Pengalaman kerja pertama menjadi pembantu mengawasi stand-stand counter di Robinson, cukup melelahkan bagiku. Capek, rasanya delapan jam berdiri mengawasi pembeli yang lalu-lalang, meski sesekali mata tercuci oleh pembeli yang bening melintas.
Lebaran tiba, kontrakpun habis. Karena waktu itu sepertinya Robinson hanya membutuhkan karyawan untuk memaksimalkan pelayanan seiring membludaknya pelanggan menjelang lebaran. Aku pun pulang mudik layaknya pekerja lain yang rindu kampung halaman dan ingin merayakan lebaran bersama keluarga di rumah.
Beberapa hari di rumah, lebaran tiada kesan berarti. Rasa kecewa perantauan tak berhasil membuatku ingin mengadu nasib lagi ke Jakarta. Aku kembali menuju rumah Pak Dhe. Kembali mencari dan mencari kerja. Ke Jakarta yang ke dua ini agak beda. Tiap pagi aku pasti pergi ke pasar, kulakan sembako, dan “air suci” depkes. Maklum, tiap malam aku dapat jatah begadang di warung menemani penikmat “air suci” depkes itu. Pembeli terkapar dan pulang, aku pun turut terkapar lemes usai tutup warung. Begitu-begitu saja hari-hariku di Jakarta. Tiada kepastian kerjaan yang menjanjikan.
Beberapa minggu aku di Jakarta, bapak menyusul ke Jakarta bersama saudara sepupuku. Aku tak tahu tujuannya apa. Yang jelas, Bapak ke sana. Bagiku, bapaklah yang paling sulit aku tebak di setiap rencananya ketimbang emak. Bapak, hanya beberapa hari di rumah Pak Dhe. Kemudian ia bersama saudara sepupuku menghampiri temennya yang sedang menggarap rumah di Cikunir—Bekasi dan ikut bekerja di sana. Aku masih di rumah Pak Dhe.
Beberapa hari Bapak kerja di Cikunir, ia menelponku. Menanyakan, sudah dapat kerja apa belum. Belum, jawabku. Kemudian ia menawariku untuk ikut kerja disana. Setelah ku pikir-pikir, daripada aku menambah beban hidup pak Dhe, lebih baik aku ikut bapak kerja di perumahan itu. Dan akupun mengiyakan ajakan bapak. Alamat pun diberikan bapak. Keesokan harinya akupun kesana.
Sampai Cikunir, letak matahari sudah melewati ubun-ubun. Macetnya Jakarta yang tak ketulungan, membuatku telat sampai tujuan. Akupun tak bisa langsung kerja. Bapak menyarankan keesokan harinya saja aku mulai kerja.
Akupun istirahat di atas pohon rambutan yang ada di halaman hingga jam mandi sore. Tak tahu berapa buah rambutan yang ku makan. Yang jelas, bawah pohon sudah berantakan kulitnya. Maklum, di kampungku tak ada pohon semacam ini. Mentok, jambu, mangga sama Jeruk.
Di sini aku merasakan hawa yang beda. Meski kerja kasar, setiap hari bergelut dengan adukan, angkatjunjung batu, tapi aku merasa biasa. Tak merasakan bahwa pekerjaan itu berat. Mungkin karena di kampung aku sudah biasa angkatjunjung, jadi mendapati pekerjaan itu aku merasa biasa saja.
Tiap istirahat selalu ada suguhan rambutan yang tinggal manjat. Mau nongkrong, bebas. Bapak main ke rumah tetangga-tetangga sekitar proyek, akupun keluar sendiri. Meski sesekali mengingatkan saatnya, nyuci, beli beras dan sayur plus lauk tuk makan.
Kalau malem, pijetan sambil dengerin radio. Ngrumpi berbagi pengalaman dari temen-temen kerja yang lain. Tempatnya yang agak jauh dari jalan raya, masih banyak pohon-pohon besar, membuatku merasa seperti hidup dikampung biasa. Beda dengan di rumah Pak Dhe, yang penuh rasa sungkan disamping suasana sekitar yang penuh sesak rumah berdempet-dempetan. Seolah, ada sekat yang membatasi kebebasanku.
Proyek usai, aku putuskan pulang kampung. Mengamini keinginan bapak sama emak, kuliah di keguruan. Dan jadilah aku mahasiswa di salah satu universitas swasta di Salatiga, sampai sekarang. Sambil jadi tukang momong di Sekolahan.