Beberapa hari lalu aku di ajak, Ria, main ke rumah temen kuliahnya. Desi namanya. Ia tinggal di pinggiran kabupaten Ngawi. Tepatnya Desa Tulakan, Kecamatan Sine—Ngawi. Ngawi bagian barat yang berbatasan langsung dengan kabupaten Sragen.
Hari itu kebetulan aku pulang pagi, karena hari Sabtu itu di sekolah kegiatannya hanya pembagian rapot. Jadi, usai pembagian rapotpun aku meluncur menghampiri Ria dan berangkat ke Ngawi. Jam 10-an kami berangkat dari rumah.
Dua jam lebih kami sampai Ngawi. Menyusur hancurnya jalan dari rumah—Kuwu—Sragen. Sebelum menikmati lempengnya jalan Sragen—Ngawi. Termasuk nunggui tukang tambal ban yang menambal sepeda motorku bocor.
Daerahnya cukup sejuk. Pasti kalau yang terbiasa di daerah panas kemudian kesana, akan terasa kedinginan. Jalanannya pun naik-turun. Tapi, bagus. Jauh dibandingkan wilayah kabupatenku, Blora. Setiap keluar rumah, harus siap masuk gubangan lumpur di jalan.
***
Awalnya aku tak kenal Desi. Niatku hanya mengantar Ria yang ingin main ke rumah Desi. Jadi, tiada lain urusanku selain itu. Ketika sudah sampai tujuan, dan Ria asyik ngobrol sama Desi, akupun memilih diam menikmati suguhan rambutan yang ada.
“Naik, pak, kalau mau ambil rambutan langsung dari pohonnya,” tawar Desi.
“Ehmmm, ya… nanti saja,” Jawabku sembari menunggu waktu yang pas untuk manjat.
Nangkring di pohon rambutan membuatku teringat 2004 yang lalu, saat aku menjadi kenek di daerah Cikunir, Bekasi. Waktu aku jadi kenek di perumahan. Setiap jam istirahat pasti aku nangkring di atas pohon rambutan yang siap panen di halaman rumah yang sedang aku garap bersama bapak, mas ku, dan beberapa tenaga yang lain.
***
Lulus 2004 dari STM swasta di Cepu, aku ke Jakarta. Dan tinggal sementara di rumah Pak Dhe di daerah Cipete Utara, Jakarta Selatan. Niat awal ingin mendaftarkan diri jadi TNI. Tak tahu kenapa aku ingin jadi TNI. Mungkin karena tren anak-anak didaerahku yang umumnya lulus kemudian mendaftarkan diri menjadi TNI dan POLRI.
Niat itu kandas. Bapak-Emak tak mengijinkan aku mendaftar. Mereka menghendaki aku kuliah keguruan. Agar kelak aku menjadi guru. Aku belum bisa mengamini niat mereka. Sembari bantu-bantu Pak Dhe jualan di warung yang bergandengan dengan pangkalan bajay dan jualan sembako di rumahnya sendiri, aku mendaftarkan diri di beberapa perusahaan dan bengkel yang sesuai dengan jurusan sekolahku. Tapi, pengalaman menjadi prioritas tim penyeleksi. Al hasil, dari beberapa lamaran tak ada satupun yang berujung panggilan.
Stres memang, saat harap tak berwujud. Koran selalu menjadi suguhan tiap pagi. Halaman penyedia lowongan pekerjaan menjadi sasaran utama untuk dibaca. Berharap ada tawaran pas untuk tujuan surat lamaran. Namun, langkah itu Nihil. Hingga akhirnya aku medapat tawaran dari seorang keponakannya Pak Dhe untuk melamar di Robinson—Blok M. Akupun mengajukan lamaran kesana dengan alasan daripada tidak ada. Beberapa hari setelah lamaran aku titipkan, akupun wawancara. Alhamdulillah, aku diterima.
Pengalaman kerja pertama menjadi pembantu mengawasi stand-stand counter di Robinson, cukup melelahkan bagiku. Capek, rasanya delapan jam berdiri mengawasi pembeli yang lalu-lalang, meski sesekali mata tercuci oleh pembeli yang bening melintas.
Lebaran tiba, kontrakpun habis. Karena waktu itu sepertinya Robinson hanya membutuhkan karyawan untuk memaksimalkan pelayanan seiring membludaknya pelanggan menjelang lebaran. Aku pun pulang mudik layaknya pekerja lain yang rindu kampung halaman dan ingin merayakan lebaran bersama keluarga di rumah.
