Kondisi ekonomi dan politik pada tahun 1998 digambarkan tidak sehat di berbagai media, sehingga akibatnya rezim kala itu harus turun setelah berkuasa selama 32 tahun.Â
Krisis moneter hadir, dan praktik KKN di kalangan pejabat menemani bersama kondisi politik yang sedang memanas, saat itu juga demonstrasi banyak dilakukan demi menuntut keadilan, masalah-masalah seperti nilai rupiah yang melonjak, dan kekuasaan partai yang mengakar begitu kuat, sekiranya maka reformasi diperlukan, begitulah tuntutan rakyat.Â
Demonstrasi menggema di berbagai wilayah Indonesia, kumpulan massa aksi dari berbagai golongan masyarakat bersatu, salah satunya adalah mahasiswa. Suara-suara terdengar lantang mendukung menyertai aspirasi publik, berada di garda terdepan.
Alumni aktivis 98, menurut dari berbagai sumber pengertian, merupakan sekelompok perwakilan mahasiswa proaktif dalam politik di tahun 98. Memegang pengeras suara di kerumunan khalayak, menjadi tumpuan bagi teman-teman mahasiswa yang lain, paling bersinar. Berpegang teguh pada adanya keadilan.
Berbuah Manis
'Jika ingin menggembala kawanan domba, maka cara yang tepat adalah berada di kandang' artinya, jika ingin mengubah suatu tatanan, satu-satunya cara adalah berada di tatanan tersebut, mengetahui apa saja yang di dalamnya.Â
Cerita heroik pada tahun 98 berbuah manis, mahasiswa yang ingin mengubah pandangan politik pada tahun 98 banyak yang berada di kancah politik pada tahun-tahun setelahnya.Â
139 nama dari aktivis 98 tercantum pada laman wikipedia, jika kita arahkan kursor kita ke beberapa nama, terlihat foto rapi menggunakan jas dan berdasi. Apa yang ditanam, dituai dikemudian hari, usaha mereka para aktivis menghasilkan, dengan kata lain menginvestasikan perjuangan pada masa lalu, menjadi pejabat di kemudian hari.
Menjanjikan dan Menggiurkan
Berbagai profesi dijalani para alumni aktivis 98, ada yang mendedikasikan pada HAM, pengamat pemilu, penulis, juga dengan pelawak, mas Pandji Pragiwaksono salah satunya dan penyanyi mas Anang Hermansyah.Â
Meneruskan perjuangan yang mereka mulai pada tahun 98 dengan cara mereka masing-masing. Kursi politik pun tak asing dari aktivis 98, mulai dari bupati, gubernur, DPRD, DPR, hingga menteri dan partai-partai politik juga bertebaran para wajah alumni aktivis 98. Demonstrasi kala itu sangat menjanjikan, bak syarat mendaftar kerja saat ini, pengalaman saat demo pada tahun 98 terlihat menjanjikan.
Pengorbanan Darah dan Kebahagiaan
Tentu selain dibalik kebahagiaan itu semua, dengan banyaknya alumni aktivis 98 di berbagai kursi, beberapa alumni aktivis 98 juga berkorban darah bahkan nyawa.Â
Jika saat ini aktivis 98 menerima hasil jerih payah mereka dengan duduk di berbagai kepentingan, terdapat juga kisah-kisah tragis pilu yang menemani ketika bersuara di tahun 98.Â
Kisah Widji Thukul tak lagi asing di telinga kita, kematian Wawan (Benardus Realino Norma Irawan) yang menyayat hati, meninggalnya Moses Gatutkaca karena pukulan benda tumpul yang dikenang dengan Peristiwa Gejayan sungguh mengibaratkan carut-marutnya kondisi politik saat itu, kematian dan pemerkosaan Ita Martadinata Haryono akibat dari keberaniannya bersuara terkait pemerkosaan massal, dan tertembaknya Herri Hartanto ketika melakukan demonstrasi menuntut reformasi kala itu.Â
Setidaknya dengan perjuangan dan pengorbanan saudara kita tersebut, beberapa seharusnya sudah terbayar dengan kerja dari alumni aktivis 98 lainya saat ini. Ketika setelahnya, terjadi masalah pada negeri kita tercinta ini, kita tidak perlu khawatir lagi seharusnya, karena beberapa yang duduk di kursi kepentingan sudah tumbuh pola pikir perjuangan khas 98.Â
Bukankah seharusnya ketika sumpah sudah diucapkan dan foto berdasi pun juga tidak lupa, mereka seharusnya juga tetap mengingat dikala mereka dulu, panas terik bersimbah keringat, perjuangannya dulu ketika mereka menuntut reformasi. Sudah seharusnya mereka juga berada di garda terdepan saat ini, menyuarakan kepentingan rakyat jika ada peraturan pemerintah yang sekiranya berat sebelah.Â
Lantas dimana mereka saat ini? Kok tidak eksis, tidak terlihat media ketika berbagai tuntutan dilakukan, padahal permasalahan pun juga tidak jauh pelik ketika 98, kenyamanan seolah membutakan, berbeda seperti halnya dulu ketika 98. Pepatah mengatakan "Aku yang dulu berbeda dengan yang sekarang, dulu pro rakyat sekarang sengsarakan rakyat".Â
Dulu berada di ruangan terbuka berdesak-desakan, sekarang di ruangan ber-ac dengan kenyamanannya. Kita harus tetap menghargai perjuangan mereka, tidak semuanya lupa diri, ingat hanya oknum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H