Berdasarkan data dari Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK), pada tahun ajaran 2019/2020 jumlah anak putus sekolah di tingkat SD sebanyak 59.443 anak, tingkat SMP 38.646 anak, tingkat SMA 26.864 anak, dan di tingkat SMK sebanyak 32.395 anak (gabungan SMA dan SMK 59.259 anak).
Putus sekolah hanyalah salah satu bentuk permasalahan anak usia sekolah tidak terdaftar sebagai murid di sekolah. Bentuk lain adalah mereka yang sejak semula memang tidak sekolah, lulus tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi, putus sekolah, dan/atau drop-out sekolah. Mereka yang tidak sekolah memiliki banyak alasan dan memiliki pilihan, antara lain mengikuti sekolah rumah, mengikuti pendidikan nonformal, atau menjadi santri di pondok pesantren atau disebut mondok. Lulus sekolah tetapi tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi juga cukup banyak jumlahnya dan dengan berbagai alasan.
Putus sekolah atau drop-out sekolah adalah mereka yang semula sekolah, kemudian kerena berbagai alasan tidak meneruskan sekolahnya lagi. Begitupula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Jumlah Anak Usia Sekolah Tidak Sekolah mencapai 4,4 juta orang secara nasional. Salah satu alasan terbanyak adanya ATS adalah faktor ekonomi, baik di tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas.
Memperhatikan kenyataan tersebut di atas, maka negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan kesetaraan. Masih banyaknya anak usia sekolah yang tidak sekolah atau putus sekolah, serta masih banyaknya masyarakat yang sudah bekerja atau sudah berkeluarga tetapi masih ingin melanjutkan pendidikannya di tingkat SD/SMP/SMA di luar jalur sekolah, makin mengukuhkan pendidikan kesetaraan sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat. Bahkan lima tahun terakhir ini pendidikan kesetaraan menjadi piliham karena animo masyarakat cukup tinggi.
Pendidikan kesetaraan merupakan pendidikan umum dari jenjang dasar dan menengah, bagian dari pendidikan nonformal yang memberikan layanan pendidikan Program Paket A setara SD, Program Paket B setara SMP dan Program Paket C setara SMA , dengan memberikan penekanan pada peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengembangan sikap kepribadian kepada peserta didik.
Pendidikan kesetaraan diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat melalui lembaga-lembaga seperti Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), PKBM, Organisasi Sosial (Orsos), Organisasi Masyarakat (Ormas) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Pondok Pesantren. Bahkan, mulai tahun 2008 telah dibuka kesempatan lembaga kursus/pelatihan dapat turut serta menyelenggarakan pendidikan kesetaraan khususnya untuk percepatan peningkatan keterampilan peserta didik.
Peserta didik pendidikan kesetaraan merupakan anak usia sekolah dan dewasa yang belum mampu menyelesaikan SD, SMP, dan SMA. Dilihat dari sisi peserta didik kesetaraan mempunyai dimensi yang luas, yaitu warga negara yang belum menyelesaikan pendidikan karena keterbatasan yang dimiliki baik di bidang ekonomi, sosial, budaya atau karena kondisi geografis maka mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan.
Untuk itu, pendidikan kesetaraan yang dapat dikatakan sebagai pendidikan alternatif yang saat ini jargonnya menjadi pendidikan pilihan mempunyai peranan yang strategis untuk mengatasi masalah pendidikan masyarakat yang belum beruntung karena kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakmampuan lainnya bahkan saat ini banyak juga kelas menengah ke atas yang menempuh pendidikan kesetaraan karena profesi tertentu dan terbatas waktu serta fleksibelnya pembelajaran dengan berbasis SeTara Daring. Pendidikan kesetaraan telah menerapkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berbasis SeTara Daring yang sudah dimulai sejak tahun 2018 jauh sebelum terjadi pandemic covid 19.
Bila dilihat dari sisi latar belakang sosial ekonomi peserta didik kesetaraan harus diakui banyak masyarakat kurang mampu dengan jenis profesi sebagai buruh, petani, nelayan, perambah hutan, masyarakat di daerah terpencil, dan lain sebagainya. Namun, terdapat kelompok masyarakat kaya di perkotaan yang karena kurang bisa menerima sistem pendidikan persekolahan mereka mengadakan kegiatan pendidikan sekolah rumah (home schooling) yang hasil akhir ujiannya mengikuti pendidikan kesetaraan. Jadi, layanan pendidikan kesetaraan memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang belum menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah tanpa mengenal suku, agama, ras, atau golongan dengan usia berapa pun selama masih mempunyai minat dan kemauan untuk terus belajar.
Tantangan pendidikan kesetaraan ke depan adalah semakin besarnya kebutuhan masyarakat akan pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan orientasi pendidikan di masyarakat, tuntutan kualitas penyelenggaraan dan membangun citra pendidikan kesetaraan sebagai pendidikan pilihan. Selain kondisi tersebut, jumlah pengangguran yang besar, kemiskinan masyarakat, masih rendahnya pendidikan penduduk, dan perlunya pengembangan keterampilan masyarakat menjadi fokus untuk layanan pendidikan kesetaraan di masa depan.
Untuk menangkap kebutuhan masyarakat tersebut maka program pendidikan kesetaraan diarahkan untuk menuju pada tiga spectrum pendidikan, yaitu 1) akademik murni, 2) vokasi terintegrasi dan 3) vokasi murni. Dengan ketiga spektrum ini diharapkan kebutuhan peserta didik untuk membekali dirinya dengan pendidikan dan keterampilan tercapai dan pada akhirnya masyarakat yang berpendidikan dapat terwujud.