Beberapa hari di rumah, lebaran tiada kesan berarti. Rasa kecewa perantauan tak berhasil membuatku ingin mengadu nasib lagi ke Jakarta. Aku kembali menuju rumah Pak Dhe. Kembali mencari dan mencari kerja. Ke Jakarta yang ke dua ini agak beda. Tiap pagi aku pasti pergi ke pasar, kulakan sembako, dan “air suci” depkes. Maklum, tiap malam aku dapat jatah begadang di warung menemani penikmat “air suci” depkes itu. Pembeli terkapar dan pulang, aku pun turut terkapar lemes usai tutup warung. Begitu-begitu saja hari-hariku di Jakarta. Tiada kepastian kerjaan yang menjanjikan.
Beberapa minggu aku di Jakarta, bapak menyusul ke Jakarta bersama saudara sepupuku. Aku tak tahu tujuannya apa. Yang jelas, Bapak ke sana. Bagiku, bapaklah yang paling sulit aku tebak di setiap rencananya ketimbang emak. Bapak, hanya beberapa hari di rumah Pak Dhe. Kemudian ia bersama saudara sepupuku menghampiri temennya yang sedang menggarap rumah di Cikunir—Bekasi dan ikut bekerja di sana. Aku masih di rumah Pak Dhe.
Beberapa hari Bapak kerja di Cikunir, ia menelponku. Menanyakan, sudah dapat kerja apa belum. Belum, jawabku. Kemudian ia menawariku untuk ikut kerja disana. Setelah ku pikir-pikir, daripada aku menambah beban hidup pak Dhe, lebih baik aku ikut bapak kerja di perumahan itu. Dan akupun mengiyakan ajakan bapak. Alamat pun diberikan bapak. Keesokan harinya akupun kesana.
Sampai Cikunir, letak matahari sudah melewati ubun-ubun. Macetnya Jakarta yang tak ketulungan, membuatku telat sampai tujuan. Akupun tak bisa langsung kerja. Bapak menyarankan keesokan harinya saja aku mulai kerja.
Akupun istirahat di atas pohon rambutan yang ada di halaman hingga jam mandi sore. Tak tahu berapa buah rambutan yang ku makan. Yang jelas, bawah pohon sudah berantakan kulitnya. Maklum, di kampungku tak ada pohon semacam ini. Mentok, jambu, mangga sama Jeruk.
Di sini aku merasakan hawa yang beda. Meski kerja kasar, setiap hari bergelut dengan adukan, angkatjunjung batu, tapi aku merasa biasa. Tak merasakan bahwa pekerjaan itu berat. Mungkin karena di kampung aku sudah biasa angkatjunjung, jadi mendapati pekerjaan itu aku merasa biasa saja.
Tiap istirahat selalu ada suguhan rambutan yang tinggal manjat. Mau nongkrong, bebas. Bapak main ke rumah tetangga-tetangga sekitar proyek, akupun keluar sendiri. Meski sesekali mengingatkan saatnya, nyuci, beli beras dan sayur plus lauk tuk makan.
Kalau malem, pijetan sambil dengerin radio. Ngrumpi berbagi pengalaman dari temen-temen kerja yang lain. Tempatnya yang agak jauh dari jalan raya, masih banyak pohon-pohon besar, membuatku merasa seperti hidup dikampung biasa. Beda dengan di rumah Pak Dhe, yang penuh rasa sungkan disamping suasana sekitar yang penuh sesak rumah berdempet-dempetan. Seolah, ada sekat yang membatasi kebebasanku.
Proyek usai, aku putuskan pulang kampung. Mengamini keinginan bapak sama emak, kuliah di keguruan. Dan jadilah aku mahasiswa di salah satu universitas swasta di Salatiga, sampai sekarang. Sambil jadi tukang momong di Sekolahan.
***
Aku tak tahu mau dibawa kemana ocehan ini. Dari main ke rumah Desi bisa kembali ke sekilas masa laluku, dulu. Tapi inilah cerita. Bebas, mau dibawa kemana saja. Seperti kebebasan hidup yang menjadi dambaan batiniah setiap orang. Bagiku, kebahagiaan akan terasa dari kebebasan yang impian yang terwujud. Tuntutan yang tak sesuai dari kehendak hati yang dituntut akan menjadi beban pikiran si tertuntut. Dan semacam ini jika direalisasikan, akan menjadi kebahagiaan sepihak, dengan kata lain si penuntutlah yang (mungkin) bahagia karena tuntutannya terpenuhi.Bukan yang di tuntut.
Apapun aktifitas kita, jika kita bisa melakukan dengan senang hati. Itu akan menjadi kebahagiaan yang umum dirasakan oleh orang bahagia yang lain—meskipun berbeda wujudnya. Seperti yang ku alami saat di rumah Desi. Memanjat rambutan, makan sepuasnya, makan siang juga gratis, sing nduwe ayu pisan. Weteng wareg, mata padhang. Misi selesai, kami pamit pulang sambil bawa rambutan 2 karung beras ukuran 20-an kg plus 1 tas punggungku yang tak pernah ketinggalan. Ehmmm… :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H