pandangan. Pada tulisan ini, penulis mengambil pesan dari Franz Magnis Suseno, bahwasanya pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi justru mencegah yang terburuk untuk berkuasa.

Agama

Agama tidak membenci politik, agama harus hadir pada politik, setidaknya dan seharusnya. Dengan adanya agama, maka dapat menjadi ruang kotak mana saja batas yang tidak boleh dilalui, agama membahas semuanya, hingga seharusnya hadirnya agama akan membantu politik. Dalam menentukan kebijakan, misalnya. Pada agama yang penulis anut, Islam tentu banyak dalil, pedoman tentang adanya politik. Islam tidak kehilangan pedomannya untuk dijadikan sebagai arah dalam politik, sudah jelas. 

Dalam Islam disebutkan semua hal yang berkaitan duniawi adalah mubah (boleh), hingga adanya larangan. dan politik adalah perkara keduniawian, sehingga hukum awal berpolitik adalah boleh. Lantas apa yang menjadi larangannya? larangan dalam berpolitik mulai dilarang jika sudah menyentuh. Misal, politik dalam agama dilarang jika sudah mulai menyentuh suap, jika sudah menyentuh hoax, curang, dan palsu, berpolitik dilarang dalam agama jika sudah menyentuh tujuan yang jahat dan tidak baik.

Dan pada pemilu, juga merupakan hal mubah, hingga jangan sampai menyentuh yang tidak baik. tentu hal ini dipertimbangkan baik dan buruknya. falsafah yang berbunyi "Dar'ul mafasid muqoddamun ala jalbil masolih" bisa dijadikan rujukan. Mengutamakan menjauhi keburukan yang besar daripada kebaikan yang kecil, begitu kira-kira artinya.

Sudah sampai pada akhir penulisan. Pemilu dengan dinamika seperti ini, (saling berkomentar, tukar pendapat, menyetujui pendapat, memandang remeh pendapat) sudah sewajarnya terjadi, mengapa? Karena demokrasi inilah yang sudah seharusnya terjadi. Penulis sendiri bersyukur, dengan banyaknya masyarakat yang sudah mulai berani berkomentar melalui data, dan fakta, sudah menandakan inilah demokrasi. Arti sesungguhnya dari 'oleh rakyat dan untuk rakyat'. 

Penulis memicingkan mata, dan kecewa jika ada yang justru menghindar akan adanya hal seperti ini. Mengapa? Momen 5 tahunan sekali seperti ini, tidak terjadi setiap hari, maka dengan hal itu, kita manfaatkan suatu momen, untuk benar-benar memanfaatkan mencari pemimpin yang tidak terburuk. Yang bukan hal wajar, jika sudah adanya pemimpin melalui pemilu, kita kembali menyalahkan pihak lain, dan keberlanjutan.

Siapapun presidennya, jika menyeleweng, maka harus siap dikritik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun