“Memang berbahaya mencari kebenaran, tetapi lebih berbahaya bila merasa telah mendapatkannya”, tulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya. Itulah semangat filsafat. Ribuan tahun yang lalu pun, dalam dialog Plato, Phaidros, menyinggung bahwa,” nama ‘orang bijaksana’ terlalu luhur untuk memanggil seorang manusia dan lebih cocok untuk seorang allah.” Spirit filsafat adalah ihktiar untuk men-taqarrub-i kebenaran, kebijaksanaan. Bukankah makna dasar filsafat sendiri adalah : cinta kebijaksanaan?
Memang, jika kita lacak dari sudut bahasa, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani: Philosophia: philos (kekasih, sahabat), sophia (kebijaksanaan, kearifan, pengetahuan). Seorang filosof adalah seorang pencinta, pencari (philos) hikmat atau pengetahuan (sophia). Ungkapan menarik untuk ini datang dari Pytaghoras, yang mengejek kaum sofis (sophists), dengan mengatakan bahwa: hanya tuhan yang mempunyai hikmat yang sungguh-sungguh. Manusia harus puas dengan tugasnya di dunia ini, yakni “mencari hikmat”, “mencintai pengetahuan.” (Harry Hamersma, 2008: 11).
Di dalam buku kelima dari Tusculanae Disputations karya Cicero, diceritakan tentang Pythagoras. Suatu saat ia berkunjung ke Phlious, sebuah kota kecil. Di sana ia berbincang dengan Leon, raja bangsa Phlasier. Dengan penuh kekaguman pada Pythagoras, Leon bertanya, apakah profesi atau ilmu yang dia ketahui? Pythagoras menjawab,” saya tidak tahu satu ilmu pun, akan tetapi saya seorang filosof. “ lalu Leon bertanya tentang arti istilah itu. Pythagoras menjawab dengan membandingkannya dengan pertandingan olimpiade. Pada pertandingan olimpiade, datang tiga macam manusia: pertama, peserta pertandingan yang mementingkan karangan bunga, kehormatan. Kedua, para businessman yang mementingkan uang. Ketiga, mereka yang hanya menonton yang tidak mengejar kepentingannya sendiri. Menurut Pythagoras, demikian pula dalam hidup sehari-hari: ada orang bertipe businessman, yang mengejar keuntungan material, ada pula mengejar jabatan dan kehormatan, dan ada pula sebagian kecil orang yang tidak gila uang, jabatan, dan kehormatan, melainkan “yang memandang sifat dari segala sesuatunya dengan perhatian”. Tipe ketiga ini adalah “ penonton- penonton yang tidak mengejar keuntungannya sendiri”. Itulah para filosof. (Gerard Beekman dan RA. Rivai, 1984: 151-153)
Lalu, dilihat dari sudut istilah, filsafat memiliki beragam makna. Namun dari banyak definisi filsafat, kita dapat memadatkannya dalam satu baris frase berikut ini: Filsafat adalah pengetahuan yang membahas segala yang ada dari perspektif yang paling dasaria (radikal), kritis, logis, dan bebas. Berfikir radikal karena pada dasarnya filsafat adalah meradikalkan keheranan ke seluruh penjuru. Kritis karena berfilsafat merupakan usaha menguji secara kritis akan kemestian sesuatu yang dianggap sudah semestinya. Oleh sebab itu, filsafat adalah “alat kritik’ untuk menguji asumsi-asumsi, ide-ide dengan tujuan untuk memperjelas, dan memahaminya.
Singkatnya, filsafat membicarakan, sebagai objek materialnya, seluruh kenyataan (reality). “Berfilsafat adalah cara berfikir yang meliputi segala bidang,” tutur A, Peperzak. Kekhasan filsafat terletak dari perspektifnya (objek formal), yaitu kemenyeluruhannya, keradikalannya, kelogisannya, dengan diperangkati kebebasan eksplorasinya. Bahan dasar filsafat memang hidup keseharian manusia, dengan segala kekayaan pengalamannya. Dalam keseharian, dunia dan aktifitas adalah sesuatu yang familier dan disikapi secara pasif, dianggap biasa, dikenal atau diketahui. Nah, filsafat menerobos lingkaran hidup keseharian itu sekaligus–meminjam istilah Van Peursen–filsafat meng-kwadrat-kannya. Dapat dikatakan bahwa, filsafat merupakan ikhtiar tanpa akhir dari ras manusia untuk mengerti dunia.
Jadi, masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia. Manusia itu tetap manusia di satu sisi, tetapi di sisi lain berkembang dan berubah. Oleh sebab itu, terkesan, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah-masalah lama manusia. Tak aneh jika kita lihat, filsafat yang paling kontemporer pun menggeluti persoalan yang digumuli manusia pada 2500 tahun silam. Filsafat mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan abadi manusia namun tawaran jawaban yang diajukan selalu bersifat tentatif, terbuka bagi kritik. Filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sudah selesai, tidak pernah memotong perbincangan, selalu bersedia membuka kembali perdebatan, selalu bersifat dialektis. (Franz Magnis-Suseno, 1991: 11)
Masuk ke ruang filsafat meniscayakan keterlibatan eksistensial dengan isu dan perbincangan di dalamnya. Wittgenstein mengingatkan,”filsafat bukan ajaran melainkan suatu usaha.” Iqbal mempertegas bahwa,”pemikiran dari Barat dan pengetahuan dari Timur hanyalah berhala, tiada guna bila menyembahnya.” Ruh filsafat adalah “Tanya”. Ketika manusia berhenti bertanya, saat itulah akhir dari filsafat.
Pertanyaan filsafat itu unik, karena pertanyaannya menunjuk ke dua arah sekaligus: kepada arus peristiwa sehari-hari yang kini tidak lagi dianggap biasa dan kepada si penanya sendiri. (Van Perseun, 1983: 1)
Akhirnya, filsafat mengajak kita untuk dapat berfikir sendiri hingga sampai pada kesimpulan-kesimpulan sendiri serta menjadi saksi terhadap kebenaran yang diyakini.
DAFTAR RUJUKAN
C.A Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1983
Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1991
Gerard Beekman dan RA. Rivai, Filsafat, Para Filsuf, Berfilsafat, Jakarta: Erlangga, 1984
Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H