Berbeda dengan SMK yang hampir kesemuanya komptensi yang diajarkan harus mengarah kepada penguasaan ketrampilan per individu siswa, Jadi ketika pembelajaran berdeferensiasi mulai dicetuskan, SMK sebenarnya telah lebih dulu.
Berbicara tentang SPM, terdapat kata kunci yaitu "Minimal" kata minimal tersebut sebenarnya batasan paling bawah dari standar yang ditentukan yang diyakini menjadi prasarat bagaimana layanan tersebut dilaksanakan untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Hampir sama dengan istilah KKM jika dalam pembelajaran. Apa yang terjadi jika siswa tidak lulus KKM? begitu juga dengan standar pelayanan dalam pendidikan di SMK? Layak?? atau jauh dari layak?
Dari ilustrasi gambar di atas, mari kita berbicara tentang apa itu barang habis pakai
Sebagai contoh : Siswa jurusan TKJ akan belajar tentang infrastruktur jaringan dengan menggunakan kabel UTP, kira kira beginilah bunyi dari tujuan pembelajaran "Siswa mampu membuat instalasi kabel jaringan yang menghubungkan satu ruang ke ruang yang lain" artinya dalam satu kelas saja, per siswa akan diharapkan mampu membuat konfigurasi kabel sesuai dengan tujuan pembelajaran dengan logika jarak ruang ke ruang lain kurang lebih 6-15 meter kabel UTP dan minimal 2 pasang konektor RJ45 dengan skenario per praktek siswa jangan sampai gagal, bagaimana jika gagal maka akan membutuhkan alat pengganti (konektor).
Sedangkan sangat lumrah dalam memberikan pembelajaran ketrampilan terdapat proses gagal dan kembali mencoba sampai berhasil memenuhi standar yang ditetapkan. dan sebuah realita pada gambar bahwa kabel yang ada awalnya panjang akan tetapi dengan banyaknya siswa yang gagal dalam praktek maka berkonsekwensi kabel tersebut semakin pendek.
Fenomena ini sangatlah lumrah terjadi di pembelajaran SMK sebagai konsewensi kurangya dana dalam penyediaan alat dan bahan praktek. tentu saja cerita akan berbeda jika pembelajaran praktek ditunjang dengan pembiayaan yang maksimal.
Ironisnya fenomena keterbatasan pembiayaan ini menjadikan SMK melakukan terobosan dengan mengangkat konsep SMK SASTRA, yaitu SMK yang hanya menekankan teori dan menghindari praktek sebagai konsekwensi minimnya pendanaan sekolah.
Lain hal fakta yang kita temui tentang nasib guru honor.
Ada banyak mantan murid mereka menjadi polisi, tentara, aparat sipil negara, dan berbagai profesi lain. Akan tetapi, mereka tetap pada posisinya semula: guru berupah amat rendah. Itulah yang saya dengar dari beberapa pengurus Forum Guru Honorer Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu pekan silam. Tujuh guru menemui saya dan mengungkapkan betapa gelapnya nasib mereka. Berbagai upaya telah mereka lakukan, tetapi ujung dari seluruh usaha itu ialah kesia-siaan. Tak ada jalan keluar yang sedikit saja mematrikan harapan. Bayangkan, mereka berpendidikan S-1, telah mengajar rata-rata 14 tahun, tetapi berhonor Rp400 ribu per bulan yang diambil dari BOS (bantuan operasional sekolah). Di daerah lain ada yang berhonor lebih rendah lagi. Di Banyumas, sejak tiga tahun lalu berdasarkan SK bupati, mereka mendapat dana kesra Rp400 ribu per bulan yang mereka terima setiap tiga bulan sekali. Mereka umumnya masih menumpang di rumah orangtua masing-masing. Bagaimana untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anak mereka? Inilah ironisnya, para pendidik itu justru harus pontang-panting membiayai sekolah anak-anak mereka sendiri. Bagaimana mereka dituntut memberikan pendidikan terbaik? Inilah pertanyaan yang bertahun-tahun tak menemu jawab.
Narasi diambil dari https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1379-derita-panjang-guru-honorer